Ketika DPR Mengabaikan Tuannya

Alexander B. KorohAlexander B. Koroh
Widyaiswara Badan Diklat Prov. NTT

Kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi adalah suatu fakta. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika pemikir-pemikir besar jaman pencerahan seperti, Hobbes, Locke, dan Rousseau, memberikan tidak saja perhatian tetapi juga pembelaan tentang pentingnya pemerintah untuk memenuhi kepentingan rakyat (baca: yang berdaulat). Menurut mereka pemerintah hadir karena memperoleh mandat dari yang berdaulat atau pemilik mandat yakni rakyat. Dengan kata lain, tak mungkin suatu pemerintahan ada tanpa memperoleh mandat dari rakyat. Bila kita mencoba menempatkan pemberi mandat (rakyat) dan penerima mandat (pemerintah dalam arti luas) dalam bingkai Agency Theory (Teori Agensi/Perantara), tampak jelas ada keselahan fatal yang dilakukan DPR ketika mereka menyetujui UU Pilkada Tidak Langsung.
General Will
Rousseau dalam bukunya ‘The Social Contract and Discourses’ yang merupakan salah satu referensi utama dalam ilmu politik, menjelaskan bahwa kedaulatan sejatinya mewujudnyatakan keberadaannya dalam general will (kehendak umum). Masih menuruh Rousseau General will berbeda dengan the will of all (kehendak dari semua), karena general will adalah kehendak rakyat yang benar dan adil karenanya tak dapat dicabut (inalienable) dan dibagi (indivisible) karena selalu bertujuan untuk pencapaian common good (kesejahteraan bersama). Sebaliknya the will of all adalah kehendak yang berpihak pada kepentingan kelompok atau segelintir orang tertentu yang bertentangan dengan kepentingan publik/rakyat. Premis ini membantu kita untuk melihat dengan jelas betapa apa yang telah ditunjukkan anggota DPR dalam menyetujui UU Pilkada tak langsung adalah sesuatu yang mengutamakan the will of all dari mereka sambil secara terang-benderang mengangkangi kepentingan tuannya (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Padahal, secara factual, hasil survey LSI menunjukkan bahwa 75 % rakyat Indonesia mendukung Pilkada langsung.
Oleh karenanya, muncul pertanyaan ‘mengapa hal ini bisa terjadi? Seorang penerima mandat (agent/anggota DPR) menipu/mengibuli/mengangkangi dan atau mengabaikan kehendak tuannya (Pemberi mandate/ rakyat)?. Teori ‘Agency’ dapat membantu kita untuk memahaminya. Menurut Bergman dan Lane (1990) dalam tulisan mereka  ‘Public Policy in a Principal-Agent Framework, menjelaskan bahwa teori ini adalah salah satu teori yang didasarkan pada gagasan bahwa kehidupan social dan politic dapat idmaknai sebagai suaru seri ‘kontrak’. Sebab agent cenderung memaksimalkan kepentingan pribadinya sambil mengangkangi/mengabaikan kepentingan principal (tuannya). Hal ini terjadi karena selain karakter agent yang serakah juga karena ia lebih menguasai informasi dan keahlian tertentu yang dapat dimanipulasi untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya. Hal inilah yang secara vulgar telah dilakukan oleh anggota DPR yang telah menyetujui UU Pilkada tidak langsung. Sebab, anggota DPR/D adalah pihak yang paling diuntungkan (secara transaksional) jika pilkada tak langsung dijalankan. Tentunya hal ini sangat memalukan, karena tampak nyata betapa mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan atau kelompok ketimbang kepentigan rakyat.
Rakyat yang Terabaikan
Sayangnya, dalam relasi principal dan agen dalam konteks hubungan anggota DPR/D dengan rakyat berbeda dengan yang terjadi dalam dunia bisnis. Jika dalam dunia bisnis ketika pengangkangan kepentingan pemberi mandat dilakukan (sebagaimana tertera dalam kontrak) maka pemberi mandate, secara serta merta dapat memberikan punishment (hukuman) bagi agent dengan memutuskan kontrak kerja/kinerja. Dalam konteks hubungan anggota DPR/D dengan tuannya, hukuman baru dapat diberikan pada masa pemilihan legislative berikutnya dengan tidak memilih mereka lagi. Dalam periode penugasannya rakyat tak dapat memberhentikan secara langsung anggota DPR/D yang mengabaikan kepentingan rakyat. Namun rakyat dapat melakukan tindakan extraparlementer melalui demonstrasi yang menunjukkan ketidaksetujuan rakyat terhadap issue tertentu yang disetujui DPR/D. Akan tetapi partisipasi politik seperti ini meskipun baik, menghabiskan banyak waktu, energy, dan materi dari rakyat padaha mereka telah memiliki wakil yang seyogianya mengerti kehendak rakyat kemudian memperjuangkannya dengan sungguh. Tambahan pula rakyat melalui APBN menggaji anggota DPR sangat mahal yakni 100 juta perbulan plus berbagai fasillitas lainnya.
Dalam konteks persetujuan DPR terhadap UU Pilkada Tidak Langsung, tampak jelas bahwa posisi anggota DPR adalah sebagai trustee. Dalam pola hubungan ini, anggota DPR boleh berbeda pendapat dengan konstituennya, demi kepentingan yang lebih luas (baca: general will). Tidak seperti pada model delegate, di mana anggota DPR harus berpendapat sesuai dengan para pemilihnya. Oleh karenanya dapat dikatakan ia seperti robot. Walaupun demikian dalam pola relasi trustee tadi tampak bahwa bukan general will yang dipenuhi, tetapi justru sebaliknya, anggota DPR mengambil langkah mengangkangi kepentingan publik.
Berangkat dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa perlu reorientasi anggota DPR untuk memahami substansi keberadaannya sebagai wakil rakyat. Kehadiran mereka adalah untuk memperjuangkan general will bukan kehendak kelompok tertentu. Dengan memperjuangkan kehendak umum sebagai wakil penerima mandat, maka anggota DPR/D sedang turut mendewasakan demokrasi bangsa ini, sebaliknya ketika DPR/D hanya memperjuangkan kepentingan pihak tertentu saja maka, mereka sedang memandekan demokratisasi yang sedang berlangsung. Artinya, transisi demokrasi Indonesia akan berjalan di tempat atau bahkan dapat hancur dan akan memasuki masa suram di mana akan munculnkembali suatu pemerintahan yang otorter. Tentunya hal ini, tidak kita inginkan. Oleh karena itu, anggota DPR/D kembalilah ke jalan yang benar, setialah kepada tuanmu (rakyat). Karena dengan demikianlah eksistensi DPR/D sebagai wakil rakyat akan bermakna.

                                                                                      ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: