Keselamatan Penumpang

Foto Ilustrasi

Sudah kelewat banyak korban harta, raga dan jiwa, terbuang sia-sia dalam perjalanan udara, laut, dan di darat. Dalam sebulan (Oktober 2018), lebih dari 220 korban jiwa tak tertolong. Hampir seluruhnya (95%) disebabkan faktor human error, termasuk kesalahan manusia pada bagian perawatan moda transportasi. Pemerintah patut meng-audit fasilitas “bengkel” dok kapal, depo kereta, dan maintenance di hanggar pesawat.
Presiden Jokowi, juga mengharapkan kinerja KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) dipercepat. Walau terdapat berbagai standar penelitian detil teknis setiap moda transportasi. Toh biasanya, kesimpulan KNKT tak jauh beda dengan dugaan masyarakat. Misalnya dalam kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX milik Lion Air, masyarakat telah bisa menduga terjadi ledakan sesaat setelah tercebur di pantai Pakis, Karawang (Jawa Barat).
Dugaan adanya ledakan, karena serpihan pesawat (dan jasad korban) terpotong dalam ukuran sangat kecil. Juga terdapat saksi (nelayan) pantai Pakis yang mendengar ledakan. KNKT tak dapat menafikan kesaksian di TKP (tempat kejadian perkara). Juga bukan sekedar mendengar paparan tim ahli pemilik pesawat (Boeing). Selain itu, masyarakat mengharap kejujuran tim KNKT bekerja efisien, dan efektif. Analisa KNKT bisa menjadi rekomendasi pemerintah, agar penyebab kecekalaan tidak perlu terulang.
Kecelakaan moda transportasi udara, dan laut, selama ini masih dipahami sebagai musibah, disebabkan “murka” alam. Padahal alam selalu memberi warning fenomena ekstrem, dan bisa dijejaki manusia. Sehingga kecelakaan akibat “murka” alam bisa dihindari (setidaknya di-minimalisir). Pemerintah memiliki tanggungjawab mutlak terhadap keselamatan transportasi. Bahkan konsekuensinya, pemerintah “menguasai” penyelenggaraan sarana moda transportasi udara, laut, dan darat.
UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, memberi kewenangan mutlak negara. Pada pasal 10 ayat (1) disebutkan, “Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.” Peraturan tentang standar keselamatan penerbangan, juga menjadi tanggungjawab pemerintah, tercantum pada pasal 10 ayat (3). Pembinaan dilakukan oleh Menteri Perhubungan.
Maka KNKT, bisa merunut kecelakaan pesawat terbang, mulai dari sistem pengawasan. Termasuk pengawasan di bagian maintenance. Juga bagian meteorologi, yang memberitahu cuaca sekitar bandara. Toh kecelakaan penerbangan di Indonesia, bukan hanya sekali terjadi. Ingat misalnya, kecelakaan pesawat Garusa Indonesia Airbus, A3000-B4 (September 1997), menyebabkan korban jiwa sebanyak 234 orang. Serta pesawat AirAsia QZ8501 (tahun 2014) dari Surabaya menuju Singapura, jatuh tercebur di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Kecelakaan di perairan tak kalah miris. Kapal Motor Sinar Bangun, tenggelam di danau Toba, Sumatera Utara (18 Juni 2018). Menyebabkan 167 korban jiwa penumpang, hanya 3 orang yang ditemukan jasadnya. Ingat Lestari Maju, pada 3 Juli 2018, kandas di perairan Pabeddilang, menyebabkan korban jiwa 34 penumpang. Bulan Juni hingga Juli, menjadi periode kelam pelayaran di Indonesia, dengan catatan korban jiwa sebanyak 227 penumpang, dalam 5 tagedi.
Secara lex specialist, Indonesia memiliki undang-undang (UU) cukup ketat terhadap keselamatan transportasi. Selain UU Penerbangan, juga terdapat UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Di darat juga dimiliki dua UU. Yakni UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Serta UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Keempat UU telah mengatur kelayakan moda transportasi, termasuk sistem perawatan, dan “sopir” penanggungjawab operasional moda transportasi.
Ironisnya, sistem perawatan masih menjadi problem serius kelayakan moda transportasi. Bisa berujung ancaman keselamatan penumpang. Terutama uji kir kendaraan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Uji kir, dilakukan serampangan. Serta diduga menjadi “sarang penyamun” pungutan liar (pungli).

——— 000 ———

Rate this article!
Keselamatan Penumpang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: