Ke(tidak)sucian Ramadan Kita

Hasnan BachtiarOleh :
Hasnan Bachtiar
Devrina Nova Maria
Para penulis adalah penggiat literasi di The Reading Group for Social Transformation (RGST)

Ramadan senantiasa kita anggap sebagai bulan puasa. Seperti biasa, terdapat pelajaran untuk menahan segala jenis nafsu kemanusiaan kita, sejak terbitnya fajar, hingga tenggelamnya mentari, di saat Maghrib yang mulia tiba.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa, karena semuanya serba ordiner. Hanya saja, oleh karena banyak kepentingan, bumbu teologi membangun cita rasanya, sehingga tampak penuh berkah. Semakin banyak perbuatan baik yang dilakukan, semakin banyak pula pahalanya, bahkan berlipat ganda. Namun, berbanding terbalik dengan idealitas imajiner kita, ternyata realitas sosial yang kita hadapi sungguh berbeda. Di bulan yang konon katanya suci ini, malah membangkitkan syahwat kebinatangan kita. Misalnya, keserakahan manusia semakin berpesta pora.
Kebudayaan konsumerisme yang memang sudah merebak, berkembang berlipat-lipat ganda. Bahkan di bulan ini, kita makan dua-tiga kali lebih banyak dari biasanya dan lebih mewah. Tentu saja sampah-sampah menggunung secara luar biasa. Anehnya, tatkala kita diseru untuk secara total berlaku ma’ruf, malah mempraktikkan yang sebaliknya. Aktivitas politik yang amoral, fitnah-memfitnah, korupsi, kriminalitas dan segala hitam legam kejahatan lain, sama sekali tidak berkurang di bulan ini. Dengan kata lain, bulan ini adalah bulan yang tak terlalu suci sebenarnya.
Mendiagnosa Mereka yang Berpuasa
Lantas mengemuka pertanyaan untuk kita semua, “Apakah ada yang salah dengan puasa kita?” Barangkali tidak. Hanya saja, kondisi sosio-historis yang kita miliki, turut membangun pengertian kita terhadap makna agama.
Sesungguhnya secara fiqih, mungkin puasa kita sudah benar. Bahkan secara sufistik, kita juga sudah sedemikian tulus dan ikhlas. Hanya saja, ketika kita berhadapan dengan tradisi kultural dan problem sosial, politik serta ekonomi, seolah-olah tidak menemukan korelasinya secara tepat. Buktinya adalah -sekali lagi- kemunkaran sosial senantiasa terjadi.
Karena itulah, maka puasa kita selama ini masih menjadi puasa individual, belum menapaki level yang lebih tinggi, yakni puasa sosial. Maksudnya, segala ritual ibadah kita sementara ini, sama sekali tidak berdampak pada situasi sosial sehari-hari. Karena itulah kita hanya berpuasa, shalat lima waktu, bertarawih, tadarus dan seterusnya, sementara kita abai pada persoalan-persoalan sosio-ekonomi dan politik baik yang bersifat kultural, maupun struktural.
Mungkin, kita sudah bersedekah kepada fakir miskin, yatim piatu dan golongan papa lainnya. Namun, apakah sedekah tersebut mampu menyelesaikan problem kemiskinan yang bersifat sangat massif? Apakah dengan berpuasa dan shalat yang sah secara fiqih, kita bisa memberantas korupsi yang semakin menjadi-jadi? Bukankah para koruptor juga rajin shalat dan berpuasa?
Inilah kiranya yang dimaksud bahwa, pemahaman terhadap ide keagamaan juga dibentuk oleh proses sosio-historis manusia. Dengan demikian, Ramadan, selamanya akan menjadi bulan yang “tidak” terlalu suci, tatkala kita merasa nyaman dengan perspektif keagamaan yang begini-begini saja. Seperti sindir sejarawan George Santayana, “Sejarah berulang!” Sayangnya, bukan gilang-gemilang kebajikan, tetapi stagnasi, dekadensi dan dehumanisasi yang memilukan.
Mensucikan Kembali Ramadan
Dalam rangka menjawab pelbagai persoaalan pelik di atas, adakah jalan yang lebih baik ketimbang memulainya dengan membangkitkan kesadaran kritis kita? Tentu saja demikian.
Puasa sejatinya adalah sarana untuk refleksi diri bahwa, secara sosial, kita masih memiliki saudara sesama manusia, yang setiap hari merasakan kelaparan sebagaimana lapar yang kita rasakan. Hanya saja mungkin kita mampu berbuka, sementara mereka akan terus berpuasa entah sampai kapan berakhirnya. Hidup mereka penuh dengan keprihatinan yang nestapa. Namun, tidak cukup berhenti pada refleksi. Setidaknya, kita harus pula memikirkan mengapa segala problem kemanusiaan ini terjadi. Kita masih memiliki tanggungjawab sebagai Muslim yang baik, untuk menganalisisnya, mengusahakan solusi-solusi terbaiknya dan mengimplementasikannya sebagai bentuk aksi sosial yang nyata.
Lebih dari itu, sudah waktunya kita menyeru, berdakwah dan bergumul dalam upaya pedagogi kritis untuk mendidik umat mengenai perkara ini semua. Para khotib, da’i dan kyai harus memulai menyebarkan dakwah Islam yang responsif terhadap persoalan-persoalan sosial kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan demikian, ajaran agama yang dikumandangkan memiliki nilai dan visi yang profetis, transformatif dan emansipatoris.
Kiranya gagasan inilah yang pernah diajukan oleh para pemikir Muslim garda depan, seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, HOS Tjokroaminoto dan seterusnya. Di Indonesia kontemporer, ide ini juga dipopularkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Moeslim Abdurrahman. Merekalah inspirasi kita semua.
Akhirnya, marilah kita tengok ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa, “Hai orang-orang yang beriman, berpuasalah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelummu, agar kamu bertakwa.” Marilah kita mensucikan bulan Ramadan ini dengan cara yang lebih peka dan kritis. Karena bila tidak, pastilah kita akan hidup dan beribadah dengan penuh ketidakpedulian, amoralitas dan dehumanisasi, sebagai mana orang-orang sebelum kita, yang dicatat oleh sejarah.

                                                                                                         ————— *** —————-

Rate this article!
Tags: