Keseriusan Kinerja Pemberantasan Korupsi

(Memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial-Politik.

Korupsi ditamsilkan sebagai devil (hantu). Untuk menangkap hantu, diperlukan kerja detil, ruwet dan kompleks. Tidak boleh mundur sejengkal membasmi hantu. Kenyataannya, indeks persepsi korupsi hanya naik (tipis) satu tingkat menjadi37 poin. Angka indeks ini masih di bawah negeri tetangga, Malaysia (49 poin). Serta tertinggal sangat jauh dari Singapura yang sudah mencapai angka 85. Andai indeks telah mencapai angka 56, maka “perang” terhadap korupsi akan makin seru.
Presiden Jokowi menilai pencegahan korupsi di Indonesia belum serius.Karena masih banyak kepala daerah yang tertangkap karena menerima uang suap atau memberi suap. Kesan presiden, Indonesia adalah salahsatu negara yang aktif kasus korupsinya. Kesan itu disampaikan dalam perayaan Hari Antikorupsi Sedunia, Jakarta, (Senin, 11 Desember 2017).Andai manajemen anti-korupsi lebih serius, boleh jadi, jumlah koruptor akan berkurang. Tapi itu setelah beberapa tahun meningkatkan ke-serius-an.
Berdasar catatan tim keperesidenan, sejak 2004 hingga (2017) sekarang, telah terdapat 12 gubernur dan 64 bupati ditangkap karena tersangkut kasus korupsi. Itu yang sudah memiliki ketetapan hukum yang inkracht. Yang sedang antre menjadi tersangka dan terdakwa, cukup panjang pula. Angka itu, kata Jokowi, belum termasuk anggota dan Ketua DPR serta DPRD, yang juga ditangkap KPK. Karena deretan nama yang panjang, presiden mengaku malas menghitung.
Manakala pemberantasan korupsi makin seru (dan serius), niscaya diperlukan gedung KPK lebih dari tiga tower. Masing-masing setinggi 21 lantai. Begitu pula penjara titipan tersangka, di Salemba, di Kelapa Dua, dan tempat lain, mesti diperluas. Serta rumah tahanan di daerah (antaralain Rutan Medang di Sidoarjo, Jawa Timur) harus diperluas. Bila perlu menyewa pasar Puspa Agro, yang tidak laku, sebagai pembantaran (titipan sementara) tahanan tersangka tipikor (tindak pidana korupsi).
Juga diperlukan rekrutmen hakim tipikor daerah lebih banyak (yang mampu mengadili dengan cepat).Ironisnya, muara benteng penegakan hukum paling akhir, hakim, banyak yang ditangkap KPK. Ingat misalnya, penangkapan hakim (Wakil Ketua PN Bandung), berkait dengan korupsi dana bantuan sosial Kota Bandung. Konon, tindakan Setyabudi (Wakil Ketua PN Bandung) sudah kelewatan dan keseringan. Sampai MA (Mahkamah Agung) harus merelakan korps-nya ditangkap KPK (22 Maret 2013).
Rekrutmen Hakim Tipikor
Bahkan penangkapan itu bermula dari informasi MA dan masyarakat. MA curiga, Setyabudi bermain dalam kasus sebelumnya. Lembaga pengadilan tertinggi itupun mulai mengamatinya saat menangani kasus dana bansos yang membelit para tujuh pegawai Pemkot tersebut. Saat kecurigaannya menguat, MA kemudian meng-informasikannya pada KPK. Menanggapi info itu, KPK melakukan pengembangan. Sampai terjadi penangkapan berlangsung dramatik, bagai adegan film detektif.
Konon, korupsi di kalangan hakim (dan jaksa) disebabkan penghasilan yang rendah. Kesenjangan kesejahteraan (penghasilan) akan sangat nampak jika dibanding dengan penghasilan pengacara. Dus, perlu menaikkan gaji hakim. Namun ternyata, faktor penghasilan bukan faktor pendorong terjadinya korupsi. Terbukti, setelah penghasilan hakim dinaikkan (sampai minimal Rp 45 juta per-bulan), toh masih terdapat hakim yang ditangkap karena suap. Hal itu terjadi di Sulawesi Utara, terhadap Wakil Ketua Pengadilan Tinggi.
Menaikkan gaji hakim merupakan kebijakan pemuliaan profesi penegak hukum. Namun pemuliaan penghasilan saja, tidak cukup. Melainkan harus disertai uji kompetensi. Uji Kompetensi Hakim (UKH) bukan hanya bersifat kognitif tentang kemampuan dalam kompilasi hukum, tetapi juga tren psikologis personality.Ahli psikologi kejiwaan, tentu memiliki metode penjejakan, apakah hakim suka menerima suap atau benar-benar mengabdi untuk keadilan?
Namun lagi-lagi, rekrutmen hakim tipikor, bukan sekadar dari jalur hakim karir. Tetapi juga direkrut dari kalangan non-ASN (bukan aparatur sipil nasional). Bisa dari profesi pengacara. Berdasar UUNomor 46 tahun 2009, meng-amanatkan semua proses persidangan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan di Pengadilan Tipikor. UU itu juga mengatur, bahwa Pengadilan Tipikor dibentuk di semua kabupaten/kota.
Pada etape awal (tahun 2011), Mahkamah Agung baru bisa merealisasi (secara resmi diumumkan pada 21 Oktober 2011). Yakni sebanyak 33 Pengadilan Tipikor tingkat pertama di ibu kota propinsi. Sedangkan pengadilan banding terdapat di 30 pengadilan tinggi. Yang khas dari UU Pengadilan Tipikor 2009 adalah pelibatan hakim ad-hock dengan faktor “keahlian” dan “kemampuan khusus”-nya.
Dari hasil rekrutmen hakim ad-hock, sebagian besar diisi oleh kalangan pengacara serta pensiunan penegak hukum lain (polisi, jaksa, dan hakim). Anehnya, banyak hakim ad-hock diketahui memiliki rekam jejak buruk, pro-koruptor. Sehingga amanat UU Pengadilan Tipikor dengan istilah “keahlian” serta “kemampuan khusus” menjadi kontra-produktif terhadap visi dan misi KPK. Bahkan nyata-nyata me-nyelingkuhi asas dasar pemberantasan korupsi.
Nampaknya, hakim Pengadilan Tipikor di daerah memang sudah “ahli” untuk membebaskan koruptor, dan nyata-nyata memiliki “kemampuan khusus” (terbiasa) memeras terdakwa korupsi. Contoh,Pengadilan Tipikor (Bandung, Oktober 2011) membebaskan terdakwa korupsi di Bekasi. Ternyata diketahui, salahsatu hakim ad-hock-nya merupakan mantan tersangka kasus korupsi. Beruntung KPK menyatakan kasasi, serta MA membatalkan vonis Pengadilan Tipikor Bandung dan menghukum Walikota Bekasi.
Habisi Pejabat (Korup)
Maka sangat urgen me-revitalisasi Pengadilan Tipikor di daerah. Disertai uji bersih hakim Tipikor dengan melibatkan komisi Yudisial (KY). Sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 24B ayat (1), bunyinya: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Pada masa mendatang sangat perlu melakukan rekrutmen hakim Tipikor, dengan menerima sarjana berpengalaman diluar disiplin (sarjana) hukum. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pasal 58 ayat (2) huruf d, hanya menambah ayat untuk mewadahi calon hakim Tipikor dari luar bidang hukum.Toh masalah hukum korupsi tinggal menghafal UU Nomor 31 TAHUN 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta perubahannya. Dan, bukankah Ketua KPK (yang alumni ITS) ber-altar teknik murni?
Harus diakui, pemberantasan korupsi wajib dilakukan lebih serius dan seru. Diantaranya dengan vonis maksimal, sampai pidana pemiskinan, dan pencabutan hak politik (dilarang menjadi pejabat publik, DPR, DPRD, dan Kepala Daerah). Bilamana perlu, rekrutmen hakim Tipikor bisa menerapkan sistem “undangan.” Yakni misalnya, mantan komisioner Komnas HAM (Hak Asasi Manusia), ataudari kalangan tokoh masyarakat yang terkenal dedikatif.
Tidak perlu khawatir pejabat Indonesia akan habis terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan). Toh, sangat mudah menggantikan pejabat korup. Namun pada program kelanjutan, diperlukan sistem pencegahan korupsi. Misalnya melalui transparansi anggaran, dengan cara e-budgeting. Seluruh realisasi anggaran wajib menggunakan transfer perbankan. Begitu pula pembayaran pajak dan retribusi, wajib dilakukan melalui jasa perbankan. Tak terkecuali pembayaran antar instansi pemerintah (serta BUMN dan BUMD).
Beberapa Pemerintah Daerah (propinsi maupun kabupaten dan kota) telah memulai e-budgeting. Tetapi belum terbuka benar. Konon, sebagian pejabat masih meng-anggap angka-angka pada APBN dan APBD sebagai rahasia negara. Padahal pengertian “kerahasiaan negara” hanya terbatas pada program Hankam (kemiliteran). Khususnya yang terkait dengan operasional dan persenjataan strategis, serta fungsi kinerja inteleijen.
APBN dan APBD, masih sebagai sumber korupsi terbesar. Selain juga LC (letter of credit) dan utang luar negeri, digunakan oleh kalangan taipan (konglomerasi) meng-garong keuangan negara. Anehnya, sangat sedikit kalangan perbankan diajukan sebagai terdakwa Tipikor. Karena itu diperlukan jajaran korps KPK yang bisa membuka mata dan telinga lebih lebar. Serta keras dan profesional tim penyidik.
Jika KPK dan hakim Tipikor gagal? Nauzubillah, negeri ini sudah menjadi negara pemuja kecu (perampok).
——— *** ———-

Tags: