Kerusuhan Singkil Rentetan Masalah Sejak 1979

Kerusuhan SingkilLemahnya Koordinasi Intelijen Disorot
Jakarta, Bhirawa
Pecahnya kerusuhan di Singkil Aceh, karena permasalahan lama. Yakni tidak adanya penegakan hukum yang tegas sejak awal seiring dengan pendirian gejera di sana yang diduga menyalahi aturan.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan menyebut masalah di Singkil terjadi mulai 1979, 2011, 2013 dan hingga sekarang.
Sebenarnya, kata Luhut, sudah ada kesepakatan untuk melakukan pembongkaran dari gedung-gedung yang tidak ada izin untuk dijadikan gereja. “Tapi ada massa yang memaksa melakukan pembakaran seperti kemarin. Sekarang masalahnya sudah diselesaikan,” kata Luhut di Gedung KPK Jakarta Selatan, Kamis (15/10).
Pemerintah disebutnya telah berkoordinasi dengan Kapolri untuk menyelesaikan permasalahan di Singkil. “Kapolri sudah memberikan penjelasan kepada masyarakat di sana mengenai permasalah tersebut,” ujar Luhut.
Pemerintah juga mengimbau kepada para penduduk Kabupaten Aceh Singkil yang mengungsi ke Sumatera Utara agar kembali ke rumah masing-masing. Pemerintah, masih kata Luhut, sudah melakukan koordinasi untuk mengamankan situasi.
“Gubernur Aceh juga sudah berkoordinasi karena ini masalah Peraturan Daerah, seperti yang kita ketahui Singkil itu berbatasan dengan Sumatera Utara, dan penduduk Singkil itu banyak berasal dari orang-orang Pakpak bukan Aceh, dan banyak dari mereka yang beragama Kristen,” katanya.
Sebelumnya Ketua PP Pemuda Muhammadiyah  Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan penyebab kerusuhan disebabkan sebagian masyarakat menuntut supaya beberapa gereja di daerah itu dibongkar, sebab pendirian sejumlah gereja di sana menyalahi aturan.
Disebutkan pada 1979 ada perjanjian dari umat nasrani hanya membangun satu gereja dan empat undung-undung. Namun belakangan malah berkembang jumlahnya tanpa ada koordinasi sehingga masyarakat setempat minta pemkab menertibkan gereja yang tidak berizin itu.
Sementara itu anggota Dewan Pertimbangan Presiden Hasyim Muzadi menyoroti kelemahan koordinasi intelijen yang dimiliki sejumlah sektor sebagai imbas timbulnya insiden di beberapa daerah, dan kasus terakhir pembakaran gereja di Singkil  Aceh, Selasa (13/10).  “Saya melihat intelijennya tidak lemah, tapi koordinasinya yang harus diperkuat,” ujarnya.
Menurut dia, dengan dimilikinya badan intelijen di semua sektor, yakni Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen kepolisian, intelijen TNI, intelijen pemerintah daerah maupun intelijen kejaksaan, diharapkan bisa semakin memperkuat.    “Masing-masing sektor itu punya intelijen sendiri-sendiri, tapi tidak bergerak simultan karena belum ada undang-undang yang terpadu. Nah di situlah masalahnya, bukan kualitas penyelenggara intelijennya,” ucapnya.
Sebagai salah satu bentuk antisipasi, kata dia, sangat diperlukan penyadaran ke masyarakat dan peningkatan kemampuan pertahanan keamanan negara, baik secara sistem maupun secara penyelenggara keamanan itu sendiri.
Sementara itu, terkait tindak lanjut insiden di Aceh, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut menyarankan pemerintah melakukan investigasi dari dua sisi, yakni sisi kejadian dan sesi kemungkinan karena didesain.
Dilihat dari sisi kejadiannya, kata dia, tentu merupakan kriminalitas yang dibungkus agama dan harus ada sikap tegas dari aparat penegak hukum.   Sedangkan dari sisi lainnya, lanjut dia, diminta bagaimana sistem pertahanan keamanan negara diperbaiki sehingga tidak sampai menjadi korban desain dari orang lain.    “Itu saja kok obatnya. Tapi kalau tidak dilakukan maka akan terus seperti ini,” kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang tersebut.
Ia juga mencatat, dua kejadian terakhir di Indonesia, yakni di Tolikara yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri pada Jumat (17/7) dan di Aceh Singkil pada Selasa (13/10) bertepatan dengan Tahun Baru Islam, merupakan rentetan insiden yang perlu diinvestigasi mendalam. [cty,ins]

Tags: