Kesulitan Cari Model Cantik, Nenek 55 Tahun Pun Jadi Pilihan

Prosesi ujian kompetensi tengah berlangsung dengan diuji langsung oleh LSK dan dipantau Dindik Jatim. [adit hananta utama]

Prosesi ujian kompetensi tengah berlangsung dengan diuji langsung oleh LSK dan dipantau Dindik Jatim. [adit hananta utama]

Kota Surabaya, Bhirawa
Apa yang menjadi pertimbangan bagi seorang penata rambut dalam memilih seorang model? Lazimnya, minimal orang akan memilih perempuan yang masih muda, berwajah menarik, dan memiliki rambut indah. Namun apa jadinya jika kelaziman ini tidak dapat dipenuhi sang penata rambut. Alih-alih mendapat model cantik dan menarik, pada kondisi penuh keterpaksaan, nenek berusia 55 tahun pun bisa jadi pilihannya.
Sudah hampir 20 menit berselang, para penata rambut di Salon L’Frans, Surabaya terlihat masih sibuk dengan para modelnya. Mereka akan membuat rambut modelnya masing-masing menjadi keriting. Usaha para penata rambut ini menjadi semakin menantang ketika dituntut membuat penampilan sang model yang telah sepuh itu terlihat menarik di depan dewan penguji.
Di salon yang juga menjadi Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) sekaligus Tempat Uji Kompetensi (TUK) itu kebetulan memang sedang digelar sebuah ujian. Ada 20 peserta ujian yang datang, dan dua penguji langsung dari Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) memantau di dapur salon saat calon penata rambut profesional itu menggarap modelnya masing-masing.
Desi Kristiani salah satunya, peserta ujian tata rambut ini terlihat sangat hati-hati saat menata rambut modelnya. Pilihan cat rambut dan obat keriting yang digunakan harus benar-benar pas dan cocok dengan jenis rambut. Kehati-hatian itu beralasan, dia kebetulan mendapat model seorang nenek-nenek yang sudah berusia sekitar 55 tahun. “Tadinya mau cari model yang lebih muda, tapi sulit sekali. Padahal sudah lewat agen, tapi tidak ada yang mau,” tutur dia.
Menurut dia, mencari model yang rambutnya mau dibuat keriting bukan hal mudah. Pertama, mencari model yang tidak berambut tebal dan tidak terlalu panjang. Kedua, mau dijadikan keriting dan ketiga berpenampilan menarik. “Syarat pertama dan kedua sudah terpenuhi, hanya syarat ketiga yang sulit. Saya sudah berkali-kali janjian dengan model yang lebih muda, tapi terus-terusan gagal,” kata dia.
Tantangan semacam ini memang kerap ditemui para peserta uji kompetensi. Khususnya bagi mereka yang baru mengikuti ujian level dua dan level tiga. Karena pada level itu, penata rambut masih diuji dengan model-model dasar. “Karena itu banyak yang menolak dijadikan model seperti ini,” tutur Ketua LKP Salon L’Frans Surabaya Novani Kusuma.
Dalam ujian kali ini, Novani menuturkan, para peserta mengikuti dua tahap tes, yaitu teori dan praktik. Dalam praktik, para peserta diminta melakukan berbagai hal, di antaranya mencuci rambut, creambath, blow dry, baru menatanya menjadi keriting. Sebelum mengikuti ujian ini, para peserta harus mempersiapkan diri selama enam bulan. “Setiap level itu dilalui selama enam bulan, dan setiap level juga ada ujiannya secara berjenjang,” ungkap dia.
Novani mengatakan, kehati-hatian yang harus dijaga para peserta adalah menjaga rambut model. Sebab, selama proses keriting berjalan dapat mematahkan 70 persen rambut model. Karena itu, penata rambut yang tidak profesional akan kelihatan, saat diminta untuk mengeriting dan meluruskan tanpa melihat tenggat waktu. “Ada penata rambut yang asal menata rambut saja tanpa melihat tenggat waktunya. Kalau seperti itu, rambut bisa habis,” kata dia.
Sementara itu, anggota penguji dari LSK Nunuk Sri Sunarwati mengatakan, tidak semua orang dapat mengikuti ujian di TUK seperti ini. Sebab, TUK sebagai lembaga sertifikasi kompetensi jumlahnya tidak banyak. Kadang hanya ada satu setiap bidang kompetensi dalam satu provinsi. Peserta yang telah lulus dalam ujian kali ini, tutur dia, akan mendapat sertifikasi kompetensi. Lisensi ini akan dapat digunakan sebagai syarat mendirikan salon. Ini berbeda dengan sertifikasi profesi yang hanya bisa digunakan untuk mencari kerja. “Itu pun masa berlakunya hanya tiga sampai empat tahun,” tutur dia.
Menurut Nunuk, baik profesi maupun kompetensi, keduanya merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberikan legalitas bagi warga belajar yang mengikuti pendidikan informal. Dengan legalitas ini, mereka setidaknya dapat mendirikan usaha sendiri atau bekerja sesuai keahliannya.
Dalam kesempatan tersebut, Kabid Pendidikan Non Forma dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Abdun Nasor ikut memantau jalannya ujian berlangsung. Menurut dia, pemerintah memiliki peran strategis untuk menjembatani LKP, TUK dan warga belajar untuk mengadakan sertifikasi bersama LSK. Substansi pendidikan informal baik melalui pelatihan maupun kursus, pada dasarnya adalah untuk diarahkan pada sektor usaha dan industri. “Dua pilihan itu adalah golnya. Sertifikat yang mereka peroleh dari LSK ini juga sudah setingkat nasional dan diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” pungkas Abdun. [tam]

Tags: