Kendala Lahan Infrastruktur

Karikatur PanganTiada lahan gratis yang bisa diberikan secara cuma-cuma. Ini menyebabkan seluruh proyek infrastruktur selalu mengalamai hambatan serius. Pengadaan lahan untuk infrastruktur daerah (dan negara), biasa berlarut-larut sangat lama. Bukan hanya terhadap lahan milik masyarakat, atau investor. Melainkan juga lahan milik instansi pemerintah (Kementerian maupun Daerah), mesti di-appraisal sesuai harga pasaran yang berlaku.
Dulu, proyek infratsruktur yang membutuhkan lahan selalu berhadapan dengan makelar tanah. Penyelesaian urusan tanah saja, bisa memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga proyek infrastruktur berjalan lamban. Beberapa kali diterbitkan regulasi, namun tetap tak mempan. Setiap proyek infrat-sruktur selau tergagap-gagap pada tahap pembebasan lahan. Walau harga telah diprediksi akan mahal. Tidak terkecuali lahan milik negara, yang dikuasakan kepada Kementerian.
Aset kepemilikan rakyat wajib dihormati. Namun tidak boleh menjadi penghalang proses pembangunan kepentingan umum. Tetapi realitanya, aset rakyat telah berpindah kepemilikan, dikuasai oleh makelar tanah. Hal itu pernah terjadi, misalnya, pada proyek jalan tol Surabaya – Mojokerto seksi 1A (Waru – Sepanjang). Walau ruasnya sepanjang “lidah,” hanya 1.890 meter. Tapi dibutuhkan 5 tahun untuk menyelesaikannya. Jadi kemampuan pengerjaannya rata-rata cuma 378 meter per-tahun.
Mudah-mudahan ini tak terdengar negara tetangga, karena seolah-olah Indonesia bagai negeri miskin yang baru coba-coba pula membangun jalan ber-bayar. Yang lebih harus ditutupi rapat-rapat adalah proses pembebasan lahan. Sangat sering (hampir selalu) pembebasan lahan menjadi kendala utama. Ingat, untuk membangun frontage road (sisi timur dan barat) jalan A. Yani Surabaya, juga diperlukan negosiasi alot.
Ironisnya, hampir seluruh arealnya merupakan lahan milik instansi pemerintah. Begitu pula (lebih-lebih) proyek Jalur Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur, hingga kini terseok-seok karena pembebasan lahan milik Perhutani. Seolah-olah tiada koordinasi antar-instansi pemerintah? Seolah-olah tiada pucuk pimpinan sebagai pusat komando, sehingga masing-masing bagai raja-raja kecil. Lahan tidur maupun lahan telantar tiba-tiba menjadi komoditas dengan harga tinggi. Ini yang menyebabkan pemerintah propinsi (Jawa Timur) enggan menambah ruas jalan
Pimpinan instansi pemerintah tiba-tiba pula berubah menjadi makelar tanah. Andai terdapat pimpinan nasional yang efektif, maka kendala pembebasan lahan milik pemerintah tak perlu terjadi. Kendala pembebasa lahan untuk proyek instruktur menunjukkan potret kuatnya ego-sektoral. Masing-masing pejabat seolah memiliki hak mutlak terhadap asset, terutama lahan. Tak sejengkalpun boleh dijamah oleh sesama instansi, sebelum dibayar.
Walau sebenarnya (sejarah) kepemilikan lahan diperoleh secara gratis. Bahkan boleh jadi dari hasil mencaplok tanah adat, hak ulayat atau tanah yang sudah dibuka (dan dikerjakan) oleh rakyat. Regulasi pembebasan lahan selalu menjadi persengketaan, selalu terasa ketingalan zaman.`Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005, baru setahun sudah diganti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 tahun 2006.
Juga masih terdapat Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007, plus adanya Lembaga Penilai Harga Tanah (LPHT) yang dilisensi oleh BPN. Namun tetap saja berbagai regulasi itu tak menjamin kelancaran pembebasan lahan untuk pembangunan infra-struktur. Buktinya, saat ini pemerintah mengajukan lagi RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Diantara di dalam draft pasal 8, terdapat persyaratan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi sebagai landasan pengadaan lahan.
Tetapi harus diakui, pembebasan lahan milik masyarakat (maupun milik) pemerintah, juga dijadikan bancakan. Tidak jelas lagi, siapa pemerintah siapa dan siapa makelar tanah. Harga tanah bisa disulap menjadi beberapa kali  lipat, sampai 500%. Setelah terbayar, kelebihan harga tanah dibagi-bagi oleh tim panitia. Mark-up ini dianggap “halal” karena harga disetujui oleh kedua belah pihak, penjual (rakyat) maupun pembeli (pemerintah).

                                                                                                              ——— 000 ———-

Rate this article!