Kepeloporan Pemuda Tanpa Narkoba

(Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Hari Santri)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Dalam kitab “Babad Tanah Jawi,” dicatat, bahwa Jaka Tingkir (mas Karebet), adalah cucu dari Syarif Muhammad, alias Adipati Andayaningrat. Karena kecerdasan (dan ketampanannya), Syarif Muhammad, dijadikan menantu oleh Raja Brawijaya, dinikahkan dengan putri mahkota, Ratu Pembayun.
Secara trah (silisilah), Jaka Tingkir, adalah seorang habaib (keturunan Kanjeng Nabi SAW). Jika diurut, Jangka Tingkir adalah keturunan ke-23 Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Karena kakeknya, Syarif Muhammad, adalah keturunan ke-21. Bahkan kelak, Jaka Tingkir, menjadi Raja Pajang, bergelar Sultan Hadiwijaya. Dari trah Jaka Tingkir, berbagai kesultanan Islam selamat dari kehancuran. Begitu pula pendiri kerajaan Mataram (baru), Sutawijaya, adalah anak kandung Jaka Tingkir.
Silsilah ke-Indonesia-an keturunan Arab, dimulai dari Walisanga, yang memperoleh kedudukan terhormat pada kerajaan Majapahit. Salahsatu yang disebut secara resmi dalam sejarah, adalah Patih Unus, menantu Raden Patah, Raja Demak, sekaligus penerus Majapahit. Patih Unus, memiliki nama lengkap Abdul Qodir bin Muhammad Yunus. Ayahnya, Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar (keturunan Persia), menikah dengan putri pembesar kerajaan Majapahit, menetap di Jepara (Jawa Tengah).
Muhammad Yunus, seorang habaib, keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW ke-19. Pernikahannya dengan putri pembesar Majapahit, melahirkan Abdul Qodir. Setelah dijadikan menantu Raden Patah, Abdul Qodir bergelar Adipati bin Yunus. Secara mudah, dialek Jawa meyebutnya Patih Unus. Jadi, antara Raden Patah dengan Patih Unus, sama-sama keturunan Arab (habaib), dengan ibu Jawa. Setelah menggantikan Raden Patah, Patih Unus mengirim armada laut ke Malaka, melawan Portugis.
Patih Unus, Raja Demak II, diangkat sebagai panglima gabungan tiga kesultanan (Demak, Banten dan Cirebon). Pada tahun 1521, Sebanyak 375 armada kapal dikirim melawan Portugis di Malaka. Ribuan santri gugur sebagai syuhada’, termasuk Patih Unus. Ini disebabkan perjalanan sangat panjang, dan kurangnya perbekalan. Pada pihak Portugis, hampir separuhnya juga gugur. Panglima gabungan digantikan oleh Tubagus Pasai, yang kelak bergelar Raden Fatahilah.
Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Tanggal ini dikukuhkan sebagai hari lahir Jakarta. Pada tanggal itu pula, sebutan Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Makna Jayakarta (kota Kemenangan), mirip dengan makna nama sang panglima penakluk, yakni, Fatahilah (Fatahilah dalam bahasa Arab, artinya Kemenangan yang diberkati Allah).
Membangun Kemajemukan
Mencermati sejarah ke-Indonesia-an, kemajemukan seolah-olah sengaja dibangun, dengan cara pernikahan antar-suku bangsa. Sejak awal sejarah Nusantara (zaman kerajaan Budha dan Hindu), tali perkerabatan telah dibangun oleh raja-raja, melalui pernikahan. Misalnya, Balaputradewa, raja Sriwijaya (di Palembang), adalah cucu buyut dari Sanjaya (pendiri kerajaan Mataram kuno di Jawa). Begitu pula kerajaan di Sulawesi dan Maluku merupakan keturunan raja Majapahit Islam. Bertalian keturunan dari Syeh Maulana Akbar, kakek Sunan Ampel.
Ke-bhineka-an merupakan keniscayaan Indonesia, sejak abad ke-8. Atau seribu tahun sebelum Amerika Serikat lahir sebagai negara multi-etnis (berbagai bangsa di Eropa). Andai bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Indonesia murni untuk berdagang (dan ber-asimilasi), pastilah akan diterima pula dengan baik. Ironisnya, warisan trauma perang salib telah menjadikan bangsa Eropa bagai singa kelaparan.
Umumnya bangsa Eropa (saat itu) adalah bangsa miskin, karena iklim dan minimnya sumberdaya alam. Sehingga tingkat pendidikannya juga sangat rendah. Ingat JP Coen, pimpinan armada besar Portugis (awal abad XVII), tidak lulus SD. Sebaliknya sejak abad XI, bangsa-bangsa Asia merupakan bangsa yang kaya (sumberdaya alam). Dan terdidik (melalui pendidikan agama Budha, Hindu dan Islam). Karenanya mengerti hukum karma, halal dan haram.
Temuan teknologi senjata api pada abad XII dijadikan oleh bangsa Eropa sebagai pemusnal masal untuk memerangi bangsa Asia. Padahal senjata pemusnah masal dilarang dalam perang. Karena itu bangsa-bangsa di Asia yang terdidik, tidak menggunakan senjata pemusnah masal. Sebaliknya bangsa Eropa yang tidak terdidik, miskin dan ganas, lebih suka menggunakan senjata pemusnah masal. Begitu pula pada Perang Dunia II, lagi-lagi digunakan senjata pemusnah masal yang lebih dahsyat (berupa bom atom) yang dijatuhkan di kota Hiroshima, Jepang.
Bangsa-bangsa Asia, selalu memiliki tokoh pemuda dengan intelektual memadai (terdidik), sejak abad ke-9. Pada zaman Budha dan Hindu, terdapat tokoh pemuda, Balaputradewa, Airlangga, Raden Wijaya, dan Hayamwuruk. Pada zaman Islam, terdapat Jaka Tingkir, Raden Fatah, Patih Unus, dan Diponegoro. Seluruhnya, pemuda ber-integritas, dedikasi tinggi, dan bertubuh kuat. Sekaligus santri (dalam bahasa Sansekerta disebut shastri).
Santri (maupun shastri) di-definisikan sebagai pemuda, berusia antara 17 tahun hingga 45 tahun. Berjuang menjadi keniscayaan santri. Semangat (spirit perjuangan) telah menjadi sikap santri sejak abad ke-15, zaman Raden Fatah. Serta Fatahilah yang melawan penjajahan. Dilanjutkan perlawanan pangeran Diponegoro, dalam “Perang Jawa” (selama 5 tahun) yang sangat fenomenal. Ke-juanga-an merupakan “buah” pendidikan selama di pesantren. Terus sambung menyambung pada era Ki Hajar Dewantara, Soekarno (dan Hatta), hingga kini.
Pelopor Kejuangan
Bersyukur, kini di Indonesia terdapat hari Pemuda (28 Oktober) dan hari Santri (22 Oktober). Hari Pemuda, diperingati sebagai hari kebangsaan ke-Indonesia. Di rumah kos-kosan komunitas Jong Java, di jalan Kramat Nomor 106, digagas untuk me-nasional-kan tekad merdeka. Di-deklarasikan satu negara bangsa Indonesia. Tekad merdeka dalam satu bangsa semakin kuat. Walau sekadar deklarasi, bukan angkat senjata. Tetapi Sumpah Pemuda, menjadi momentum utama nasionalisme ek-Indonesiaan.
Sedangkan hari Santri Nasional, pada visinya adalah memperingati tercetusnya “Resolusi Jihad.” Benar-benar angkat senjata. Berperang jihad (hidup atau mati) mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan tiga bulan sebelumnya. Saat itu, pengasuh pesantren Tebu Ireng, Jombang, hadratus-syeh kyai Hasyim Asy’ary, mem-fatwa-kan kewajiban perang jihad. Karena untuk kepentingan politik kebangsaan (nasional), KH Hasyim Asy’ary, menyatakannya sebagai resolusi.
Fatwa yang telah menjadi resolusi, merupakan gambaran tekad masyarakat Surabaya menolak perlucutan senjata oleh tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Sesuai pula dengan sikap gubernur Jawa Timur, RMT Soerjo. Hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary, telah lama dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Resolusi jihad niscaya, disertai ketakwaan sebagai simbol keimanan. Begitu pula Bung Tomo, juga menyandang gelar pahlawanan nasional (kemerdekaan).
Resolusi (ajaran) jihad, merupakan pembelaan (kecintaan) kepada negara, sebagai bagian dari iman. Jihad pembelaan negara terwujud dalam pekik perjuangan khas santri, dengan kalimat “Allahu Akbar, Merdeka atau Mati.” Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, sampai yang tua renta, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda.
Kini, Sumpah Pemuda (tahun 1928) sudah berlalu 89 tahun. Resolusi jihad (perang mempertahankan kemerdekaan) juga sudah bersilam 72 tahun. Yang mengkhawatirkan, adalah teladan ke-negarawan-an semakin krisis. Hampir seluruh pejabat publik terindikasi KKN. Atau setidaknya, telah terkotak-kotak dalam “sekte” ke-parpol-an. Yang tidak satu parpol dianggap musuh.
Diperlukan reorientasi spirit untuk membangkitkan suasana pluralisme ke-Indonesia-an. Juga kesediaan berjihad seperti santri 72 tahun silam. Setiap pemuda (terutama santri), mestilah berani bersumpah: Tidak meng-gadaikan tanah-air satu-satunya, tidak menciderai sesama bangsa, dan bersatu bahasa untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
————- *** —————-

Rate this article!
Tags: