Kesenian Kentrung Jatimenok yang Mulai Dilupakan

Mbah Badri, dalang sekaligus penabuh kendang Kentrung Jatimenok, Jombang. [arif yulianto]

Dulu Jadi Langganan Bermain di Pendopo Jombang, Kini Terancam Tak Ada Regenerasi
Kab Jombang, Bhirawa
Seperangkat alat musik tersimpan di salah satu kamar di rumah pemiliknya di Dusun Jatimenok, Desa Rejoso Pinggir, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Alat musik berupa kendang, cimplung, terbang, dan ketipung itu adalah seperangkat alat musik kesenian Kentrung Jatimenok. Meski tampak berdebu karena lama tidak digunakan, namun alat musik tersebut masih utuh dan berfungsi baik.
Mbah Badri kini usianya sudah 78 tahun. Namun saat Bhirawa bertandang ke rumahnya, dia masih tampak sehat dan cekatan dalam bergerak. Dengan semangat, dia menceritakan sejarah eksistensi kesenian Kentrung Jatimenok dengan detail. Bertutur dengan logat Jawa yang kental, Mbah Badri mengisahkan masa keemasan kesenian Kentrung Jatimenok hingga kini yang hampir punah dan hilang ditelan zaman.
Ia menuturkan, kepiawaiannya memainkan kendang sekaligus menjadi dalang Kentrung Jatimenok karena belajar dari sang ayah, Mbah Sanawi yang telah meninggal dunia sekitar tahun 1960 silam. Dari cerita yang didapat dari sang ayah, kesenian ini dulu berasal dari daerah Nganjuk.
“Dari orang tua, karena terpaksa, yang bisa dulu ayah saya, kemudian bapak saya meninggal dunia, ada orang ke sini mencari kesenian kentrung. Kemudian saya dipaksa supaya bisa nuruti ‘nazar’ orang tersebut. Nazarnya, kalau anaknya sembuh dari sakit, akan nanggap kentrung dari Jatimenok,” tutur Mbah Badri mengisahkan kejadian yang terjadi sekitar tahun 1960-an itu.
Setelah itu, tutur Mbah Badri, kesenian kentrung yang dipimpinnya sempat di tanggap di banyak tempat. Kata Mbah Badri, masa keemasannya tanggapan terjadi pada tahun 70-an. Selain menjadi hiburan favorit waktu itu untuk syukuran menjelang masa panen padi (wiwid), dan hajatan lainnya, kentrung miliknya juga dipakai mengamen ke sejumlah tempat.
Bahkan, pada era Bupati Jombang, Hudan Dardiri, kentrungnya sempat beberapa kali di tanggap di Pendopo Kabupaten Jombang oleh orang nomor satu di Jombang tersebut kala itu. Namun nasib kesenian ini saat ini juga sama dengan kesenian lokal lainnya, seperti kethoprak dan yang lain yang cenderung ‘sepi pasaran’.
“Pernah di bawa ke Madiun oleh Pak Bupati (Hudan Dardiri), kemudian dibawa lagi ke Banyuwangi ikut festival, dapat nomor delapan. Ada 37 daerah waktu itu, saya mewakili Jombang” kenang Mbah Badri masih dengan logat bahasa Jawanya.
Jika pada formasi lengkap, Kentrung Jatimenok ini dimainkan oleh empat orang, satu orang sebagai dalang yang menuturkan cerita sekaligus menjadi penabuh Kendang, sementara tiga orang lainnya masing-masing memegang Terbang, Cimplung, dan Ketipung sekaligus bertugas ‘nyenggaki’. Beberapa lakon pakem dalam Kentrung Jatimenok yang disampaikan Mbah Badri kepada media ini seperti lakon Anglingdarma dan Ajisaka.
Namun kini ironisnya, posisi Mbah Badri sebagai dalang dan penabuh kendang serta ketiga posisi penabuh alat musik lainnya itu sepertinya terancam punah karena tidak ada regenerasi. Cucu Mbah Badri memilih belum ada yang tertarik untuk meneruskan darah seni Mbah Badri.
Sementara menurut budayawan Jombang, Nasrul Ilahi (Cak Nas), kesenian kentrung tersebut adalah ciri khas dari daerah Kediri dan masuk ke Jombang melalui Nganjuk. Cak Nas juga mengatakan, ia pernah melihat secara langsung saat kentrung tersebut ‘ngamen’ di desanya di Menturo, Sumobito, Jombang. “Kentrung itu intinya bercerita, yang banyak itu cerita Menak, cerita tentang keislaman. Nasehat-nasehat keislaman, kadang juga ada cerita tentang Panji,” kata Cak Nas.
Menurut Cak Nas lagi, kesenian kentrung yang ada di Dusun Jatimenok tersebut memang adalah satu-satunya kesenian kentrung yang ada di Kabupaten Jombang. “Karena sulitnya ditiru oleh orang lain, akhirnya satu-satunya yang di Jombang ya hanya itu,” tutur Cak Nas.
Adanya cerita Menak (keislaman) dalam kesenian Kentrung Jatimenok, Cak Nas memprediksi, kesenian itu ada dan berkembang pada masa pemerintahan keislaman Cirebon. “Jadi pasca (pemerintahan) Demak, jadi barengan Mataram (islam) atau Pajang. Kalau melihat alatnya, hampir sama dengan yang dibawa Pangeran Benowo di Wonokerto (Wonosalam, Jombang),” tambah Cak Nas menuturkan.
Kepada pemerintah daerah di Kabupaten Jombang, Cak Nas berharap agar ada ‘uri-uri’ (melestarikan) kesenian Kentrung Jatimenok yang diprediksi telah ada di Jombang jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut. [arif yulianto]

Tags: