Kesetaraan Gender dalam Seleksi Universitas di Jepang dan Indonesia

Oleh :
Nur Kumala Hapsari Meilani
Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Jepang adalah salah satu negara di Asia yang memiliki perekonomian yang baik dan termasuk ke dalam kategori negara maju. Dalam indeks kehidupan, Jepang memiliki peringkat diatas rata-rata negara lainnya dalam kekayaan, keterampilan, pendapatan, kemanan personal, serta kualitas lingkungan. Akan tetapi, pada tahun 2017, World Economy Forum merilis The Global Gender Gap Report yang menyatakan bahwa Jepang mendapatkan peringkat 114 dalam indeks global kesenjangan gender. Ketidaksetaraan gender yang terjadi dipengaruhi oleh adanya diskriminasi terhadap perempuan yang didorong oleh struktur patriarki dalam masyarakat Jepang dan menciptakan batasan-batasan terhadap partisipasi perempuan dalam masyarakat secara keseluruhan.

Salah satunya kasus kecurangan dilakukan oleh pihak universitas untuk menekan angka diterimanya perempuan sebagai peserta didik baru seperti yang terjadi di Universitas Medis Tokyo mencerminkan masih adanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Praktik ini terbongkar awal Agustus 2018 oleh beberapa media Jepang. Salah satunya adalah koran Yoimuri. Universitas memang sengaja mencurangi skor tes masuk agar pelamar laki-laki bisa mendapat nilai bagus, sementara yang perempuan nilainya kurang. Investigasi Yoimuri, menemukan bahwa kampus mengurangi semua skor pelamar di ujian fase pertama sebanyak 20 persen dan kemudian menambah sedikitnya 20 poin untuk pelamar laki-laki.

Setelah melewati beberapa penelusuran, alasan Universitas tersebut karena dokter perempuan diklaim akan terganggu kerjanya usai berumah tangga dan punya anak dan jika dibanding laki-laki, perempuan cenderung akan meninggalkan pekerjaan mereka saat sudah bersuami dan beranak. Di masa itulah praktik manipulasi skor tes masuk mulai dijalankan dan berhasil. Dari 171 pelamar pada ujian masuk tahun 2018, cuma 18 persennya perempuan. Sebanyak 141 pelamar laki-laki diterima kampus, dan sementara pelamar perempuan hanya 30 orang.

Selain bidang kedokteran, representasi perempuan sangatlah sedikit dalam bidang STEM. Contohnya, pada tahun 2013, peserta didik perempuan dalam ilmu teknik hanya berjumlah 3.9% dan sains sebesar 1.6% dibanding dengan bidang kemanusiaan atau seni sebesar 66.1% dan ilmu sosial sebesar 36.8%. Muramatsu dalam Yoshikawa, et al., (2018) menjelaskan, kurangnya peminatan perempuan dalam bidang STEM dapat dilihat sejak tingkat pendidikan kedua (secondary education) serta pengaruh perilaku orang dewasa di sekitar anak perempuan yang menganggap bahwa bidang STEM hanya untuk laki-laki dibanding untuk perempuan.

Sedangkan di Indonesia, semua bidang pendidikan dibuka seluas mungkin bagi perempuan maupun laki-laki tanpa pembatasan termasuk pendidikan kedokteran. Tidak ada diskriminasi gender dalam pendidikan karena setiap warga negara Indonesia berhak atas pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seperti halnya tes masuk perguruan tinggi, di Indonesia ujian dilaksanakan secara serentak melalui SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang diselenggarakan oleh LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi) secara terbuka dengan menggunakan seleksi berbasis ujian tulis komputer. Hasil dari nilai tes tersebut akan menentukan lolos atau tidaknya di jurusan yang kita minati. Sistemnya sangat transparan dan tidak memandang gender.

Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia memiliki persepsi bahwa perempuan dan laki-laki berbeda sehingga ada bidang-bidang tertentu yang hanya cocok untuk perempuan dan bidang lain untuk laki-laki. Misalnya, perempuan lebih cocok di bidang khusus akademik, sastra atau sosial dan laki-laki di bidang teknik atau eksakta. Maka dari itu, kurang dari 10 persen wanita yang mempelajari ilmu-ilmu eksakta.

Di sektor dunia pendidikan apalagi ketika perempuan masuk ke lingkungan yang cenderung maskulin banyak stereotrip yang berkembang seperti perempuan yang fisiknya lemah, emosional, lemah lembut sehingga di kontruksikan bahwa perempuan tidak pantas memilih jurusan tersebut. Kontruksi sosial yang muncul beranggapan bahwa jurusan teknik bersifat maskulin atau dapat diakatakan sebagai pendidikan citra maskulin. Butuh keahlian khusus yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh kaum lelaki.

Pengambilan keputusan dalam pemilihan bidang studi nantinya akan menentukan profesi seseorang, juga didasarkan pada perbedaan kepribadiaan antara laki-laki dan perempuan tersebut. Laki-laki lebih memilih pendidikan yang maskulin, seperti pendidikan teknik, kepolisian, TNI, dokter. Sedangkan perempuan, dunia pendidikan yang dipilih lebih menonjolkan sifat feminine, ketelitian, rapi, seperti pendidikan perguruan, sekretaris, kebidanan, keperawatan. Hal ini selalu di budayakan dan di konstruksi oleh masyarakat terkait dengan stereotip antara laki-laki dan perempuan.

Meninjau fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidaksetaraan gender berasal dari budaya, khususnya di masyarakat yang patriarki. Patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.

Seperti halnya pada kasus di Jepang, praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Jepang. Hal tersebut tampak adanya kecurangan dari pihak penguasa di bidang pendidikan dimana kaum perempuan masih dimarginalkan dan didiskriminasi. Karena adanya pemikiran bahwa perempuan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak sehingga tidak bisa fulltime menjadi dokter. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dalam mencapai karir. Seperti adanya pembatas untuk menggapai itu.

Pada kasus di Indonesia juga demikian, beberapa masyarakat masih memegang nilai patriarki yang mendiskriminasi perempuan seperti menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga dan perempuan juga tidak cocok masuk teknik atau eksakta. Akan tetapi, pada seleksi masuk universitas masih adil, karena melalui tes yang terpusat. Jadi, tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk mendiskriminasi pihak perempuan dan perempuan juga bisa memilih jurusan yang mereka inginkan.

Dengan demikian, harus ada upaya merekonstruksi pola pikir maupun sudut pandang terhadap isu gender. Gender sebagai konstruksi budaya dan persepsi masyarakat perlu direkonstruksi. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal. Sehingga masyarakat dapat menghargai diri dan menganggap bahwa setiap orang termasuk perempuan berharga, bernilai, dan memiliki potensi. Nilai-nilai tersebut yang perlu dibangkitkan dari diri setiap orang termasuk perempuan.

Inti dari masalah utama ada pada stigma masyarakat tentang gender. Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak lain juga harus turut berperan untuk membentuk persepsi yang suportif terhadap potensi perempuan. Idealnya setiap kebijakan program, perencanaan, maupun evaluasi harus memuat adanya pengarusutamaan gender sehingga memiliki dampak dan bermanfaat bagi kesetaraan gender sekaligus peningkatan potensi perempuan.

———- *** ———–

Tags: