Keterlibatan Anak-anak Pada Teror Bom Sangat Memprihatinkan

Kota Malang, Bhirawa
Pakar Teroris Unibersitas Brawijaya (UB), Yusli Effendi, mengutarakan , keterlibatan anak-anak dalm teror bom sangat memprihatinkan. Ia menyebut alasan disertakannya perempuan dan anak-anak dalam aksi tersebut memiliki berbagai kemungkinan. Pertama, keterlibatan laki-laki dalam tindakan terorisme sudah sangat mudah ditebak. Prinsip kehati-hatian terhadap laki-laki pun sangat besar.
Makanya Insiden peledakan bom yang diduga sebagai bom bunuh diri di Indonesia beberapa hari terakhir diketahui telah melibatkan perempuan dan anak-anak ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Pola yang terbilang baru ini pun membuat publik bertanya-tanya. Apa sebenarnya alasan mereka tega mengajak serta perempuan dan anak yang masih di bawah umur?”tukasnya.
Hal itu berbalik dari peran perempuan, yang selama ini masih belum banyak mendapat perhatian terkait kemungkinan keterlibatan mereka dalam aksi teror. Itu pun menjadi celah tersendiri untuk menjalankan aksinya melakukan teror.
“Berbeda dengan Rusia dan Timur Tengah, perempuan juga banyak melakukan aksi teror. Terutama untuk suami mereka yang telah mati terbunuh,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, keterlibatan perempuan juga memberi efek mempermalukan. Ketika seseorang mati di tangan perempuan, hal itu dinilai memberi efek tersendiri dibandingkan terbunuh oleh kaum Adam.
Namun keterlibatan anak-anak serta isteri memang menjadi trend baru saat ini. Karena selama ini belum pernah terjadi. Makanya perlu ada penanganan khusus.
Di Indonesia sendiri, menurutnya pola penyebaran ideologi radikalisme ditularkan melalui dua jalur, yaitu keluarga dan pertemanan. Pertemanan dalam hal ini dapat diperoleh dalam komunitas tertentu.
Sementara jika paham radikalisme itu munculnya dari keluarga, terlebih langsung dari kepala keluarga, maka ideologi itu akan lebih mudah menyebar ke satuan keluarga. Sepeti halnya yang terjadi dalam kasus dugaan bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya Minggu (13/5) lalu. Di mana aksi tersebut melibatkan pasangan suami isteri dan empat orang anaknya.
“Anak bisa saja diajak pengajian dan dicekoki dengan paham yang keras itu, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain, karena sudah kena doktrin,”urainya.
Terlebih, lanjut Yusli, jika kepala keluarga yang bersangkutan sempat merasakan pendidikan menggunakan senjata hingga turut serta dalam aksi peperangan, yang besar kemungkinan memiliki kemampuan merakit bom dan senjata serta taktik perang gerilya. Pada prinsipnya, sebuah ideologi menurutnya menyasar keluarga. Sehingga sangat mungkin dikatakan jika paham radikalisme tersebut juga turut melibatkan keluarga. Baik isteri maupun anak-anak. [mut]

Tags: