Ketersediaan bahan pangan (terutama beras) selalu dilaporkan “surplus,” melebihi kebutuhan konsumsi. Namun realitanya, harga beras sudah jauh di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Padahal tiada paceklik, dan tiada bencana alam yang menyebabkan gagal panen. Lebih lagi jelang bulan Ramadhan seolah-olah selalu terjadi kelangkaan pasokan pangan. Sehingga “daya tawar” (harga) komoditas meningkat. Konon permintaan (konsumsi) lebih banyak pada bulan puasa, turut menyulut kenaikan harga “bahan dapur.”
Semula, berbagai kawasan sentra pangan menolak impor beras. Termasuk Jawa Timur, karena produksi beras hasil panen masih melimpah. Daerah lain penyangga per-beras-an (Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat) juga sedang mengalami peningkatan hasil panen. Hasil panen tahun ini tidak beda jauh dengan tahun (2022) lalu. Akan menghasilkan beras sebanyak 32,07 juta ton. Masih surplus.
Kebutuhan konsumsi pada bulan Ramadhan naik, disebabkan meningkatnya solidaritas sosial. Setiap orang (terutama yang muslim) ingin memberi makan, terutama saat berbuka puasa. Jamuan makan kelompok masyarakat juga sering dilakukan pada bulan Ramadhan. Hampir seluruh tempat ibadah umat muslim (masjid, dan mushala) menyediakan ta’jil (makanan sederhana awal buka puasa). Bahkan di jalan protokol sering dibagikan bingkisan buka puasa. Tiada yang kelaparan pada saat buka puasa.
Nampaknya, TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) bekerja ekstra keras menjaga inflasi. Melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNIP) inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Pebruari 2023 tercatat 3,09% (secara year on year). Inflasi IHK secara tahunan sebesar 5,47%. Lebih tinggi dibanding bulan Januari sebesxar 5,28%. Motor penggerak inflasi masih didominasi harga beras, dan minyak goreng. Pemerintah telah menggelontor beras (impor) melalui operasi pasar, dengan harga Rp 43 ribu per-kantong (isi 5 kilogram).
Operasi pasar selalu diburu ibu-ibu, yang rela antre panjang. Di Jawa Timur, harga beras telah melonjak sejak awal tahun, dan semakin membubung pada awal Maret. Saat ini harga beras medium eceran naik menjadi Rp 12.850,- per-kilogram. Jauh di atas HET terbaru (sudah dinaikkan menjadi Rp 9 ribu). Sedangkan beras premium tertinggi sudah mencapai Rp 90 ribu per-kantong (isi 5 kilogram). Harga minyak goreng Rp 15 ribu per-liter (HET Rp 14 ribu).
Ironisnya, petani tidak pernah menikmati kenaikan harga beras. Karena biasanya pada musim awal musim tanam, persediaan di lumbung padi sudah habis.
Dibutuhkan campur tangan pemerintah melindungi perekonomian rumah tangga, sesuai mandat UU (undang-undang). Terutama tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Nyata-nyata terdapat frasa kata “stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok.” Jelas bermakna ke-tersedia-an, dan ke-terjangkau-an harga pangan. Sedikit kenaikan, bisa dipahami sebagai efek kesulitan pasokan. Serta sesuai asas supply and demand. Namun tidak boleh me-liar seperti harga minyak goreng. Bahkan UU masih cukup meng-antisipasi gejolak harga pangan. Pada pasal 31, pemerintah diamanatkan menyalurkan cadangan pangan (yang dikuasai pemerintah). Termasuk cadangan beras asal impor.
Operasi pasar khusus beras menjadi program super prioritas, untuk mencegah inflasi. Pemerintah secara sistemik (dan kukuh) mencegah laju inflasi dari kenaikan harga beras. Ironisnya, petani tidak pernah menikmati kenaikan harga beras. Karena biasanya pada musim awal musim tanam, persediaan di lumbung padi sudah habis.
——— 000 ———