Ketahanan Pangan Bisa Terwujud Jika Bulog Dijadikan LPNK

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa.
Untuk mewujudkan Ketahanan Pangan, diperlukan optimalisasi peran Bulog sebagai penyangga kebutuhan pangan nasional. Hal tersebut menyi mak keberhasilan Bulog di era 1967 dalam menjaga stok dan kestabilan harga beras.
Kini, tiba saatnya Bulog dirombak kedudukannya menjadi Lembaga Pemerintah Non Kemente rian (LPNK). Dengan menjadi LPNK, Bulog akan mendapat kucuran APBN, sehingga ada keleluasaan anggaran untuk pengadaan stok beras.
“Jika Bulog menjadi LPNK, maka bisa berperan ganda yakni sebagai operator sekaligus regulator yang ber tanggung jawab langsung kepada Presiden. Pembentukan Bulog jadi LPNK sudah sejalan dengan UU nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Dalam UU tersebut Badan Otoritas Pangan (BOP) adalah Badan Ketahann Pangan Kementan ditambah Bulog,” papar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron, dalam media gathering di Bogor akhir pekan.  Acara dengan tema “Kehadiran Bulog Untuk Ketahanan Pangan” dibuka oleh Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti didampingi Direksi Bulog.Nara sumber lain mendampingi Herman, Ketua DPD Perpadi Jakarta Nellys Soekidi, Ketua KTNA Winarno Tohir, dan pengamat pangan Husein Sawit.
Herman Khaeron menegaskan,kini sudah saatnya integrasi Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan, bukan lagi hanya sebagai operator saja. Tapi Bulog harus dilibatkan dalam pengam bilan kebijakan pangan atau legislator. Mengingat, Bulog adalah satu-satunya lembaga pangan di Indonesia yang memiliki infrastruktur andal. Bahkan jaringan distribusi dan gudang penyimpanan Bulog sudah merambah pelosok tanah air.
“Kinerja Bulog juga sudah ter- struktur. Disetiap provinsi telah ada Kepala Divisi Regional (Kadivre) Bulog, di semua Kabupaten ada Kasub Divre Bulog. Semua kelengkapan ini dengan perbaikan kinerjanya, bisa untuk integrasi Bulog dalam Badan Ketahan an Pangan,” tandas Herman.
Winarno Tohir berpendapat, untuk mandiri dibidang pangan, Indonesia harus memiliki Badan Pangan Nasional Dimana Bulog bersama Badan Ketaha nan Pangan Kementerin Pertanian, ber gabung didalamnya.Dalam mencukupi kebutuhan beras secara nasional, dia usulkan hanya lewat satu pintu. Agar tercipta efisiensi dan mengurangi keruwetan pengurusan.
“Kedepan, Bulog diperlukan bukan hanya untuk komoditi pangan. Tetapi juga pada tanaman prkebunan,seperti sawit, coklat, kopi, karet, cengkih dan tembakau.Karena produksi prkebunan di Indonesia masih berdasarkan iklim, belum menerapkan teknologi. Masa panen yang tidak serentak itu, menyu litkan pengumpulan dan pnyimpanan hasil panen. Gudang penyimpanan, armada distribusi milik Bulog-lah yang mampu mengatasi masalah ini,” ujar Winarno.
Sedang Husein Sawit mengamati, masih sangat minimnya pengadaan stok beras domestik di Indonesia yakni hanya 3 juta ton per tahun. Sedang di India mencapai 30 juta ton per tahun dan di China 80 juta ton per tahun. Minimnya stok di Indonesia disebabkn karena dalam pengadaan Bulog masih menerapkan HPP (Harga Penetapan Pemerintah) single kualitas beras Medium(beras murah konsumsi rakyat banyak). Padahal HPP single kualitas justru menghambat serapan gabah petani. HPP single kualitas hanya cocok diterapkan pada musim panen pertama bulan Januari hingga Mei.
“Usai panen harga beras sudah tinggi, sementara Bulog tetap mema kai HPP single kualitas dalam penyera pannya. Tentu sulit memenuhi target. Kebijakan ini harus dirubah, Bulog harus memakai HPP multi kualitas, agar penyerapan bisa maksimal,” saran Husein Sawit.
Disebutkan, pengadaan beras di India yang bisa mencapai 30 juta ton per tahun dilakukan dengan HPP multi kualitas. Disana ada UU yang mewajib kan perusahaan penggilingan menye tor ke pemerintah sekitar 5% (dari aktivitasnya) bagi penggilingan kecil dan 10%  dari penggilingan besar. Namun pemerintah memberi imbalan insentif keringanan pajak.
Dia melihat, 30 tahun terakhir, teknologi industri beras di Indonesia, stagnan. Dan paling tertinggal pada tahap panen, pengeringan dan penggi lingan gabah. Perhatian terhadap penguatan industri beras, terkait penggilingan padi, masih sangat minim. Seperti modernisasi PPK / S terhambat, loss tahap pengeringan/penggilingan tinggi. Rendemen giling rendah dan kualitas gabah/beras sulit ditingkatkan Semua hal tersebut membuat biaya produksi beras per kg menjadi tinggi.
“Apabila industri beras lemah, maka memperlemah semua industri. Yang menyebabkan terhambatnya usaha peningkatan pendapatan petani dan pembangunan desa. Memperle mah daya saing industri dan sulit men capai swasembada beras yang berke lanjutan,” tandas Husein.
Djarot Kusumayakti mengakui, adanya berbagai kendala membuat Bulog tidak maksimal menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah kewenangan yang masih terbatas, yakni hanya pada pengelolaan komoditas beras saja. Padahal, komoditas bahan pokok bukan melulu soal beras melain kan juga tentang sejumlah komoditas lain yang proses transaksinya masih komersial secara penuh.
“Keterbatasan wewenang yang di miliki, membuat Perum Bulog sebagai stabilisator masih terbatas. Untuk men jalankan peran strategisnya sebagai penjaga stabilisator harga, peran dan wewenang Bulog selayaknya ditingkat kan,” pinta Djarot.
Menurut dia, Bulog berprinsip, siap diberi wewenang mengamankan keter sediaan dan stabilisasi harga kebutu han bahan pokok selain beras. Namun dibutuhkan tambahan infrastruktur penunjang, seperti cold storage untuk menyimpan daging/ bahan pangan lainnya. Penggilingan modern, Silo tempat menyimpan beras, tambahan gudang untuk melengkapi 1.500 gudang milik Bulog yang tersebar di pelosok tanah air.
Tentang lonjakan harga beras akhir akhir ini, menurut Nellys Sukidi, bukan karena kurangnya suply. Atau ulah pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) atau ulah spekulan. Kenaikan harga disebabkan oleh tak adanya pasok beras murah (Medium) yang dikonsumsi rakyat banyak. Penyebabnya mungkin karena beras Medium kini kurang disukai petani karena harga jualnya lebih mengun tungkan beras Premium. Harga beras premium di PIBC terendah Rp 8.800,- per kg. Sementara yang dicari konsumen terbanyak adalah beras medium yang harganya murah.
“Tugas pemerintah-lah menjaga stabilitas harga pangan. Jangan menyalahkan pedagang. Sebab, persoalan kenaikan harga terjadi rutin setiap tahun, disaat paceklik. Rutinitas seperti ini, sebenarnya bisa di antisi pasi oleh pemerintah. Di PIBC, data harga dan pasok selalu dibuat transpa ran dan real time. Mengapa kita yang dituduh mempermainkan harga, itu tidak adil. La,wong keuntungan yang kita dapat Rp50 per kg, itu bisa di cek setiap saat kok ?,” keluh Nellys Ketua Perpadi yang merangkap pedagang beras di PIBC. [ira]

Tags: