Kepastian Hukum Wewenang Pengawas Pilkada 2020

Oleh:
Ervan Kus Indarto
Pemerhati Kepemuluan, lulusan Magister (S-2) Ilmu Politik Universitas Airlangga
Tafsir wewenang Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas) Kabupaten/Kota masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kerangka hukum yang mengatur tentang kelembagaan pemilu, yaitu antara Pasal 95 UU Pemilu dengan Pasal 30 UU Pilkada. Terlebih, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Pilkada yang diajukan Parliement Responsive Forum (PAMOR). MK beralasan bahwa kedudukan hukum (legal standing) dari pemohon tidak bersesuaian dengan uji materi yang diajukan, alasan tersebut merupakan prosedur peradilan yang tidak mampu dipenuhi pemohon.
Kesempatan untuk memperjuangkan wewenang pengawasan di Pilkada masih terbuka, karena MK belum memberikan putusan uji materi dengan perkara sama diajukan oleh anggota Bawaslu, tentu memiliki kedudukan hukum yang lebih tepat sebagai pemohon uji materi UU Pilkada. Pemohon terdiri dari Anggota Bawaslu Provinsi Sumatera Barat, Anggota Bawaslu Kota Makasar dan Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo. Mereka adalah para pemohon sebagai unsur penyelenggara Pilkada 2020 mendatang, memiliki keyakinan bahwa persoalan tafsir wewenang pengawasan Pilkada yang diatur dalam UU Pemilu dengan UU Pilkada dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus menghambat efektifitas berjalannya fungsi penegakan hukum pemilu kedepan.
Asumsi yang mengatakan bahwa fungsi penegakan hukum pemilu selama ini mandul terbukti kurang relevan saat ini. Penegakan hukum pemilu 2019 oleh Bawaslu merupakan contoh empiris, bagaimana kerangka hukum menjadi faktor krusial dalam efektifitas pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Statistik Politik 2019 (BPS, 2019) menyebutkan bahwa Bawaslu telah mengeluarkan sebanyak 658 putusan pelanggaran administrasi dan 380 putusan pelanggaran pidana pemilu. Bawaslu (hingga Mei 2019) mencatat sebanyak 7.598 temuan dan laporan pelanggaran pemilu dan diantaranya 5.319 pelanggaran administrasi, sebanyak 103 putusan pidana pemilu telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, diantaranya sebanyak 24 putusan dalam kasus politik uang. Sebagai contoh seperti kasus pencoretan nama calon anggota DPRD di DKI Jakarta dan Kota Remi Ontalu-Gorontalo akibat tertanggap melakukan praktek politik uang dalam pemilu legislatif tahun lalu.
Kewenangan Bawaslu di pemilu 2019 merupakan penerapan tiga standar pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Pertama, kelembagaan aduan (complaint management system) yaitu saluran keluhan dan aduan publik terkait berbagai laporan tindak pelanggaran dan kecurangan di setiap tahapan pemilu. Kedua, kelembagaan pengawasn (observation) yaitu fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap penegakan prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil untuk semua kontestan pemilu maupun hak-hak politik bagi pemilih. Ketiga, kelembagaan peradilan (electoral integrity) yaitu sebagai kelembagaan pemilu yang menjalankan fungsi peradilan dengan putusan bersifat final dan mengikat, khususnya terkait sengketa proses pemilu maupun sengketa pemilu lainnya yang diatur sebagai kewenangan pengawas pemilu.
Standar internasional tentang pelaksanaan free and fair election juga memberikan perhatian serius terhadap persoalan kerangka hukum pemilu sebagai faktor penting penerapan fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemilu secara konsisten. International IDEA (2002, 39) menetapkan standar kerangka hukum pemilu demokratis yaitu kerangka hukum harus mewajibkan badan pelaksana pemilu dibentuk dan berfungsi dalam satu cara yang menjamin penyelenggaraan pemilu secara independen dan adil. Fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemilu menjadi pertaruhan, celah kerangka hukum akan dimanfaatkan berbagai pihak berkepentingan dalam pemilu untuk memanipulasi pelanggaran-pelanggaran pemilu. Kondisi ini oleh The Electoral Knowlidge Network (ACE, 2012) disebut sebagai praktek manipulatif para pelaku politik dengan memanfaatkan celah aturan main demi kepantingan dan tujuan politik kekuasaan. Pelanggaran sebagai wujud pencederaan terhadap prinsip demokrasi terjadi bukan saja akibat dari tidak adanya aturan main pemilu demokratis, melainkan juga terjadi akibat aturan main pemilu tersebut tidak memenuhi asas kepastian hukum dengan aturan-aturan yang saling tumpang-tindih.
Langkah Konstitusional
Uji materi ke MK merupakan langkah kontitusional yang tepat diambil saat ini. Sesuai pasal 24C UUD 1945 bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Mukthie Fadjar (2010) memaknai MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus penafsir tunggal (sole interpreter) kontitusi sebagai solusi konstitusional dalam tata kelola pemerintahan demokratik Berdasar kewenangan yang dimiliki, MK dapat melakukan telaah konstitusional terhadap pasal 30 dalam UU Pilkada tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Menyandingkan dengan pasal 95 UU Pemilu sebagai kerangka hukum yang mengatur kewenangan kelembagaan pengawasan pemilu.
UU Pilkada memberikan kewenangan Panwas Kabupaten/Kota meliputi mengawasi, menerima laporan tindak pelanggaran, menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran selain tindak pidana pemilu, meneruskan temuan dan laporan kepada KPU dan meneruskan temuan dan laporan kepada instansi yang berwenang memutus sengketa pemilu. Ketentuan ini tidak memberikan wewenang Panwas melanjalankan fungsi peradilan pemilu, seperti memutus perkara pelanggaran, politik uang dan sengketa dalam proses pemilu lainnya.
Sedangkan UU Pemilu (disebut Bawaslu Kabupaten/Kota) memiliki wewenang menerima dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran terhadap undang-undang kepemiluan, memutus pelanggaran administrasi pemilu, memutus pelanggaran politik uang, serta memutus penyelesaian sengketa proses pemilu. Bawaslu merupakan kepanjangan tangan dari sebuah mekanisme peradilan pemilu dengan kewenangan memutus sejumlah perkara pelanggaran sebagai kewenangannya.
Langkah konstitusional melalui uji materi UU Pilkada merupakan bagian dari mencari kepastian hukum atas kerangka hukum pemilu. Harapannya adalah sebuah putusan Mahkamah yang seadil-adilnya. Sehingga fungsi pengawasan dan penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif untuk setiap tahapan pelaksanaan Pilkada mendatang.
—— *** ——-

Tags: