Ketika Ibu Merindukan Kampung Halaman

Oleh :
Anisa Arpan

Angin berderu, mengiringi gerimis yang kembali mampir untuk membasuh sore penuh debu di ibu kota. Saat hujan begini, biasanya tak ada yang lebih menyenangkan dari kegiatan duduk bermalas-malasan di ruang tamu seraya menonton acara gosip ter-update di televisi.

Tapi bagaimana aku bisa bersantai dengan pikiran kalut? Seraya merapatkan sweater, kulirik secangkir kopi hitam pekat di atas meja yang aku yakin hangatnya hampir sirna ditelan waktu. Retinaku beralih ke pemiliknya-seorang wanita berambut putih dengan raut datar yang sejak tadi memalingkan wajah pada bingkai foto lama di sudut ruangan. Beliau adalah Ibuku, yang semingguan panjang ini rupanya masih belum lelah mogok bicara kepadaku.

Suasana ini semakin mencipta canggung. Sejujurnya, aku dan Ibu jarang berselisih paham hingga di suatu sarapan Ibu tiba-tiba menyinggung tentang kerinduannnya pada kampung halaman yang tentu saja berujung pada ajakan pulang kampung, mengunjungi kerabat-kerabat kami di Surulangun, Musi Rawas.

Menanggapi keinginan Ibu, muncul sejumput kekhawatiran dalam diriku. Selain tak bisa meninggalkan pekerjaan, aku tak yakin pada kondisi fisik beliau jika melakukan perjalanan jauh. Maka dengan sehalus mungkin, aku mencoba menolak. Bukan apa-apa, tapi jarak ibu kota ke kampung halaman Ibu tidak bisa ditempuh dengan sekali naik kendaraan. Tahun ini Ibu genap berusia enam puluh tujuh. Usia di mana seseorang mulai banyak menghabiskan waktu untuk duduk dan merenung, dan mungkin juga kembali mengenang kisah-kisah masa lalu, seperti kata Mas Arya-kekasihku.

Aku ingat lelaki yang kesehariannya mengajar Bahasa Indonesia di salah satu sekolah menengah atas itu pernah memberi nasihat perihal hubunganku dengan Ibu.

“Kamu ini aneh,” ujar Mas Arya di suatu pagi sewaktu berpamitan dengan Ibu untuk mengantarku pergi bekerja.

Aku mengernyitkan dahi tanda tak paham.

“Di rumah, bicara sama Ibumu pake bahasa Indonesia, kayak sehari-hari kamu bicara di luaran. Biasanya, orang-orang di lingkungan keluarga itu punya bahasa sendiri. Aku misalnya, kalau sedang kumpul keluarga di rumah, pasti bicaranya pakai bahasa Sunda.”

“Ya, kebiasaan aja, Mas,” ucapku. “Sejak kecil aku cuma diajarin bahasa Indonesia sama Ayah dan Ibu.”

“Tapi kamu bisa dong bahasa daerah Ibumu … er, apa itu?”

“Bahasa Musirawas,”

“Ngomong-ngomong aku kayaknya nggak pernah dengar kamu ngomong pake bahasa itu,” ujarnya.

Aku nyengir. “Yaa kayak Bahasa Palembang. Aku ngerti kalau dengar orang bercakap-cakap. Tapi aku nyerah deh kalau disuruh ngomong.” Aku menggeleng pelan, “Nggak terbiasa sama logatnya.”

“Itu karena nggak dibiasakan,” kata Mas Arya, yang sialnya harus kuakui kebenarannya.

Sejak kecil aku tumbuh di ibu kota, seingatku Ibu tidak mengajari aku bahasa daerahnya. Aku hanya mengetahuinya melalui percakapan beliau dengan anggota keluarga kami yang dulu biasa berkunjung untuk liburan akhir tahun. Namun, seiring waktu berlalu dan keluarga jauh mulai jarang berkunjung, rasanya telingaku hampir tidak pernah lagi menangkap dialek nan khas itu terucap di sekitarku.

Pengetahuanku tentang kampung halaman Ibu juga terbatas. Menimbang hal itu, aku sering sekali menyebut ‘asli orang sini’ mengikuti mendiang Ayah jika orang-orang di kantor pada waktu senggang mulai membahas topik mengenai daerah asal.

“Memang apa bedanya sih bicara Bahasa Indonesia dan bahasa daerah di rumah?” Aku gantian bertanya pada lelaki jangkung di kursi kemudi itu. “Toh sama aja, asal bisa saling mengerti yang diucapkan.”

Mas Arya tampak merenung sebentar sebelum menjawab, “Rena, aku baru kepikiran sesuatu tentang Ibumu.”

Aku menoleh padanya dengan penasaran.

“Tapi, kujawab dulu pertanyaanmu tadi.” Dia melanjutkan. “Aku menyebut bahasa daerah itu sebagai bahasa pelepas rindu. Kita ini hidup di tanah rantau- ibu kota. Nggak jarang di momen-momen tertentu kita rindu tanah kelahiran. Mungkin kamu nggak ngerasain, karena tumbuh dan besar di ibu kota. Tapi, saat jarak dan waktu nggak memberi izin kita untuk merasakan atmosfir tanah kelahiran secara langsung, apa lagi yang lebih baik dari melepas rindu lewat bahasa ibu?”

“Dan … apa hubungannya dengan Ibuku?” tanyaku kemudian.

Mas Arya memutar bola matanya dengan gemas. “Ren, Ibumu ngambek sudah sejak kapan, sih?”

“Semingguan panjang, Mas.” Ada nada sedih dalam kata-kataku, mengingat kembali apa yang dilakukan Ibu hanya memandang pada foto lama yang membingkai momen terakhir kali beliau mudik ke kampung halaman menghadiri empat puluh hari kematian Yai1, sepuluh tahun yang lalu.

“Nggak heran. Anaknya telat mikir kayak kamu, sih!”

Bola mataku melotot. Tapi belum sempat aku memukul pundaknya, tawa Mas Arya berderai nyaring. “Cuma bercanda. Kenapa kamu nggak nurutin keinginan Ibumu kalau itu bisa membuat dia senang?”

Aku kembali mengenyakkan diri ke sandaran kursi. “Aku nggak yakin fisik Ibu masih kuat, Mas. Kampung halaman beliau jauh, jauh di Sumatera sana.”

“Nah, itu!” Mas Arya menjentikkan jari. “Kamu nggak bias bawa Ibumu ke kampung halamannya. Kalau begitu, kenapa nggak kampungnya saja yang kamu bawa ke rumah?”

***

Pukul lima lewat tiga puluh, senja seharusnya sudah muncul di antara puncak gedung pencakar langit. Namun gerimis sore hari masih belum reda, dan Ibu masih tetap termangu seperti sedia kala.

Kata-kata Mas Arya waktu itu kembali lewat di kepalaku. Dia benar, seharusnya aku mulai belajar menggunakan bahasa daerah ketika bercakap dengan Ibu. Kembali kulirik beliau dari balik layar gawai. Aku tidak tahu ke mana pikiran Ibu melayang.

Terbesit perasaan bersalah di hatiku sebab aku tetap pada pendirian untuk tidak mengizinkan beliau pulang kampung. Tapi, sesuai saran pak guru, aku akan membawa kampung halaman Ibu ke rumah kami dan persis saat itulah bel berbunyi nyaring.

Aku menoleh dengan senyum, sementara Ibu terhenyak dari lamunannya.

“Ibu, ada tamu jauh datang berkunjung,” ujarku.

Ibu mengerutkan dahi cukup lama, namun kemudian senyumnya tanpa malu-malu mekar sempurna. Ada air mata yang terjatuh kala dari pintu muncul Bikcik2 Rohma dan Yuk3 Ria. Masing-masing adalah tante dan sepupuku dari kampung halaman Ibu. Keduanya melepas rindu dalam pelukan dan bahasa ibu yang lama tak kudengar kembali bergaung di dalam rumahku.

Sore itu tidak ada senja. Namun menyaksikan terbitnya kembali senyum Ibu yang selesai melepas rindu adalah sore yang menyenangkan bagiku. Kuingatkan diri untuk membujuk yuk Ria yang baru mendapat pekerjaan baru di ibu kota supaya tinggal bersama kami.

Tentang Penulis:
Anisa Arpan
Lahir di bawah langit sore Bumi Rafflesia pada 4 Februari 1999. Gemar menulis fiksi disela perjuangan memboyong gelar sarjana komputer di Universitas Bengkulu. Bisa disapa lewat instagram @anisaarpan atau website pribadinya www.anisaarpan.com.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: