Keselamatan Penerbangan

Kecelakaan penerbangan (di udara) selalu terasa pedih, bagai tiada jaminan penyelamatan. Padahal, penumpang telah membayar sangat mahal seluruh jasa dengan kategori VVIP (very very important person). Maka pantas (seharusnya) memperoleh layanan terbaik, termasuk jaminan keselamatan. Bahkan kawasan bandara tergolong obyek vital. Namun hampir seluruh kecelakaan penerbangan dianggap sebagai “musibah,” takdir yang tak terhindarkan.
Umumnya kecelakaan penerbangan disebabkan tiga hal. Karena pesawat tidak lain terbang (karena berbagai hal), human error (pilot), dan cuaca buruk. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dua diantaranya penyebab bisa di-minimalisir. Yakni, kelayakan pesawat, dan cuaca, bisa diketahui sejak awal, sebelum take-off. Hanya human error yang tak dapat diperkirakan.
Blantika angkutan udara memiliki UU Nomor 1 tahun 2009. Pasal 53 ayat (1) “Setiap orang dilarang menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara penumpang dan ….” Pilot maupun pesawat yang tidak layak, pasti dilarang terbang. Juga terdapat delapan pasal aturan navigasi, serta tiga pasal aturan terkait meteorologi.
Jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX (terbaru) milik Lion Air, rute Jakarta- Pangkalpinang, jatuh ke laut tak lama setelah lepas landas. Seluruh penumpang (189 oang) termasuk 6 awak kabin, dan 2 kru kokpit, diperkirakan tidak bisa diselamatkan. Pesawat hancur berkeping-keping. Lokasi jatuh di pantai Pakis, Kerawang (Jawa Barat). Udara di atas pantai Pakis itu bukan rute penerbangan. Pesawat terlalu ke timur. Boleh jadi, terbawa angin.
Suasana di angkasa sesungguhnya bisa dijejaki oleh perangkat navigasi penerbangan. Tetapi kecelakaan akibat “suasana langit” masih sering terjadi. Tak terkecuali di Amerika Serikat. Misalnya, pesawat jenis Beechcraft menabrak gedung Flight Safety Internasional di bandara Wichita, Kansas, Amerika Serikat (AS), akhir Oktober 2014. Moncong pesawat terhunjam masuk atap gedung. Akibat kecelakaan tersebut, 4 orang tewas (termasuk pilot) dan 5 lainnya terluka.
Kecelakaan pesawat di AS itu dipastikan bukan disebabkan oleh human error (kesalahan pilot). Juga bukan disebabkan kerusakan pada pesawat. Juga tidak melanggar rute, melainkan dihempas badai yang datang tiba-tiba. Pesawat ingin kembali ke landasan pacu, tetapi dihempaskan badai siklon. AS dikenal sebagai negeri badai yang bisa datang kapan saja, tanpa memandang musim.
Info penyebab kecelakaan pesawat Lion Air, berkembang di media sosial (medsos). Diantaranya, posting bagian perawatan pesawat tidak merekomendasikan penerbangan JT-610 pagi itu. Walau sebenarnya Boeing 737 MAX belum genap 3 bulan dioperasikan. Beberapa jam sebelum take-off menuju bandara Dipati Amir, Pangkalpinang, JT-610 baru saja landing dari Denpasar. Mungkinkah pesawat “ke-capek-an” secara teknis?
Maka KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Terbang), bisa merunut kecelakaan JT-610, mulai dari sistem pengawasan. Termasuk pengawasan di bagian maintenance. Juga bagian meteorologi, yang memberitahu cuaca sekitar bandara. Kecelakaan di Wichita (AS) bisa menjadi rujukan kasus. Yakni, pilot sama-sama ingin kembali ke bandara asal take-off, namun tidak kesampaian.
Pilot penanggungjawab penerbangan JT-610 tergolong cukup pengalaman (dengan 6.000 jam terbang). Juga telah menempuh prosedur keselamatan terbang, dengan putar balik ke bandara asal take-off. Karena dirasa terdapat kejanggalan teknis pada pesawat. Tetapi problem penerbangan, bukan sekadar tanggungjawab pilot (dan co-pilot). Melainkan juga berkait manajemen maskapai.
UU Perbangan Nomor 1 tahun 2009, mengamanatkan kompetensi (kecakapan) secara rigid. Pada pasal 234 ayat (1) huruf c, pihak bandara diwajibkan “menyediakan personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara.” Ke-lalai-an “di bawah” dapat berakibat kecelakaan “di atas.”

———- 000 ————

Rate this article!
Keselamatan Penerbangan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: