Kepatutan Remisi Napi Pidana Khusus

(Suap Penegak Hukum dan Urus Remisi Hasil Korupsi)
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Hidup di bui menyiksa diri // Jangan sampai kawan mengalami //
Badan hidup, terasa mati … .” Begitu syair lagu yang dinyanyikan oleh vokalis grup musik D’Lloyd, almarhum Sjamsudin (nama aslinya Sjamsuar Hasyim). Menjadi hit pada dekade tahun 1970-an. Karena terkait politik, lagu ini pernah dicekal (dilarang beredar) oleh Kopkamtib. Tetapi pada akhir dekade 1990-an, kembali direkam ulang. Hingga kini, lagu “Hidup di Bui,” masih sering dinyanyikan di cafe-cafe.
Hidup di dalam penjara sungguh tidak nyaman, badan hidup, terasa mati. Kenyataan sangat pahit itu, sudah dirasakan jutaan manusia se-dunia. Karena itu setiap narapidana meng-harap adanya remisi (pengurangan hukuman). Cara utamanya, dengan berperilaku baik selama dalam proses hukuman. Remisi, sebagai pengurangan hukuman, sangat diharapkan oleh setiap narapidana. Bermacam-macam remisi dapat diterima narapidana sebagai berkah.
Semakin lama hidup di penjara (dan berperilaku baik), remisi yang diperoleh akan semakin besar. Bisa sampai 6 bulan per-tahun. Remisi akan bertambah besar manakala narapidana telah menjalani perayaan rohani (memperingati hari raya keagamaan). Perayaan rohani akan menambah remisi selama 60 hari. Sehingga biasanya, hukuman pidana penjara telah bisa “diselesaikan” lebih cepat. Bebas bersyarat bisa diperoleh kurang dari dua pertiga masa hukuman.
Artinya, yang divonis selama 12 tahun, bisa menghirup udara bebas (bersyarat) sebelum tahun ke-8 di penjara. Berkah remisi (besar), pernah diperoleh Antasari Azhar, yang divonis penjara 18 tahun. Mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini memperoleh status bebas besryarat setelah menjalani hukuman sekitar 7 tahun. Begitu pula Prof. Dr. Said Aqil Munawar (mantan Menteri Agama), menerima bebas bersyarat. Hukuman selama 5 tahun, dijalani sekitar separuhnya.
Pada peringatan hari kemerdekaan RI ke-72, memberi remisi hukuman diberikan kepada lebih dari 92 ribu narapidana. Meliputi pidana umum maupun pidana khusus (korupsi), serta kategori extra-ordinary crime (terorisme dan narkoba kelas bandar gede). Konon, remisi, juga untuk menghemat keuangan negara, yang selama ini digunakan meng-hidupi narapidana. Penghematan cukup besar, sekitar Rp 102 milyar, dari jatah makan Rp 14.700,- tiga kali sehari.
Hak Remisi Napi
Narapidana kasus pidana khusus (korupsi) yang memperoleh remisi sebanyak 400 orang. Walau jumlah remisi narapidna pidana terus dipersempit selama tiga tahun terakhir. Tetapi pemberian remisi dapat mengendurkan kepercayaan publik nasional maupun internasional. Indonesia bisa dipersepsi tidak sungguh-sungguh memberantas korupsi. Itu berpotensi menurunnya partisipasi investor, terutama untuk pembangunan infratsruktur.
Ironisnya, pemerintah nampak berupaya merevisi regulasi (Peraturan Pemerintah), dengan beberapa kelonggaran. Karena remisi dianggap sebagai hak warga binaan (narapidana), tak terkecuali koruptor. Upaya kelonggaran remisi koruptor, niscaya berlawanan dengan semangat masyarakat menggencarkan gerakan anti korupsi. Juga berlawanan dengan gerakan transparansi internasional. Patut pula diwaspadai, akan dianggap lazim (wajib), sebagai pengampunan pemerintah.
Banyaknya remisi korupsi, bagai obral pengampunan hukum. Bisa semakin menyuburkan korupsi. Lebih lagi, gagasan pemerintah yang ingin merevisi PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 99 tahun 2012, Itu bisa dipersepsi sebagai langkah surut pemberantasan korupsi. Melawan arus semangat kehendak rakyat. Buktinya, wacana PP tentang syarat tatacara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan (napi) telah mendapat kecaman luas.
Kecaman paling mendalam, ditujukan pada penghapusan persyaratan justice collaborator dalam draft revisi. Dalihnya, persamaan hak asasi manusia (HAM). Benar, bahwa pada ranah pidana umum, remisi merupakan hak warga binaan Lapas (lembaga pemasyarakatan, napi). Tetapi korupsi tergolong extra-ordinary crime, kejahatan luar biasa, dikategori sebagai pidana khusus. Sehingga koruptor patut dibedakan dengan napi kejahatan lain.
Sehingga hilangnya syarat tersebut (justice collaborator), dikhawatirkan akan membuka keran obral remisi. Maka prosedur remisi pantas dibedakan dengan napi kriminalitas pencurian (maling) ayam. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa meng-anggap korupsi sebagai melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).  Wacana pemberian remisi kepada napi koruptor dan narkoba, selalu dikaitkan dengan hak warga binaan Lapas. Hal itu diatur dalam UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Di dalamnya terdapat pasal 14 ayat (1) huruf i, berisi hak remisi.
Namun pada ayat (2) terdapat syarat dan pelaksanaan hak-hak napi diatur dengan PP. Dus remisi, bukan sembarang hak yang bisa diterima secara serta-merta. Khususnya terhadap korupsi, terorisme dan narkoba, perlu diatur dalam Peraturan pemerintah. Termasuk yang terbaru PP Nomor 99 tahun 2012, hasil dari revisi berkali-kali.
Titipan Hasil Korupsi
Dengan PP (terbaru) tahun 2012 itu, hak memperoleh remisi tidak dihapus. Melainkan sekadar diberi tambahan syarat, sehingga  tidak mudah memperoleh remisi. Terdapat syarat khusus, sebagaimana diatur dalam pasal 34A ayat (1) huruf a. Tekstualnya dinyatakan, “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.” Kerjasama harus dibuktikan sejak awal proses penyidikan kasusnya.
Yang tidak bekerjasama, tidak boleh diberi remisi. Selain itu juga harus memenuhi pasal 34A ayat (1) huruf b, yakni, telah lunas membayar denda uang pengganti. Banyak napi koruptor yang sukses melaksanakan amanat PP tahun 2012. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum (terutama KPK). Frasa kata “bekerjasama” mudah dijejaki, pada saat proses hukum dan proses persidangan (di Pengadilan).
Masyarakat luas juga bisa menjadi penilai tingkat “kerjasama” itu, karena proses persidangannya diliput luas media massa. Sudah banyak pejabat publik (politik) dan pejabat karir, turut dijebloskan ke penjara sebagai hasil kerjasama oleh “Mr. justice collaborators,” atau “Mr. whistle blower.” Beberapa “Mr. Whistle blower” yang terkenal diantaranya, M. Nazaruddin (mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, anggota DPR), dan Profesor Rudi  Rubiandini (mantan Kepala SKK Migas).
Korupsi memang harus diberantas sampai ke akar jaringannya. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui kerjasama dengan terdakwa. Jika tidak bekerjasama, terdakwa (yang terbukti) patut memperoleh hukuman berat, tanpa remisi. Sebab boleh jadi, banyak pihak “dititipi” hasil korupsi, yang bisa diambil setelah hukuman dijalani. Harta hasil korupsi juga bisa digunakan untuk menyuap penegak hukum, serta untuk mengurus proses remisi! Toh hasil korupsi cukup berlimpah, dititipkan pada beberapa sanak keluarga, dan orang-orang terdekat.
Sebagai extra-ordinary crime (kriminal luar biasa), seluruh dunia juga mendendam sengit. Sampai PBB menerbitkan konvensi khusus korupsi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi itu dinyatakan keprihatinan mendalam terhadap korupsi. Karena bisa menimbulkan kekacauan seluruh aspek kehidupan. Lebih kejam dibanding kejahatan perang
Secara tekstual, mukadimah konvensi menyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”
Diperlukan kerja ekstra seksama kalangan KPK (dan Saber pungli) untuk memutus rantai suap proses remisi. Sudah menjadi rumors umum, bahwa remisi juga mensyaratkan “uang pengurusan.” Nilainya diperhitungkan sesuai banyaknya masa pemotongan hukuman. Itu korupsi dalam korupsi.

                                                                                                          ———   000   ———

Rate this article!
Tags: