Ketika Berhukum Hanya dengan UU

(Putusan PK Kasus Baiq Nuril)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair dengan Konsentrasi Sosiologi Hukum.

Perjuangan panjang ibu Baiq Nuril (BN), terdakwa kasus penyebaran konten bermuatan asusila, untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum reguler, akhirnya kandas. Hal ini menyusul Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan ibu BN dan kuasa hukumnya ditolak majelis hakim PK Mahmakah Agung.
Dengan ditolaknya PK ibu BN ini, sesuai dengan putusan kasasi sebelumnya menyatakan terdakwa ibu BN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum melanggar Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan dikurangi selama Terdakwa ditahan dan membayar denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan. Kasus ini langsung memantik reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, karena putusan PK MA tersebut dinilai tidak adil. Ibu BN yang sejatinya adalah korban pelecehan seksual dari atasannya, tapi justru dikriminalisasi dan dijadikan tersangka sebuah tindak pidana.
Pendapat Hukum MA
Pasca putusan PK MA ini, perjuangan BN dan kuasa hukumnya untuk mendapatkan keadilan (substantif) terus berlanjut melalui jalan lain, yakni pengajuan amnesti (pengampunan) kepada sang pemilik otoritas, yakni presiden Jokowi Widodo. BN dan kuasa hukum berharap presiden dapat mengabulkan perjuangan terakhirnya, yakni mendapatkan keadilan berupa amnesti. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, permohanan itu nantinya merupakan wewenang Presiden dengan mendengarkan pertimbangan DPR.
Pasca putusan MA yang mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, MA langsung memberikan penjelasan melalui juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, yang menyatakan bahwa fungsi dan kedudukan Mahkamah Agung dalam mengadili perkara di tingkat kasasi pada prinsipnya berkedudukan sebagai judex juris (hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya). Hakim menilai tidak terbukti adanya kekeliruan yang dilakukan hakim di tingkat kasasi. Putusan itu sudah sesuai berdasarkan Pasal 263 Ayat 2 KUHP. Menurutnya, putusan kasasi sudah tepat. Sudah benar karena yang diadili adalah terdakwa BN dinyatakan bersalah karena memang perbuatannya memenuhi sebagai tindak pidana yang diatur dalam pasal 27. BN dinyatakan bersalah sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang ITE dan alasan lainnya yang ada dalam PK tidak terpenuhi. Keputusan itu lanjut Andi, dinilai sudah tepat. Namun demikian, ada satu hal yang dipertanyakan publik yakni diabaikannya peraturan MA (Perma) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Jawa Pos, 8/9)
Berhukum Tak Cukup dengan Pasal (UU)
Dari pendapat dan argumentasi hukum yang disampaikan hakim PK MA, sangat terlihat bagaimana seorang hakim hanya berhukum dengan pasal yang ada dalam undang-undang atau “hakim pasalistik”. Hakim MA lebih berkutat dan bersandar pada peraturan (UU) saja, tanpa berusaha menggali, menangkap, dan meresapi secara lebih mendalam persoalan yang menimpa ibu BN, karena pada dasarnya BN juga menjadi korban. Dalam konteks yang lebih luas, tak sekdar persoalan hukum ansich. Kasus BN harus dilihat dalam konteks tentang nasib perempuan saat ini, yang kerapkali menjadi korban kekerasan, termasuk korban cybercxrime. Komnas Perempuan) menyebutkan di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus.
Komnas Perempuan menemukan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Kendati beberapa darinya adalah jenis kasus lama, namun jenisnya semakin beragam. Kekerasan terhadap perempuan dan anak berada dalam kondisi darurat. Realitas sosial ini nyata-nyata berakibat distruktif bagi kehidupan sosial masyarakat, dan karena itu tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan dalih dan atas nama formalisme hukum atau pandangan legalistik-positifistik.
Sebagai seorang wakil Tuhan di muka bumi, hakim MA mustinya tidak hanya berhukum dengan pasal (UU) yang lebih mengangung-agungkan formalistisme dan proseduralistimse. Masalah kekerasan perempuan adalah masalah luar biasa dan bahkan darurat, karena itu tak cukup disikapi dengan pendapat hukum dan putusan hukum yang biasa-biasa saja. Perlu dan bahkan harus disikapi dengan pendapat dan putusan hukum yang luar biasa. Seharusnya majelis hakim lebih berfikir dan menjadi seorang hakim progresif dan responsif. Untuk perkara darurat seperti ini, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal undang-undang semata, tetapi bisa berani selanh lebih maju, selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal di tangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam guide, dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan hukum.
Di tengah kedaruratan kekerasan perempuan, kita sungguh sangat membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif dan responsif demi kemaslahatan ummat. Seorang yuris Belanda bernama B. M. Taverne terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi: “berikan kepada saya hakim, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne ini seakan ingin menegaskan kepada kita: bahwa peraturan yang baik dan sempurna sekalipun, jika penerapannya dilakukan oleh orang yang bermental buruk, maka hasilnya pun akan buruk dan mengecewakan begitu banyak pihak.
Umumnya, cara berhukum di negeri kita masih lebih didominasi “berhukum dengan peraturan” (legalistik-positifistik) daripada “berhukum dengan akal sehat dan hati nurani”. Menurut begawan hukum Indonesia Satjipto raharjo (2010), berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yaitu menjalankan hukum dengan cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks secara mentah-mentah. Ia berhenti pada mengeja undang-undang. Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa-bawa. Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normative yang ada dalam UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat (1) menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Karena itu, dalam konteks ini, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga dituntut untuk memiliki skiil, kreativitas dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: