Kesan Baik Sebelum Turun Tahta

Saprin-ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Kebijakan Pemerintah Indonesia yang di instruksikan langsung oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk meninjau kembali beberapa perjanjian investasi diakhir masa pemerintahannya menurut saya menjadi sesuatu yang menarik untuk dianalisis. Pemerintah memang tidak pernah memberikan alasan yang jelas terhadap kebijakan tersebut namun menurut       Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik, salah satu pemicu munculnya kebijakan tersebut adalah gugatan Churchill Mining Plc (Perusahaan Tambang asal Inggris) kepada pemerintah Indonesia berkenaan dengan sengketa tambang batu bara di Kutai Timur mulai tahun 2013 (Jawa Pos, 2014).
Sebagaimana diberitakan dibeberapa media massa bahwa pemerintah Indonesia telah digugat oleh Churchill Mining Plc melalui International Center for Settlement and Investment Dispute (ICSID) yaitu Pusat Penanganan Sengketa Investasi Internasional. Churchill Mining Plc sendiri menggugat Pemerintah Indonesia untuk membayar ganti rugi USD2 miliar atau lebih dari Rp. 22 Triliun. Hasilnya adalah ICSID memenangkan gugatan Churchill Mining Plc dan menolak argumen pemerintah Indonesia ketika mencabut izin pertambangan Churchill Mining yang artinya pemerintah Indonesia harus memenuhi gugatan dari perusahaan asal Inggris tersebut karena dinilai melanggar BIT (Bilateral Investment Treaty) dengan Britania Raya.
Segera setelah dikeluarkannya keputusan tersebut Presiden mengeluarkan instruksi untuk meninjau ulang semua BIT sebagaimana yang beliau katakan pada sidang kabinet “Saya tidak ingin perusahaan multinasional menggunakan kekuatan internasional menekan negara-negara berkembang” (Sekretariat Kabinet, 2014).
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY bisa dikatakan menjadi suatu gebrakan baru dalam rangka meningkatkan postur negara ini di dunia internasional. Jangan sampai perjanjian-perjanjian investasi yang dilakukan hanya akan menguntungkan salah satu pihak. Jika menilik sejarah memang keran investasi mulai mengalir di Indonesia ketika UU Penanaman modal asing disahkan oleh pemerintah di era Soeharto. Sejak saat itulah investasi di negara ini muncul bak jamur di musim hujan dan perusahaan pertama yang berinvestasi di negara kita adalah Freeport.
Jika kita analisis memang lebih banyak kerugian yang diterima ketika melihat secara komprehensif aspek dari Bilateral Investment Treaty (BIT) yang dilakukan oleh Indonesia. Karena, BIT tersebut akan berlaku otomatis ketika dua negara yang melakukan perjanjian tidak mengirimkan notifikasi ke negara partnernya begitu juga sebaliknya. Dalam kasus Indonesia Indonesia mengirimkan notifikasi ke hampir 66 negara yang menjadi partner investasinya sehingga otomatis perjanjian tersebut akan berakhir setelah berjalan sesuai kesepakatan.
Dalam pandangan penulis kebijakan untuk memutus semua BIT merupakan suatu kebijakan yang paling realistis yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia di era SBY ini. Namun yang menjadi pertanyaan penulis mengapa baru sekarang pemerintah mengeluarkan kebijakan ini kenapa tidak dari dulu? Apakah jika tidak ada gugatan dari perusahaan negara-negara partner BIT nya Indonesia akan tetap melanjutkan BIT?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas menjadi menarik untuk ditelaah karena menjadi isu yang menarik untuk dibahas apa lagi tahun ini merupakan akhir dari masa jabatan SBY apakah ini bukan lagi politik pencitraan seperti yang dikatakan oleh banyak pengamat merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh Presiden SBY dimasa pemerintahannya. Disisi lain, apakah karena tahun ini merupakan akhir dari masa jabatan beliau sehingga kebijakan yang dikeluarkanpun begitu populis dan diharapkan dapat memberikan kesan yang baik kepada rakyatnya sebelum beliau pensiun dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Jika merujuk kembali kepada dua pertanyaan penulis diatas sebenarnya kebijakan untuk mengakhiri BIT ini bisa dilakukan oleh pemerintah jauh-jauh hari sebelum adanya gugatan dari Churchill Mining Plc. Hal tersebut karena perjanjian BIT ini tumpang tindih dengan berbagai penjanjian dalam World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dimana Indonesia menjadi anggotanya. Maupun dengan beberapa Free Trade Agreement (FTA/ Perjanjian Perdagangan Bebas) yang telah ditandatangani oleh Indonesia.
Kondisi diatas menjadi suatu pekerjaan rumah yang urgen untuk segera diselesaikan oleh siapapun Presiden Indonesia berikutnya, dan menurut penulis hal yang harus dilakukan juga adalah meninjau kembali semua perjanjian yang berkenaan dengan perdagangan, Free Trade ataupun investasi lalu dipilah dan dipilih mana yang sebaiknya dilanjutkan ataupun dihentikan. Jika dilihat dari teori legalisasi, Pemerintah harus bisa memprioritaskan untuk saat ini memilih atau membuat suatu perjanjian dengan derajat legalisasi yang tinggi (hard) dimana Indonesia akan sangat terikat dengan perjanjian tersebut atau rendah (soft) dimana Indonesia tidak perlu terlalu terikat dengan perjanjian tersebut.
Dua jenis pilihan perjanjian tersebut menjadi suatu hal yang mutlak untuk dipilih oleh pemerintah Indonesia yang juga tentunya disesuaikan dengan kepentingan nasional apa yang akan diperjuangkan dalam suatu perjanjian internasional. Diakhir, sebagai warga negara Indonesia tentunya kita selalu berharap bahwa siapapun Presiden terpilih berikutnya dapat dengan amanah mengemban tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan nasional bangsa ini ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.

————— *** —————

Rate this article!
Tags: