Kenangan Memang Tidak Pernah Tahu Diri

foto ilustrasi

Kenangan Memang Tidak Pernah Tahu Diri

Oleh :
Khairul Fatah

Aku menyebut laki-laki itu Dewa Gitar. Karena setiap jarinya memetik senar gitar, bunyinya menusuk-nusuk hati, menimbulkan rasa yang sulit kugambarkan dengan kata-kata. Rasa itu bermuara pada kemahadahsyatan, semacam suara yang hanya bisa didengar dari tangan yang mahakuasa. Suaranya yang perlahan mengiringi denting gitar menjelma setumpuk kenangan yang telah kupendam sekian tahun silam.

Dentingan gitar membawaku bertamasya ke masa lalu. Aku berusaha untuk tidak mengingat semua kenangan. Tapi si Dewa Gitar terus menggalinya. Tanpa terasa air mata pun gugur membasahi pipi. Wajahku tertunduk menatap kosong alas warung kopi, seperti menatap timbunan kenangan yang perlahan timbul.

“Kenapa menangis Mbak?” tanya seorang pelayan membuyarkan lamunanku.

“Tidak apa-apa, Mas,” jawabku berusah menyembunyikan tangis.

Pelayan menyodorkan kopi hitam dengan asap yang masih mengepul ke hadapanku. Aku hanya menatap kosong cangkir kopi yang baru dihaturkan itu. Perlahan kopi dalam cangkir bergerak ke samping setelah kubuka tutup cangkirnya, lalu memutar dan akhirnya diam. Saat kopi terlihat tenang, ampasnya mengambang kepermukaan, dengan asap yang masih mengepul, seakan memanggang kesedihan yang berkecamuk dalam dadaku.

Laki-laki itu kembali memainkan gitarnya. Perlahan satu persatu senar gitar disapu jarinya, seakan ia tengah menusukkan satu persatu pisau ke dadaku. Dadaku pun terasa sesak, hingga tangisku terisak. Mataku kosong mengamati cangkir kopi dengan pikiran penuh ketakutan karena merasa diburu kenangan yang dibawa bunyi gitar.

Di tengah isakku, mataku menangkap satu persatu ampas kopi perlahan terus mengambang ke permukaan, menyempurnakan kenangan yang telah terkubur muncul ke dasar ingatan. Kesedihan yang sangat mengerogoti hatiku.

Jelas rasanya satu demi satu ampas kopi yang mengambang itu berubah bentuk menjadi manusia. Awalnya satu persatu ampas itu menjelma orang yang mengambang di tengah laut dengan wajah-wajah asing, penuh rasa kesedihan. Semakin lama semakin larut pikiranku pada kesedihan mereka, hingga wajah Otong ada di antara sekian banyak ampas kopi yang tengah mengambang itu, persis sama seperti kejadian sepuluh tahun silam.

Si Dewa Gitar terus saja memainkan gitarnya. Dentingannya seperti mengaduk kopi hingga tercipta riak kenangan yang menyeretku tenggelam pada tragedy sepuluh tahun silam.

“Aku pergi ya, Sukina. Titip Ibu jangan lupa bawakan ia makan.” Kata Otong tempo hari sebelum ia pergi.

Aku tidak merasakan hal aneh, atau bahkan tanda-tanda bahwa itu adalah hari terakhirku berjumpa dengannya. Aku hanya mengiyakan saja ucapan Otong, dan melepasnya dengan senyuman. Ia pun begitu, berjalan pelan tanpa ragu.

“Hanya tiga bulan aku pergi. Setelah itu kita akan menikah!” ucap Otong sebelum benar-benar melangkah.

Aku hanya tersenyum kecil. Otong lalu melangkah dengan cepat tanpa mau menoleh lagi. Gitar di pundaknya begitu jelas terlihat mataku waktu itu. warna, bentuk dan bunyi yang biasa di keluarkan suara Gitar Otong persis sama dengan si Dewa Gitar.

“Kenangan memang tidak tahu diri, ia datang saat aku tengah menghapusnya dari ingatan,” gumamku mencoba menenangkan diri.

Tapi kenangan itu terus tumbuh bersama denting gitar yang mengalun dari tangan si Dewa Gitar.

“Berhentilah, Dewa Gitar, Berhenti!,” ucapku keluh, setelah wujud tubuh Otong yang mengambang di tengah laut tersebar disemua permukaan kopiku.

Aku kembali mengenang tubuh Otong yang mengambang di tengah laut, terlentang bersama puluhan orang yang bernasib sama, tanpa nyawa. Mayat-mayat itu bagai ampas kopi yang terus muncul di atas permukaan kopiku. Berpuluh-puluh laki-laki dan perempuan mengambang bersama mayat Otong waktu itu. Hingga aku pingsan mendapati kenyatan bahwa tubuh Otong terbujur kaku.

Mendengar kabar Kapal Ferry yang biasa menjadi angkutan umum ke kota hilang, aku dan ibu digerogoti ketakutan. Dari pulauku ke kota memang perlu waktu tiga hari untuk sampai. Tepat hari ketiga setelah Otong memberi kabar bahwa ia sudah naik Kapal Ferry, lurah kampung datang ke rumahku, ia mengabarkan tentang tenggelamnya Kapal Ferry. Hari itu juga kami langsung berangkat dengan kapal penyelamat, mencoba mencari bukti bahwa Otong tidaklah akan mati. Tapi kenyatan pahit tentang kematian Otong yang mengambang di laut membuatku sedih tanpa tepi.

Setelah mayat Otong dikuburkan, hari pernikah kami tinggal menunggu satu bulan lagi. Mengingat bunyi gitar yang dimainkan Otog membuatku tak mudah lupa tentang kenangan bersamanya. suara gitarnya terus menyayat-nyayat hati, hingga aku larut dalam kesediha yang benar-benar pedih.

“Kita akan menikah setelah aku dari kota, Sutina!” Ucapan terakhir Otong yang mencoba meyakiniku untuk mengihlaskannya pergi, menggema kembali.

Aku tidak mengizinkan Otong pergi ke kota. Karena aku masih sedikit yakin bahwa saat pernikah tinggal tiga bulan, kedua pasangan dilarang pergi menyebrangi laut, karena akan mengalami malapetaka. Tapi Otong terus memaksaku untuk mengizinkannya pergi. Kematian, mungkin jawaban dari ketakutanku melepasnya pergi tempo hari. Telah terkubur kenanganku tentang Otong setelah sepuluh tahun lebih aku terjerembap dalam pilu. Dan kini, si Dewa Gitar kembali mengulang kenangan yang hampir membunuhku itu. [KH]

Yogyakarta , 14-Desember-2018

Tentang Penulis : Khairul Fatah lahir di Sumenep, Madura. Sekarang tinggal di PPM Hasyim Asyiari, dan menjabat sebagai Luruh Komunitas Kutub. Aktif sebagai pemangku adat Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Cerpenya pernah dimuat di Cendana.New, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Fajar Makasar dan berbagai media lainnya. Sekarang Tengah berjuang merampukkan Novel berjudul POLO MALANGARE.
Email : fatahmalangare@gmail.com

Tags: