Keterwakilan Perempuan dan Nasib IPG

Sukesi

Sukesi

Oleh :
Sukesi
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi Jatim

Akhir pekan kemarin, tepatnya tanggal 8 Maret, dunia merayakan Hari Perempuan Sedunia (International Women Day). Bagi masyarakat Indonesia, Hari Perempuan memang tidak begitu populer. Bisa jadi hari ini hanya diketahui oleh para aktivis dan pihak-pihak yang peduli dengan gerakan yang memperjuangkan perempuan.
Dijadikannya tanggal 8 Maret sebagai International Women Day, karena pada tanggal yang sama di tahun 1917, perempuan di Rusia, untuk pertama kalinya diberikan hak suara oleh pemerintah Rusia. Inilah yang menjadi tonggak awal peringatan bagi seluruh perempuan dunia. Melihat sisi kesejarahannya tersebut, maka peringatan Hari Perempuan Dunia -yang sejatinya menjadi pintu masuk peran politik perempuan– menemukan momentumnya karena tahun ini merupakan tahun politik. Artinya, harapan untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap perjuangan perempuan akan sangat ditentukan bagaimana sikap masyarakat dan para pejuang perempuan sendiri, mengapa? Tidak lain adalah Karena tahun ini merupakan momentum untuk melakukan pemilihan legislatif (Pileg) yakni pemilihan calon anggota dewan baik di level pusat (DPR) maupun di level daerah (DPRD).
Dengan demikian, pemilihan anggota dewan sesungguhnya juga merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan kaum perempuan. Kalau anggota Dewan yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dengan persoalan perempuan, maka harapan agar nasib perempuan akan menjadi lebih baik lebih memungkinkan akan dapat direngkuh. Dengan demikian, sesungguhnya agenda terpenting dalam Pileg mendatang bagi perempuan adalah bukan semata memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen saja atau sekadar memenuhi kuota 30 persen, tetapi adalah menghasilkan wakil rakyat berkualitas dalam kesetaraan gender.
Keterlibatan perempuan di parlemen ini merupakan dorongan agar aspirasi perempuan dapat tersampaikan dalam setiap kebijakan pembangunan. Pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 didukung oleh amanat UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang mengatur keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen pusat dan daerah. Jumlah 30 persen ini tidak hanya dimaknai secara simbolik hanya untuk memenuhi kuota saja tetapi dapat dimaknai secara substansi. Harapan kita, pada Pemilu 2014 ini keterwakilan perempuan di parlemen benar-benar dapat terwujud sebagaimana kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Lebih dari itu, sebenarnya tidak cukup hanya pemenuhan kuota tetapi harus benar-benar menyentuh pada substansi soal pemberdayaan perempuan.
Indeks Pembangunan Gender
Bahwa berdasarkan sensus penduduk pada 2011 terdapat sekitar 118 juta atau 49,65 persen penduduk Indonesia merupakan perempuan dan sekitar 119,5 juta atau 50,35 persen merupakan laki-laki. Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim.
Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11% caleg perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu. Dengan kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender.
Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih banyak sebagai “penikmat” keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan kian berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini mengakibatkan posisi perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Sementara hasil pehitungan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan Indeks Pembangunan Gender yang memiliki selisih sekitar lima poin. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita  yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah).
Sementara IPG adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang sama seperti IPM dengan memperhitungkan ketimpangan gender. IPG dapat digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan.  Sederhananya, kesetaraan gender terjadi apabila nilai IPM sama dengan IPG. Berdasarkan data terakhir di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, setiap tahun selalu ada selisih antara angka indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG). Selisihnya,  pada kisaran 5 persen. Pada 2011 lalu misalnya, IPM Indonesia berada pada angka 72,77 persen, sedangkan IPG hanya 67,8 persen. Sedangkan pada 2010, IPM berada pada angka 72,27, sedangkan IPG pada angka 67,2 persen. Masih ada kesenjangan dan trennya masih begitu. Artinya, meskipun mengalami peningkatan, namun kesenjangan capaian antara perempuan dan laki-laki masih terjadi. Padahal harusnya pembangunan lebih spesifik mengutamakan kesetaraan gender sehingga indeks pembangunan gender sama dengan indeks pembangunan manusia. Salah satu harapan, meningkatnya angka partisiapsi perempuan dalam politik adalah ikut serta dapar mendorong Indeks Pembangunan Gender (IPG), mengapa?. Tidak lain adalah karena ternyata masih ada ketimpangan antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan  Indeks Pembangunan Gender (IPG).
Oleh karena itu, keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu bentuk penyetaraan gender agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki di parlemen. Kesetaraan ini adalah bagaimana perempuan dan laki-laki mendapat haknya, mendapat akses, mengawal, dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Semoga !

Rate this article!
Tags: