Oleh :
Febri Edytya Salsabila
Mahasiswi Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Saat ini kita tengah berada pada zaman yang generasi mudanya hampir kehilangan selera pada agamanya. Sepertinya, tak banyak lagi anak mudanya yang ingin meneladani sikap dan perilaku Rasul, namun cenderung berlomba-lomba menjadi anak gaul. \
Sinyalemen ini diungkapkan Sulthani (2021) dalam Konsep Pendidikan Agama Pada Zaman Millenial. Menurut Sulthani dalam kehidupan anak muda sekarang ini pendidikan agama menempati posisi terakhir. Dengan kata lain, pendidikan agama mulai kehilangan identitasnya dari pikiran generasi muda
Kehidupan anak muda tentu berbeda dengan kehidupan generasi sebelumnya, dimana dalam kehidupan anak muda sekarang ini cenderung mengedepankan gaya hidup hedonisme dan lebih mengutamakan kesenangan diri sebagai tujuan hidupnya.
Dalam era globalisasi mungkin hal ini telah wajar bagi para generasi muda, namun tanpa disadari derasnya arus globalisasi ternyata mampu mengikis budaya lokal hingga keteguhan agama. Pengaruh globalisasi terhadap kehidupan anak muda tentu saja sangat luar biasa.
Pengaruh tersebut telah mampu membuat banyak anak muda yang kehilangan kepribadian diri hingga selera pada agamanya. Bisa dibilang dengan adanya globalisasi ini, anak muda bangsa lebih suka mengikuti tren budaya modern yang cenderung kebarat-baratan daripada budaya bangsa sendiri yang lebih beradat dan beradab.
Globalisasi memang menyatukan kita dengan dunia, namun ia juga memungkinkan kehidupan manusia menuju tak terbatas dengan dibarengi sebuah modernitas. Modernitas sendiri merupakan masa yang saat ini sedang kita duduki, dimana segala sesuatu telah mengalami kemajuan. Bagaimana gaya hidup anak muda saat ini menjadi salah satu produk hasil adanya modernitas di kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, mereka akan cenderung mengikuti budaya modern yang muncul. Akan tetapi, dengan segala kemudahan dan kemajuan yang dimiliki oleh budaya modern ternyata telah mampu menjadikan anak muda bangsa jauh dari kehidupan metafisis yang taat dengan nilai-nilai religiusitasnya.
Hal inilah yang tengah populer di kehidupan anak muda, dimana mulai susah ditemukan anak muda yang dengan senang hati mau mengkaji tentang masalah keberagamaannya diwaktu senggang, namun akan banyak ditemukan anak muda yang rela menghabiskan waktu senggangnya hingga seharian hanya untuk duduk menikmati secangkir kopi di coffe shop ternama. Hal semacam itu tak jarang dilakukan hanya untuk pemenuhan upload feed rutin di media sosial miliknya. Rajin upload di tempat nongkrong yang berbeda-beda tentu dapat menambah citra “gaul” pada siapa saja yang melakukannya.
Pada era sekarang ini kata “gaul” dirasa lebih unggul daripada “cinta rasul”. Anak muda akan berlomba-lomba untuk mendapatkan predikat gaul dalam dirinya, maka tak heran jika seringkali mereka akan lebih mendahulukan kepentingan nongkrong daripada ibadah. Nongkrong berjam-jam seringkali mereka lakukan dengan rutin, namun ibadah wajib kurang lebih hanya lima menit cenderung di undur atau bahkan di lewati. Fenomena gaul yang tengah marak di kalangan anak muda antara lain yakni dimana gaya syar’i kurang diminati, namun gaya hypebeast digandrungi, smartphone dikagumi, dilalaikannya kitab suci. Kenyataan hidup seperti itu memang tidak dapat dipungkiri dari kehidupan anak muda sekarang ini.
Beberapa fenomena gaul tersebut tentu tidak bisa muncul secara tiba-tiba dan begitu saja, namun hal itu antara lain merupakan hasil konstruksi dari adanya modernisasi di kehidupan masyarakat.
Seorang tokoh sosiologi, Peter L. Berger menyebutkan bahwa suatu perubahan yang terjadi di kehidupan masyarakat merupakan hasil konstruksi dari nilai-nilai yang ada oleh seseorang. Konstruksi ini biasa dilakukan oleh seseorang melalui tiga tahapan, yakni internalisasi, objektivasi, dan eksternalisasi.
Realita terjadinya modernisasi dalam kehidupan anak muda seringkali di implementasikan dalam wujud yang disebut sebagai nilai gaul, hal ini tentu menjadi sebuah fenomena yang akan dijadikan pengalaman hidup bagi mereka yang tengah sibuk mencari predikat “gaul” dalam dirinya. Selanjutnya, anak muda akan mencoba untuk beradaptasi dengan nilai-nilai gaul yang ada guna dapat mengikuti tren gaul masa kini. Dalam proses adaptasi ini tentunya mereka akan meresapi nilai-nilai gaul yang kemudian diadopsi untuk menjadi nilai diri, proses ini biasa disebut internalisasi. Ketika anak muda bangsa telah menemukan nilai gaul dalam dirinya, maka mereka cenderung menjadikan nilai tersebut sebagai kenyataan hidup dan akan dipahami sebagai realitas objektifnya, hal ini yang kemudian disebut sebagai proses objektivasi oleh anak muda.
Setelah mereka mendapatkan kenyatan hidup yang objektif, anak muda cenderung akan live in di dalam berbagai nilai gaul yang telah diadopsi sebelumnya. Dan mereka tentu juga akan menerapkan nilai tersebut dalam kehidupannya, hal inilah yang seringkali disebut sebagai proses eksternalisasi dalam kehidupan gaul oleh anak muda. Pada dasarnya, tiga tahapan yang dikemukakan oleh Berger tersebut sebenarnya telah di lalui oleh banyak anak muda sekarang ini dalam upaya mewujudkan kehidupan gaul yang telah lama di impikan. Dan tentunya ketiga tahapan tersebut telah berhasil menghasilkan suatu konstruksi tentang nilai gaul dalam kehidupan anak muda di era sekarang ini.
Secara tidak langsung hasil konstruksi yang ada telah mampu merubah diri anak muda itu sendiri. Dimana ketika mereka tengah sibuk mengejar predikat “gaul”, sebisa mungkin mereka akan mencurahkan nilai-nilai gaul dalam kehidupannya, maka tak heran jika kesibukan tersebut membuat mereka mulai kehilangan selera pada agamanya sendiri. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi keberagamaan dalam kehidupan anak muda sekarang ini. Dimana dalam era modernisasi seperti sekarang ini, keseluruhan anak muda tak akan butuh waktu lama untuk menyikapi berbagai hal yang selama ini dipelajari sebagai rahasia Tuhan.
Guna menjaga eksistensi keberagamaan dalam kehidupan anak muda, sekarang ini mulai banyak bermunculan tokoh agama yang konten ceramahnya cenderung mengikuti gaya hidup anak muda. Salah satunya yakni Ustadz Hanan Attaki, yang mana dalam setiap konten ceramahnya ia senantiasa berpenampilan gaul layaknya anak muda dan dibarengi dengan penggunaan istilah-istilah gaul yang tentu sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari anak muda.
Gaya ceramah Ustadz Hanan Attaki yang sangat millenial ini, ternyata cukup efektif dalam menarik perhatian kalangan muda untuk mengikuti kajian-kajian keberagamaanya. Selain memiliki pembawaan serta pembahasan yang cenderung sesuai dengan kehidupan anak muda, ternyata perhatian anak muda terhadap kajian-kajian beliau juga turut diperoleh melalui pemilihan kajian oleh Ustadz Hanan Attaki yang memang cenderung menghindari hal-hal ikhtilafiyah atau sesuatu yang akan memicu perdebatan di kalangan masyarakat.
Hal seperti inilah yang seharusnya terus dikembangkan agar eksistensi keberagamaan pada anak muda bangsa tidak hilang terkikis arus modernisasi. Hal tersebut penting dilakukan karena tak selamanya konstruksi tentang nilai gaul akan baik bagi kehidupan masyarakat terlebih untuk anak muda bangsa.
Semakin modern kehidupannya bukan berarti dapat digunakan untuk menutup ketertarikan diri pada kepercayaan-kepercayaan agama. Alangkah baiknya sebagai anak gaul kita tetap dibarengi kecerdasan dalam menyikapi seluruh konstruksi modernisasi yang unggul. Karena pada dasarnya, kehidupan anak gaul tidak dapat dibawa hingga nanti ke kehidupan yang hakiki. Dengan begitu kita sebagai anak muda bangsa harus dapat mengimbangi antara kehidupan masa kini dan masa nanti melalui ketertarikan pada kajian-kajian agama.
———— *** ————-