Kesetaraan Gender Harus Dipenuhi Semua Sektor

Prof Emy

Prof Emy
Kartini masa kini, tidak hanya terlihat dengan perubahan gaya hidupnya saja, melainkan juga dari status pendidikan yang semakin meningkat. Diungkapkan Guru Besar (Gubes) Universitas Airlangga, bahwa saat ini dalam era milenials peran perempuan sudah sangat besar. Misalnya saja, dalam memerangi kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan gender, perempuan sudah membuktikkan dengan hak-hak mereka dan prestasi yang mereka peroleh.
“Kehidupan perempuan saat ini jauh lebih mudah dibandingkan dulu. Artinya, untuk pendidikan perempuan sudah berkontribusi disana, wirausaha juga demikian” Ungkapnya.
Di Indonesia, lanjut Prof Emy, jumlah pendaftar di Peruguran Tinggi (PT) masih didominasi perempuan dengan range sekitar 50 hingga 60 persen. Akan tetapi, jelasnya, semakin tinggi jenjang pendidikannya perempuan, akan semakin menurun jumlah lulusan perempuannya.
“Hasil studi kami yang tergabung dalam Asosiasi Pusat Studi Gender Indonesia (PSGI) menemukan ternyata di PT masih ada phobia dalam diri perempuan terkait jenjang pendidikan yang dilanjutkan” ujarnya. Lebih lanjut, kita bisa melihat empat pilar dalam mengukur pendidikan tinggi yang memang terfokus pada kesetaraan gender di dalam pendidikan.
Di antaranya, dari segi rekruetmen yaitu ada atau tidaknya pembatasan kuota perempuan untuk mengikuti study di Perguruan Tinggi yang di pilih, ada tidaknya batasan dalam kedudukan, seperti posisi yang di pimpin maupun profesi yang sedang dikejar. Yang terakhir adalah diterapkannya kurikulum berbasis kesetaraan pada perkuliahan.
“Degan begitu kita bisa melihat, apakah pendidikan tinggi sudah melakukan penyetaraan perempuan” imbuhnya.
Terlebih lagi dalam penyetaraan gender, lanjut dia, perempuan sudah melakukan banyak hal. Misalnya saja, era teknologi informasi yang berkembang sangat pesat ini, perempuan bisa berpartisipasi di bidang apapun. Namun, yang masih menjadi PR masyarakat saat ini adalah, laki-laki seharusnya mengikuti perkembangan dan tidak ‘mengungkung’ perempuan pada sektor-sektor dosmestik saja. “Kadang-kadang dengan batasan tersebut, perempuan dikatakan ‘ketinggalan'” sahutnya.
Misalnya saja, kita ambil contoh guyonan yang sering ada di masyarakat, lanjut dia, seperti “jika perempuan bekerja kan gak ada yang bisa masak. Apakah laki-laki juga tidak ingin masak?”. Paradigma yang seperti itulah yang harus di rubah dalam cara pandang kita melihat kesetaraan perempuan. Mengapa perempuan tidak dihambat untuk bekerja dan menghasilkan uang, tetapi dia harus dibebani dengan pekerjaan domestic?
“Tugas-tugas itulah yang menjadikan mereka tidak balance atau seimbang. Jadi laki-laki harus menyelesaikannya” sahutnya. Prof. Emy menilai, bahwa diskusi atau pembicaraan terkait perempuaan, kesetaraan perempuan, peran laki-laki harus diikut sertakan dengan mengajak duduk bersama sebagai langkah pasrtisipasi laki-laki dalam mendukung kesetaraan gender. [ina]

Tags: