Keseimbangan Menyikapi Kehidupan Dunia Akhirat

Oleh:
Riyan Hamidi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

Masalah krusial seorang hamba tentang keagamaan adalah ketika merasa intensitas ritual ibadahnya sangat tinggi. Pasalnya seorang hamba yang berada di situasi tersebut secara tanpa sadar mempunyai kecenderungan “tuli hati”, alias enggan memedulikan masalah-masalah sosial, lingkungan, dan lain sebagainya yang sebenarnya juga bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Dari situasi itu, terkadang atau sering, seorang hamba akan bersikap seolah-olah paling ahli ibadah: benar, soleh, dan suci. Sikap seperti ini adalah sikap yang berlebihan dalam keagamaan “takabbur”. Oleh karena takabbur seseorang akan merasa ahli melebihi ahli, atau suci dari yang lain.
Acap kali sikap tersebut pada akhirnya melahirkan paradoks fanatisme, misalnya, ibadah pagi-petang namun tidak kunjung bayar hutang-alias pura-pura lupa dengan alasan mengkambinghitamkan ibadah-Na’udzu billahi min dzalik, semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat demikian.

Bukan Orang yang Tuli
Orang ahli agama adalah orang yang belajar dan memahami ajaran-ajaran secara baik dan benar, serta mengamalkan ajaran itu ke dalam kenyataan sehari-hari. Sebagaimana Cak Nur mendefinisikan, manusia dengan keagamaan yang “sempurna” dia adalah orang yang secara jasmani dan rohaninya tidak didikotomi: antara kerja-kerja spiritual dan kerja-kerja fisik tidak dipertentangkan, namun keduanya berjalan beriringan.
Berdasarkan proposisi tersebut maka ahli agama bukan orang yang tuli, juga bukan yang merasa (atau bahkan mengklaim) dirinya ahli, atau paling memiliki hubungan dekat dengan Allah; dan dengan lantang menilai orang lain berdasarkan prasangkanya sebaagi kafir, pendosa, rusak, dan celaka, dan lain sebagainya. Kemudian, mengklaim bahwa dirinyalah yang akan masuk surga.
Berbicara surga tidak dapat disamakan dengan tempat penginapan pada umumnya terlebih kost-kost an-siapa yang mampu membayar bisa menempati. Pasalnya, surga adalah imbalan, balasan bagi sesiapa yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Dengan kontekstual bisa kita katakan menyerukan kebenaran dan kebaikan karena Allah.
Oleh sebab itu, ahli tahajud tidak mesti menampakkan diri sebagai ahli tahajud, demikian ahli jamaah tidak perlu menampakan diri sebagai ahli jamaah, pun ahli puasa tidak perlu menampakan diri sebagai ahli puasa. Semata, segala perbuatan yang kita lakukan pangkal dan tujuannya adalah Allah SWT. Artinya, Allah bukan pacar kita yang bisa dibujuk rayu dengan kata-kata puitis nan romatis. Maka dari itu ikhlas adalah kunci dalam mendekatkan diri kepada kondisi keagaman yang sempurna.

Hidup Berimbang
Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT: “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa, akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia.
Demikian Rasulullah SAW menegaskan tiga kali lewat sabdanya: “takwa itu di sini” hadits ini diriwayatkan dengan penjelasan bahwa Rasul dalam sabdanya dengan posisi sambil menunjuk ke dada. Itu bermakna bahwa ketakwaan bertempat di hati, tidak ditampilkan oleh raut wajah (ganteng, cantik atau glowing)
Dalam konteks yang lain, hadits Nabi Muhammad SAW tersebut juga mengisyaratkan bahwa Rasul yang merupakan makhluk paling mulia di sisi Allah saja selalu memperlihatkan sikap rendah hati di hadapan manusia, dan tidak berperilaku sombong dengan kemuliaan atau kekuasaan yang dimiliki.
Lantas, pertanyaan yang patut menjadi refleksi bersama untuk kita, mengapa betapa banyak orang yang katanya ahli sunnah malah berkebalikan dari sikap keteladanan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, orang yang bodoh dalam beribadah atau disebut (abid), adalah dia yang hanya sibuk mengawasi dan menilai kekurangan sholat dan doa orang lain.
Perilaku tersebut oleh imam Asy Sya’rani digolongkan sebagai orang-orang yang tertipu (al-mughtarrin) dalam ibadah: Mereka berperilaku dengan tujuan demikian sebenarnya terperdaya oleh jebakan setan. Secara lahiriyah seolah beribadah ikhlas karena Allah, namun hatinya ingin memamerkan ibadah yang telah dilakukan (riya’), alih-alih berharap pujian (‘ujub). Parahnya lagi, menganggap orang lain serba kurang secara keagamaan.
Gambaran serta uraian-uraian semua bahasan dapat kita renungi bersama dengan kembali kepada firman Allah SWT: “dan rendahkanlah sayapmu (hatimu) kepada orang-orang yang mengikutimu.” (QS. Asy Syu’ara’ 215). Ayat ini mengandung makna bahwa dengan kerendahan hati atau tawadhu’, dan meninggalkan kesombongan atau takabbur adalah petunjuk menuju kesempurnaan paling mulia kendati tidak satu pun orang yang dapat mengetahuinya.

——— *** ———-

Tags: