Hanya tiga pekan memulai kerja tahun 2022, KPK sudah melakukan 4 kali OTT (Operasi Tangkap Tangan). Tiga Kepala Daerah (2 Bupati, dan 1 Walikota) ditangkap. Serta seorang hakim, dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, juga ditangkap dalam aksi OTT berbeda. Masyarakat meng-apresiasi dengan bangga kinerja KPK. Namun apresiasi juga diselingi dugaan, apakah bupati, walikota, dan hakim yang lain, tidak seperti itu (sama-sama pantas di-OTT)?
Suap di kalangan penegak hukum yang buruk, konon, bukan lagi bisik-bisik. Melainkan dianggap sebagai kewajaran. Sehingga banyak korban, tidak memperoleh keadilan di ranah Pengadilan. Seorang mantan hakim, berujar, banyak urusan tanah melibatkan mafia suap. Tetapi tidak terungkap media, karena dalam ranah perdata (dianggap tidak menarik). Namun setelah menjadi kasus pidana, dan melibatkan masyarakat, pers mulai menggencarkan berbagai laporan.
Suap di kalangan penegak hukum, bagai bara dalam sekam. Diperlukan “angin” untuk mengungkap kebiasaan buruk, yang nyaris sistemik. Biasanya diawali dengan kongkalikong, antara pengacara dengan panitera. Kasus tanah patut menjadi perhatian seksama KPK, terutama sengketa antara masyarakat dengan pengusaha. Bahkan tak jarang, antara masyaerakat dengan pemerintah daerah. Juga antara masyarakat dengan instansi negara, karena urusan tanah yang kronis.
Sebagian kasus tanah merupakan warisan ke-sewenang wenangan rezim kolonial, dan oknum rezim orde baru. Kelompok masyarakat (dan perorangan yang miskin) dalam suasana rentan kalah, karena tidak memiliki uang yang cukup untuk ber-perkara di Pengadilan. Maka Pengadilan, yang seharusnya muara akhir keadilan, bagai menjadi muara ke-zalim-an hukum. Dalam hal OTT hakim di PN Surabaya, mens rea (mental) dan niat kolusi dan nepotisme “mempermainkan” hukum, telah nampak.
Rekam jejak hakim yang di-OTT, pernah menjalani skorsing oleh Mahkamah Agung (MA), karena melanggar kode etik. Yakni, dua kali membebaskan terdakwa kasus korupsi di Lampung Timur, dan Lampung Tengah. Namun di tingkat kasasi MA memberi hukuman penjara 15 tahun penjara kepada mantan Bupati Lampung Timur, dan hukuman 12 tahun penjara pada mantan bupati Lampung Tengah.
KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) telah diwaspadai masyarakat sedunia. Bahkan masuk dalam mukadimah seruan konvensi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Artinya, masyarakat sedunia juga mendendam sengit pada perilaku korupsi, yang merusak nilai etika dan keadilan, dan mengacaukan penegakan hukum.
Pada mukadimah seruan sikap konvensi, secara tegas menyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.” Bahkan korupsi memiliki daya rusak terhadap sistem kenegaraan, dan sistem Peradilan.
OTT KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) selama tiga pekan awal tahun 2022, patut digencarkan pada bulan berikutnya (Pebruari hingga April). Pada periode kuartal pertama setiap tahun, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) turun memeriksa “perjalanan” APBD propinsi, serta kabupaten dan kota. Selanjutnya BPK memberi opini, dengan tiga pilihan. Yakni, Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan Disclaimer. Pemeriksaan oleh BPK juga rawan “godaan” suap terhadap auditor.
Audit keuangan rutin oleh BPK, biasa memberi “temuan” (catatan kesalahan ad mknistrasi, dan kepatuhan terhadap peraturan). Walau diberi opini “WTP” bukan berarti bersih dari kesalahan, melainkan bisa meliputi puluhan kesalahan. Sedangkan opini “WDP” niscaya memiliki catatan lebih panjang. Khusus opini “Disclaimer,” Kejaksaan, dan KPK bisa langsung bergerak menangkap pejabat pelaksana APBD.
——— 000 ———