Kesungguhan Penerapan Larangan Mudik Lebaran

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pelarangan mudik tahun ini, lebih rumit dan membingungkan dibandingkan dengan pelarangan serupa di musim lebaran tahun kemarin. Bukan saja karena situasi pandemi Covid-19 yang berbeda, tetapi juga pengaturan berikut regulasi yang dibuat juga berbeda. Tahun kemarin, tren pandemi sedang mengalami kenaikan, sehingga publik lebih bisa mengerti dan menerima aturan pelarangan untuk mudik. Bahkan pemerintah pun juga percaya diri untuk membuat aturan pelarangan mudik.

Berbeda dengan tahun ini, tren perkembangan kasus Covid-19 cenderung melandai serta ada harapan besar kehidupan akan membaik menyusul proses vaksinasi yang secara masif dilakukan pemerintah. Implikasinya, publik menjadi mempertanyakan dan mungkin meragukan apakah pelarangan mudik tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh atau sekadar memenuhi kewajiban bahwa seolah pemerintah sudah membuat regulasi untuk menekan angka penyebaran covid-19 dengan melakukan pembatasan mobilitas warga. Bukan saja publik yang mempertanyakan kesungguhan kebijakan tersebut, tetapi juga secara telanjang menunjukkan pemerintah nampak gamang dan ragu-ragu dalam membuat regulasi. Hal ini terbaca dari aturan pelarangan yang berubah-ubah dan dengan disertai beberapa pengecualian yang akhirnya membuat regulasi menjadi sulit dipahami masyrakat awam.

Kebijakan Anomali

Pemerintah memang tidak dalam kondisi yang mudah dalam menyikapi fenomena Lebaran di tengah kepungan ancaman Covid-19 yang tidak mudah dibaca pergerakannya. Awalnya tentu, masyarakat dan pemerintah berharap dengan mulai berlangsungnya proses vaksinasi akan menjadikan Lebaran tahun ini bisa dirayakan lebih meriah dibandingkan tahun kemarin. Walau tidak bisa seperti sebelum masa pandemi, tentu publik memiliki harapan besar bisa merayakan lebaran di kampung halaman.

Situasi kehidupan masyarakatpun sesungguhnya juga sudah mulai membaik. Aktivitas aktivitas kegiatan masyarakat dan keagamaan mulai menggeliat. Namun ketika situasi membaik, ternyata muncul fenomena ledakan penyebaran Covid-19 khususnya di India yang membuat kepanikan tersendiri. Pemerintah pun menjadi demikian panik meresponnya. Salah satunya kemudian dengan membuat Larangan mudik lebaran. Keputusan tersebut tentu menjadi dilematis ketika dikaitkan dengan mulai membaiknya kehidupan di berbagai sektor. Sektor wisata yang mulai bangkit, perekonomian yang mulai bergerak pada akhirnya membuat posisi pemerintah berada pada situasi serbai sulit. Harapan akan segera membaiknya kondisi perekonomian di satu sisi, dan kecemasan akan terjadinya gelombang balik penyebaran Covid-19 yang lebih mengerikan membuat pemerintah pun setengah hati dalam melangkah. Imbasnya, kebijakan yang diambil menjadi serba anomali. Misalnya muncul kebijakan melarang mudik namun melonggarkan sektor wisata atau sekadar berdebat seputar narasi bedanya mudik dan pulang kampung dan seterusnya.

Bukan itu saja, ketika kebijakan larangan mudik diputuskan, kemudian publik merespon dengan mengubah jadwal rencana mudiknya, pemerintah pun kemudian secara tergopoh- gopoh merevisi aturan mudik dengan memberlakukan pengetatan mobilitas masyarakat sebelum dan setelah larangan mudik. Hanya sayangnya, pengetatan aturan itu tidak serta merta bisa dilakukan kerena ketidaksiapan jajaran pelaksana lapangannya dan mungkin juga karena kebingungan dalam mengimplementasikan aturan pengetatan mobilitas tersebut.

Polemik Dispensasi Santri

Di tengah kebingungan dan ketidakpastian implementasi regulasi, publik sempat dihangatkan dengan polemik karena usulan dari Wakil Presiden KH Majruf Amin tentang pemberian dispensasi kepada santri untuk bisa mudik. Menariknya lagi, ketika usulan Wapres belum dsikapi oleh Satgas Covid-19, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (KIP) dengan percaya diri memberikan statemen mengizinkan para santri pondok pesantren di Jawa Timur mudik lebaran ke kampung halaman masing-masing. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) ini bahkan dengan percaya diri menjamin santri-santri akan lolos dan diperkenankan lewat ke daerah asalnya, meski sejumlah wilayah di Jatim dilakukan penyekatan saat larangan mudik.

Dalam perspektif administrasi pemerintahan memberi dispensasi dengan mengizinkan santri untuk mudik jelas mengundang masalah. Karena semua kebijakan yang berkaitan dengan penanganan covid-19 harus mendapatkan izin dan rekomendasi satgas Covid-19. Lantaran itu, kebijakan pemberian dispensasi tersebut juga mengirim pesan kepada kita bahwa :

Pertama, sikap yang diambil Gubernur KIP tersebut sesungguhnya mencerminkan ketikdakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan regulasi. Sebelumnya, Khofifah secara tegas melarang warganya untuk mudik Lebaran 2021. Bagi warga yang nekat, Khofifah pun mengancam akan mengkarantina mereka dan membebani biaya karantina ditanggung sendiri dari dana pribadi pemudik.

Regulasi itu diatur dalam Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Covid-19 untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Namun tidak berselang lama, Gubernur yang berlatarbelakang santri inipun dengan begitu gagahnya pula akan memberikan dispensasi mudik khusus bagi santri.

Kedua, otoritas untuk memberikan dispensasi terkait larangan mudik harusnya mengacu kepada keputusan Satgas Covid-19. Sementara secara faktual Satgas Covid-19 belum memberikan sikap terhadap wacana tersebut. Harusnya sebagai Kepala Daerah, KIP tidak melakukan fait a comply dengan mengambil kebijakan tanpa terlebih dahulu mendengar sikap dari Satgas Covid-19. Kondisi ini akan menjadi menggelikan ketika misalnya, di saat bersamaan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan sikapnya untuk tetap tegas menjalankan regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang melarang mudik termasuk santri. Coba dibayangkan kalau masing- masing kepala daerah dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing membuat keputusan yang berbeda dan saling bertentangan.

Ketiga, hari ini semua pihak sesungguhnya sedang ingin melihat pemerintah yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk secara konsisten dan sungguh-sungguh melakukan segala upaya dalam menahan laju peredasarn Covid-19. Larangan mudik yang sudah ditetapkan sesungguhnya adalah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ini bukan persoalan main-main namun butuh keberanian para kepala daerah untuk bisa meyakinkan masyarakatnya agar mematuhi larangan mudik itu. Bahwa ketidakkonsistenan dalam menjalankan regulasi tentu akan semakin membuat bingung publik dalam memahami dan melihat keberadaan regulasi terkait Covid-19 yang selama ini juga sudah sangat membingungkan aturan dan ketentuan-ketentuan di dalamnya.

Pemberian dispensasi kepada kelompok masyarakat tertentu yang notabene dianggap dekat dengan kekuasaan tentu akan melahirkan kecemburuan sosial. Usulan pemberian pengecualian larangan mudik bagi santri ini bisa memberikan kesan kalau pemerintah seolah memberlakukan kebijakan yang setengah-setengah dalam penanganan pandemi. Dalam derajat tertentu, usulan dispensasi mudik khusus santri yang disampaikan Wapres Makruf Amin, dan kebijakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang memberi keistimewaan kepada kalangan santri sungguh memantik kekhawatiran akan mengarah pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Secara definisi, Abuse of Power merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau penguasa dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau korporasi. Latar belakang Wapres Makruf Amin dan Khofifah Indar Parawansa tentu tidak bisa dipisahkan dari lingkup sosial santri. Sehingga dengan sangat telanjang publik akan mengkaitkan usulan dispensasi tersebut karena ada ‘hubungan khusus’ antara pejabat yang punya kekuasaan dengan pihak yang diuntungkan oleh kebijakan yang diambil tersebut. Dengan demikian, sungguh tidak bisa terbantahkan bahwa usulan dan kebijakan yang diambil yakni dispensasi mudik untuk santri bisa disimpulkan menguntungkan kelompok tertentu.

Sungguh diperlukan kesadaran etika dan moral ditingkat pejabat pengambil keputusan agar tidak mengambil kebijakan yang penuh dengan nuansa kepentingan pribadi dan golongan/kelompok. Kalau itu yang terjadi, tanpa disadari bahwa itu merupakan penyalahgunaan wewenang jabatan, yang disebut abuse of power. Perwujudan tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut sebagian besar berdampak pada terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

——— *** ———

Tags: