Kerumunan

Nurudin

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Univ. Muhammadiyah Malang (UMM)

Akhir-akhir ini istilah kerumuman menjadi sangat populer. Bahkan istilah itu menjadi semakin dikenal setelah kata tersebut menjadi pilihan wacana yang dikait-kaitkan dengan kepentingan politik. Sebenarnya bukan istilahnya yang populer, tetapi kepentingan politik dibelakangnya yang membuat heboh.

Sejak pandemi covid-19 mewabah di Indonesia, kerumunan menjadi sebuah wacana yang penting dipopulerkan. Pandemi di negara ini mengalami pasang surut penanganan, carut marut pelaksanaan, tarik ulur kebijakan, tidak patuhnya masyarakat dan omongan pejabat publik yang tidak bisa dipegang. Apalagi jika hanya berkait dengan kepentingan kelompok dan segelintir orang. Maka, berbagai upaya yang sudah dilakukan pun tidak membuahkan hasil yang maksimal.

Itu semua tak bermaksud memandang sebelah mata apa yang sudah dilakukan pemerintah. Meskipun mengatasi pandemi itu tak semata-mata tugas pemerintah. Masyarakat sebagai objek langsung virus juga harus memahami dan mematuhi. Namun harapan tak semudah yang dibangun dalam pikiran. Dengan kata lain penerapan untuk mencegah menjalarnya virus memang tak mudah dilakukan. Bukan tak ada langkah kongkrit, hanya dalam pelaksanaannya mengalami hambatan sedemikian rupa.

Maka, himbauan yang selayaknya gencar dilakukan adalah usaha preventif dengan kebijakan yang lebih tegas. Sebab tanpa itu semua, sebanyak apapun biaya sudah dikeluarkan dan pengerahan aparat sampai tentara sekalipun tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Pilih Kasih?

Salah satu kebijakan yang layak diperhatikan dan berbiaya murah adalah usaha preventif. Misalnya menjaga jarak, memakai masker dan sering mencuci tangan. Ini anjuran yang terus diteriakkan pemerintah pada masyarakat. Berbiaya murah karena pelaksanaannya sangat tergantung dari kesadaran masyarakat. Tentu saja harus didukung dengan penegakan protokol kesehatan (prokes) yang tegas dari pemerintah.

Masalah utama terletak pada tiadanya kesadaran masyarakat untuk melakukan dan mematuhi prokes secara ketat. Tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat yang tak taat prokes. Pertanyaannya, apakah pemerintah selama ini sudah bertindak tegas dan adil terkait dengan penegakan prokes terkait usaha preventif tersebut?

Pemerintah selama ini hanya menghimbau untuk mematuhi prokes. Salah satu cara yang dianjurkan dengan mengurangi kerumunan. Minimnya kerumunan memang bisa menekan penyebaran virus tetapi kerumuhan bukan berdiri sendri yang tak terkait dengan kebijakan pemerintah dan kesadaan masyarakat.

Soal kerumunan kembali disorot setelah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) (10/11/20) dari Arab Saudi. Masalahnya, massa penjemput HRS ini sedemikian banyak dan tentu saja peluang pelanggaran prokes terjadi. Bahkan kerumunan demi kerumunan terus menggejala setelah ada pernikahan putri HRS dan peringatan Maulid Nabi SAW. Lalu, akan diikuti oleh acara-acara yang mengundang HRS di beberapa daerah.

Pro kontra pun kemudian muncul. Menjadi ramai karena secara politik HRS bertolak belakang dengan pemerintah. Tentu akan lain halnya jika yang menjadi sorotan bukan HRS. HRS tentu bersalah karena telah menjadi pemicu munculnya kerumunan. Namun demikian apakah masalah hanya berhenti di situ saja?

Tokoh HRS menjadi daya magnit menyita perhatian masyarakat dan juga pemerintah. Massa HRS merasa aman-aman saja karena ini bukan kerumunan yang pertama. Sebelumnya berbagai kerumunan yang melanggar prokes juga sudah terjadi. Kelompok ini merasa bahwa kebijakan pelaksanaan Pilkada juga memicu pengumpulan massa dan melanggar prokes. Jadi Pilkada dianggap sebagai pemicu munculnya kerumunan-kerumunan selanjutnya.

Masalahnya menjadi rumit manakala teknis penyelesaian pelanggaran prokes tidak tegas dan dianggap pilih kasih. Deklarasi dan kampanye Pilkada yang melibatkan kerumunan massa belum ada tindakan tegas. Bahkan suara suara lantang sudah diteriakkan masyarakat atas potensi pelanggaran prokes Pilkada tersebut. Namun sebagaimana biasanya, pelanggaran tinggal pelanggaran Pilkada jalan terus. Masalahnya Pilkada ini diinginkan oleh pemerintah.

Sementara itu, kerumunan massa HRS tidak diinginkan pemerintah. Masalahnya ada pada kepentingan politik pemerintah juga. Menjadi tidak masalah jika seandainya HRS itu berasal dari “kubu” pemerintah. Pernyataan ini bukan semata-mata membela HRS. Tetapi kita mencoba mendudukkan persoalan pada posisi sebenarnya. Bahwa ada perbedaan kebijakan soal kerumunan akibat kepulangan HRS dengan Pilkada, meskipun sama-sama melakukan pelanggaran.

Lalu Apa?

Langkah yang perlu dilakukan adalah. Pertama, memanggil HRS dan meminta keterangan. Apakah ini sudah dilakukan pemerintah? Masalahnya, jika ini tidak dilakukan kerumunan demi kerumunan akan terus ada. HRS itu magnet yang tidak bisa dilarang begitu saja.

Dimana HRS ada, massanya akan berkumpul dengan sendirinya. Ini bisa otomatis terjadi. Jadi kuncinya ada pada pemimpin Front Pembela Islam (FPI) tersebut. Jika ini tidak dilakukan, maka kerumunan akan terus terjadi dan penyelesaian hanya dibagian kulitnya saja. Kalau pemerintah gengsi bertemu atau memanggil HRS, pertemuan bisa dilakukan di sebuah lokasi netral.

Kedua, pelanggaran Pilkada terkait kerumunan juga harus ditindak tegas. Selama tidak ada ketegasan dan terkesan pilih kasih seperti itu, maka persepsi masyarakat atas pemerintahnya selalu negatif. Kalau sudah begini, maka akan terbangun dalam pikiran sebagian masyarakat bahwa pemerintah memang tidak serius mengurusi pandemi covid-19 ini.

Pemerintah hanya akan terkesan senang mencari kambinghitam. Ia akan dianggap lambat dan tak punya kemampuan mengantisipasi. Jika begini, maka berbagai kebijakan akan terkesan “”mengada-ada”. Kebijakan bisa terkesan hanya tambal sulam.

Pencopotan baliho soal kepulangan HRS bisa jadi baik tetapi itu tidak menyelesaikan persoalan dasarnya. Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan perilaku FPI, tetapi memberikan tempat aparat keamanan ikut larut dalam urusan baliho rasanya kurang elok. Hal tersebut juga menurunkan wibawa lembaga TNI.

Sebaiknya, kita sudah semakin disadarkan untuk mencari akar masalah bukan mengatasi persoalan pada kulitnya saja. Jika tidak, selamanya kebijakan pemerintah akan dianggap benuansa politis. Jangan sampai masyarakat terus memendam kekecewaan yang bisa mengalami eskalasi. Suatu saat bisa meledak dengan sendirinya.

————- *** —————

Rate this article!
Kerumunan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: