Ketakutan Koalisi Pendukung Capres

Oleh :
Robeth Fikri Alfiyan
Alumnus Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Pemilihan calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) pada 17 April 2019 mendatang kian tambah dekat. Pelbagai safari politik pun dilakukan. Namun nyatanya sampai kini tidak semua partai politik (parpol) pengusung di kedua kubu yang secara terang-terangan memberikan perhatian serius pada upaya memenangkannya. Alih-alih mengampanyekan, setiap parpol justru sibuk dengan urusan masing-masing.
Kebijakan ambang batas (parliamentary threshold) merubah pola struktur ini. Perubahan struktur ini setidaknya mengharuskan minimal memperoleh 4 persen suara dari setiap parpol. Penilaian ini sejalan dengan hasil di beberapa lembaga survei nasional yang menyatakan, keberadaan parliamentary threshold akan mengancam suara kursi para calon legislatif (caleg) setiap partai di parlemen.
Efek ekor jas
Mereka harus bertarung satu sama lain. Bahkan sesama caleg internalnya pun. Karena itu, alasan ini ada benarnya juga mengapa kini strategi setiap parpol menghadapi Pemilu 2019 terlihat berbeda-beda, atau bisa dikatakan “mati suri” dibandingkan pemilu sebelumnya. Pertanyaannya, lantas bagaimana strategi pemenangan setiap parpol supaya suara pemilih tetap terjaga dan tetap berkomitmen pada kedua pasangan baik Jokowi-Ma’ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga Uno?
Jawabannya sulit, dan sangat dilematis. Di satu sisi, mereka harus berkomitmen pada setiap pasangan capres/cawapres yang didukung karena sudah terikat kontrak politik di dalamnya. Sementara di sisi lainnya, mereka juga harus memikirkan bagaimana nanti suara para caleg yang diusulkan di setiap daerah pemilihan tidak kehilangan daya tarik pemilih.
Belum lagi, parpol pengusung di kedua pasangan capres/cawapres cukup banyak. Yang ada masyarakat tambah kebingungan mengenai siapa yang akan dipilih dari caleg yang diusung. Ini yang mau tak mau dipikirkan. Apalagi bila dilihat dari kultus perilaku pemilih masyarakat memilih cenderung berdasarkan personal image daripada ideologi partai terkait.
Sehingga pilihan yang masuk akal, memilih fokus pada kampanye di legislatif. Hanya dengan memenangi di legislatif, parpol akan selamat dari jurang ambang batas dan tetap menjadi poros kekuatan yang terus diperhitungkan dalam sistem politik saat ini. Srategi lainnya, mereka juga dapat mengambil keuntungan dari apa yang disebut sebagai “efek ekor jas” (coat-tail effect) dari pengaruh Jokowi ataupun Prabowo.
Tapi masalahnya adalah, bila terlalu berlebihan mengharap dari efek ekor jas bukan tidak mungkin suara partainya perlahan hancur. Karena hanya bisia dinikmati dari para caleg yang berangkat dari partai asal capres/cawapres tertentu yang kini sedang bertarung.
Karenanya, keinginan para caleg untuk terpilih mengharapkan dari efek ekor jas ini agak sulit diwujudkan. Malah sebaliknya, kekhawatiran sebagian besar partai pengusung yang bergabung dalam koalisi tersebut adalah efek ekor jas ini, yang berbenturan langsung dengan caleg dari partai tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Asrinaldi A dalam tulisannya di Kompas 23 Februari 2019 yang berujudul Koalisi Semu Pendukung Capres. Menyebutkan bahwa pengurus parpol perlu mengkaji strategi lain selain pengaruh efek ekor jas, caranya membangun budaya politik berbasis kepercayaan. Kepercayaan politik dari pendidikan politik yang mendidik. Dan selalu berpihak pada yang benar (kerja nyata).
Sederhananya ini yang diinginkan masyarakat. Bukan mengadu, mengakal di bawah naungan konglomerat oligarkis. Membela mati-matian. Misal pada pemilik ratusan ribu hektare lahan yang kapan saja mengancam masyarakat bersama. Jadi pengurus parpol perlu berkomitmen dan memikirkan ini, supaya tetap dipercaya ke depannya.
Parpol bukan berkomitmen
Melihat kuatnya patronase partai yang terbangun di antara caleg dengan masyarakat di daerah pinggiran kota dan perdesaan. Melalui efek ekor yang diuntungkan tentu caleg yang berlatar belakang dari Partai PDI-P dan Gerindra. Kedua partai ini memiliki brand popularitas kuat meraup suara sebanyak-banyaknya. Nilai plus ini bisa kita lihat entah melalui kampanye capres ataupun kampanye calegnya.
Meskipun ukuran kemenangan pilpres tak bisa direpresentasikan dari banyaknya parpol koalisi. Namun pengaruh keberpihakan parpol betapa pun satu dari sekian alat yang dapat memengaruhi pemilih. Ikut mengampanyekan capres yang memang berasal dari kader partai tersebut memang berdampak pada meningkatnya suara partainya walau tak signifikan.
Maka tak heran ketika sebagian pengurus partai memilih cara-cara pintas pragmatis terkait dengan metode kampanye seadanya. Membiarkan roda penggerak berjalan sendiri. Termasuk untuk tidak terlalu aktif dan reaktif mengampanyekan setiap capres.
Lihat saja apa yang dilakukan Partai Demokrat jauh-jauh hari, fokus utamanya pada kampanye menaikkan suara caleg di parlemen, bukan pada kampanye capres. “Sejak awal kami semua sepakat bahwa Partai Demokrat akan berorientasi pada perjuangan calegnya, tidak bisa terlalu berharap pada efek ekor jas dari pilpres atau dari partai secara keseluruhan, karena caleg lah yang berada di depan.” Seperti yang dikatakan AHY di kantor DPP Partai Demokrat, Sabtu (2/3/2019).
Bahkan strategi ini juga diadopsi secara diam-diam oleh partai pengsung lainnya. Seakan kadernya terlihat getol membela capres yang diusung. Padahal itu bagian strategi gimmick terkait pemenangan partainya. Bila kita implementasikan pada pemilu serentak mendatang, ketakutan koalisi pendukung capres tampaknya akibat kekecewaan sebagian pengurus parpol.
Mereka kecewa eksistensi ketidakterpilihan para calegnya. Sehingga cara yang digunakan “perang total”. Merebut suara di parlemen dengan tujuan kepentingan tertentu. Untuk mengelabui lawan tak segan bersilat lidah. Bermain kata per kata dari retorika kebohongan. Inilah potret di balik itu semua. Atas nama kemuliaan demokrasi, suara rakyat sebatas instrumen perindah. Dengan demikian, apakah kita begitu mengharapkan berjalannya pemilu yang bersih dan adil? Dan mengaharap pada mereka untuk berpihak? Tidak. Mereka hanya siap menang, tapi tak siap mengalah. Pada akhirnya rakyat tetap berada di pihak yang kalah. Sedang mereka tetap melanjutkan ekstasi merampok. Rakyat, sadarlah. ini jelas sebuah kemunafikan menjelang pemilu!

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: