Kenang Peristiwa Perjuangan HAM Melalui Drama Kolosal

Penampilan UKM Teater Rumpun Padi UK Petra saat memerankan naskah Lakon “Menanti Tanggal Dua Enam”.

Pentas Monolog UKM Teater Rumpun Padi UK Petra
Surabaya, Bhirawa
Ada cara menarik dalam mengenang berbagai peristiwa monumental yang terjadi. Salah satunya melalui pentas seni drama kolosal yang dilakukan mahasiswa UKM teater Universitas Kristen (UK) Petra. Dalam drama kolosal itu, mereka mengangkat isu pelanggaran HAM yang terjadi selama bulan Mei. Bertajuk Bulan Berduka di bawah pelatih Abednego Bedjo Sugiyono itu, berhasil mengoyak emosional penonton.
Pada pertunjukkan yang digelar Selasa (28/5) malam, UKM teater Rumpun Padi UK Petra mementaskan dua naskah, yakni naskah Monolog yang berjudul Putru Ibu jarya Putu Wijaya dan naskah Lakon yang berjudul Menanti Tanggal Dua Enam karya Marsetio Hariadi.
“Untuk karya saya ini mengisahkan tentang sebuah penantian, penggusuran tanah dan penghilangan orang secara paksa yang akan dihadirkan menjadi satu untuk membawa penonton merasakan emosi saat itu,” ungkap Marsetio yang juga alumni UK Petra ini.
Sementara itu, Ketua acara pentas akbar Bulan Berduka, Yosafat berharap melalui pentas tersebut pihaknya bisa memberikan suatu refleksi diri kepada para penonton. “Tidak hanya itu, tetapi juga semua orang. Bahwa penting untuk menginvaf tragedi-tragedi yang terjadi di lingkungan sekitar,” imbuh dia.
Yosafat juga menambahkan jika diadakannya pentas tersebut sebagai bentuk apresiasi mahasiswa UK Petra dalam berkarya seni teater Indonesja dengan menuangkan ekspresi dan cerita mereka dalam sebuah karya seni teater. Serta bagaimana para aktor dapat menyampaikan makna dan pesan yang disampaikan oleh naskah terhadap para penonton.
Sementara itu, mahasiswa Ilmu Komunikasi UK Petra sekaligus penonton teater Rumpun Padi, Shania Karsono mengaku jika pesan dan emosional yang di lakon kan para pemain berhasil mengoyak hati para penonton termasuk dirinya. Terlebih sata pemain memerankan naskah Lakon, ia juga merasakan bagiamana kehilangan dan kerinduan akan keluarga yang disayang secara tiba-tiba karena penghilangan paksa.
“Dan dari naskah monolog yang judulnya putri ibu, jadi dpt pembelajaran baru sesibuk apapun tetap ingat rumah untuk berpulang karena kita tidak bisa mengulangi suatu momen, maklum saya merasakan itu karena juga anak rantauan,”tutur dia.
Ia berpesan dengan dibukanya memori tentang perjuangan HAM, diharapkan perubahan dimulai sedini mungkin dan dari diri sendiri agar bisa menciptakan keadan untuk tidak boleh saling menindas satu sama lain. [ina]

Tags: