Ketahanan Keluarga Teruji di Tengah Pandemi

Menyambut Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-27

Oleh :
Andriyanto
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jawa Timur

Tahun 1945 yang lalu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan, situasi bangsa belum kondusif, bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan, diberlakukan wajib militer bagi rakyat. Hal ini menjadikan personil TNI berpisah dengan keluarga. Dengan perjuangan yang gigih, pada tanggal 22 Juni 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Seminggu kemudian, tepatnya 29 Juni 1949, para Pejuang kembali kepada keluarganya. Inilah yang melandasi lahirnya Hari Keluarga Nasional (Harganas).

Keluarga diharapkan menjadi sumber energi yang selalu menghidupkan, memelihara dan memantapkan serta mengarahkan kekuatan, serta perisai dan benteng dalam menghadapi persoalan kehidupan. Selanjutnya Harganas mendapat legalitas, pada tanggal 15 September 2014, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 2014: tanggal 29 Juni ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional dan bukan hari libur.

Tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas) sampai saat ini belum populer dikenal masyarakat, termasuk kalangan Aparatur Pemerintah belum mengenal bahwa Republik ini memiliki Hari Keluarga Nasional. Upaya memasyarakatkan Hari Keluarga Nasional perlu lebih dioptimalkan, dengan menumbuhkan rasa memiliki akan hari keluarga ini. Namun, Hari Keluarga Nasional ini kerap diindentikkan dengan Keluarga Berencana (KB). Akibatnya, segala hal yang berkaitan dengan Harganas seakan akan menjadi tanggung jawab BKKBN. Padahal tidak sebatas itu. Harganas milik seluruh anak bangsa ini.

Di tengah badai Pandemi Covid-19 yang menimpa Bangsa Indonesia, ketahanan keluarga kita sedang teruji. Sejatinya, capaian pengendalian penduduk di Provinsi Jawa Timur selama ini menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Laju Pertumbuhan Penduduk periode tahun 2000 – 2010 hanya 0,70 persen, setengah dari Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen.

Total Fertility Rate Provinsi Jawa Timur berdasarkan SDKI 2017 terendah se- Indonesia yaitu 2,1 anak. Karena jumlah penduduknya yang banyak sekitar 39,5 juta, dengan TFR yang rendah tersebut sebenarnya jumlah kelahiran setahunnya cukup banyak yaitu 589.875 tahun 2017 dan 573.928 kelahiran tahun 2018. Berarti setiap hari terjadi kelahiran 1.576. Situasi Pandemi Vovid-19 di Tahun 2020 ini harus menjadi perhatian dan kewaspadaan karena bisa jadi angka kelahiran 2021 di Jawa Timur akan meningkat, dan peluang terjadi Baby Boom atau lonjakan jumlah penduduk di Jawa Timur.

Jumlah Pasangan Usia Subur di Jawa Timur 7.849.073 dan yang hamil sampai bulan April 2020 sebanyak 227.260 (sekitar 2,9 persen). Bila bulan berikutnya mengikuti pola kehamilan bulan April ini, maka pada akhir tahun 2020 diperkirakan sebanyak 681.780 kehamilan. Sedangkan pada tahun 2019 jumlah kehamilan 627.901. Jadi potensinya terjadi peningkatan 8,58 persen selama 1 tahun.

Hal ini salah satunya karena jumlah Drop Out Kontrasepsi di Jawa Timur yang terus meningkat dari 1,34 persen Februari; 4,6 persen Maret dan 7,07 persen April 2020. Adapun Drop Out yang paling tinggi di Kabupaten Sampang yaitu 19,95 persen, Kota Mojokerto 17,36 persen dan Kabupaten Sumenep 16,31 persen (BKKBN Jawa Timur, 2020).
Di sisi lain, persentase kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (Unmet Need) di Jawa Timur pada 3 bulan pertama 2020 sebesar 10,44 persen. Kabupaten yang Unmet Need tinggi berada di Kabupaten Jombang 17,02 persen, Kabupaten Ponorogo 13,46 persen, Kota Mojokerto 13,44 persen, Kabupaten Trenggalek 13,36 persen dan Kabupaten Gresik 13,14 persen. Hal ini menunjukkan sebenarnya ada keinginan dari pasangan usia subur untuk menunda kelahiran dan membatasi kelahiran, namun ternyata yang bersangkutan tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Di masa Pandemi Covid-19, kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Provinsi Jawa Timur yang terlaporkan di aplikasi SIMFONI sebesar 613 kasus, dengan bentuk kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual sebesar 39,64% dan 60% tempat kejadiannya ada di rumah tangga. Survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada bulan April 2020 menemukan hanya 32% anak didampingi orang tua nya selama belajar di rumah.

Ketahanan keluarga juga diuji di masa pandemi Covid-19 ini, dengan banyaknya Karyawan Perusahaan Swasta yang di PHK dan dirumahkan. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Indonesia pada tahun 2016 menyebut bahwa perempuan dengan suami menganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik atau seksual. Hal ini juga berakibat kondisi ekonomi keluarga menjadi rentan, sehingga kemudian menyebabkan ekonomi keluarga menurun, maka pemberian makan pada anak tetap harus optimal.

Stunting, salah satu penyebabnya adalah ibu hamil dan anak usia kekurangan zat gizi terutama Zinc. Zinc banyak terdapat pada lauk pauk hewani: susu, telor, daging, dan ikan. Jadi memberikan lauk dari ikan kepada ibu hamil dan anak-anak menjadi sangat penting untuk tetap mencegah terjadinya stunting. Dan ikan merupakan sumber protein hewani yang relatif banyak tersedia di pasaran dan harganya relatif murah.

Jika kita mengabaikan masalah stunting ini, akan berpengaruh pada rendahnya kemampuan kognitif, prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan. Stunting pada anak, akan menurunkan produktivitas pada usia dewasa, sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan. Reaksi penyesuaian akibat kejadian stunting juga meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti: hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes dengan berbagai risiko ikutannya pada usia dewasa.

Menciptakan keluarga-keluarga yang tangguh di tengah pandemi menuju new normal menjadi tidak terelakkan. Tangguh di sini adalah bagaimana membuat keluarga menjadi mandiri dalam menciptakan hidup sehat secara lahiriyah dan batiniyah. Kemandirian keluarga juga dapat dilihat dari berbagai indikator, yaitu sejauh mana keluarga menyadari pentingnya kesehatan dan gizi, sejauh mana keluarga mengetahui apakah anggota keluarganya mengalami masalah kesehatan dan gizi, keluarga mengetahui apa yang harus dilakukan dan keluarga memanfaatkan dan berupaya mengakses pelayanan kesehatan yang ada.

Akhirnya, menyambut Harganas di situasi pandemi menuju new normal, ada beberapa hal yang dapat menjadi solusi terkait masalah pengendalian penduduk, yaitu pertama, Pasangan Usia Subur (PUS) tetap menggunakan alat kontrasepsi untuk mengurangi peluang kehamilan karena frekuensi keintiman dengan pasangan ketika Work From Home. Kedua, memberikan pendampingan dan konsultasi, KIE oleh Penyuluh KB, LSM dan Masyarakat, dengan menggunakan media on line.

Ketiga, Bidan atau Petugas KB tetap memberikan pelayanan KB dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan selama Pandemi menuju new normal. Keempat, PUS dihimbau untuk menunda kehamilan, mengingat sulitnya akses ke fasilitas kesehatan selama Pandemi, dan bila sampai terinfeksi, maka ibu hamil harus minum obat-obatan medis yang bisa berdampak pada janin.

Semoga pandemi Covid-19 ini menjadi momentum tercipta nya banyak keluarga tangguh di Jawa Timur, sehingga Jawa Timur Sejahtera, Sehat dan Cerdas menjadi terwujud. Selamat Hari Keluarga Nasional.

—————- *** ——————

Tags: