Ketika Kekeringan Melanda (Jatim)

Oryz SetiawanOleh :
Oryz Setiawan, S.KM
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Memasuki puncak musim kemarau yang ditandai dengan fenomena kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Jawa Timur terus bertambah.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mencatat setidaknya 250 desa yang tersebar di 16 kab/kota di wilayah Jawa Timur mengalami kekeringan (Tempo, 16 September 2014).
Mereka (masyarakat) yang terdampak kekeringan harus berjibaku bahkan rela berjalan hingga berkilo-kilometer dan antre berjam-jam demi memperoleh beberapa jurigen air, itupun belum memenuhi syarat air bersih. Droping air bersih bantuan pemerintah setempat tak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan air bersih.
Sebagai provinsi yang sebagian daerah yang memiliki kerentanan atau kerawanan (vulnerability) yang tinggi dan berpotensi mengalami krisis air, Jawa Timur dituntut untuk memiliki sistem penanggulangan kebencanaan dan ketahanan bencana yang merupakan sistem evaluasi, kemampuan sistem dan penyediaan infrastruktur untuk mencegah dan mendeteksi setiap sinyal potensi bahaya yang timbul. Bencana kekeringan bukanlah masalah lingkungan semata (an sich) namun telah bermanifestasi menjadi persoalan serius di pelbagai lini kehidupan masyarakat.
Kekeringan bagian dari peristiwa dan siklus alam berupa pergantian musim serta bagian dari bencana (disaster) dan merupakan dampak dari perubahan iklim global yang disebut El Nino dimana memiliki sifat normal dan selalu berulang pada pola tertentu. Secara karakteristik, kekeringan bersifat slow on disaster yang tidak datang secara tiba-tiba, timbul secara perlahan dan terkadang mudah terabaikan.
Dampaknya baru terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian, kehutanan, perkebunan dan sumber daya airtiba-tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas dan yang paling ekstrim adalah rusaknya sistem tanah sehingga tak termanfaatkan secara optimal yang pada gilirannya berdampak pada kestabilitas ketahanan pangan akibat kegagalan panen (puso).
Prediksi sejumlah pakar bahwa kekeringan akan menjadi “monster” bagi kehidupan manusia yang secara kasat mata, resiko bencana kekeringan akan terus meningkat seiring dengan berkurangnya sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi gantungan hidup masyarakat. Selain itu maraknya bisnis air dan minimnya daya resapan air tanah akibat alih fungsi lahan menjadi pemukiman yang masif juga memperparah kondisi kelangsungan air bersih.
Penyebab lainnya adalah maraknya kebakaran hutan dimana hutan sebagai paru-paru kehidupan. Berbicara tentang air, penulis berupaya mengembalikan pikiran kita pada masa lalu (flashback).  Siapa yang mengira dulu keberadaan air sebagai barang bebas (free product) kini berbalik 180 derajat yang nyaris berubah menjadi barang ekonomis (economi product) yang ditandai dengan peningkatan harga air (kemasan) yang hampir setara dengan harga bensin.
Kondisi itulah yang diperlukan berbagai upaya pembangunan yang berpihak pada kelangsungan air seperti biopori, embung hingga penguatan kelembagaan melalui perangkat aturan seperti UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang didalamnya upaya untuk mengatur system pengelolaan air secara terpadu dan berkelanjutan dalam rangka keseimbangan penyediaan dan pasokan air.
Salah satu bentuk mitigasi struktural untuk mengurangi desa terdampak kekeringan adalah pembuatan embung geomembran dimana satu embung berkapaitas lima ribu meter kubik air atau lima juta liter. Sesuai dengan standar MDGs satu embung bisa dimanfaatkan 2.500 jiwa per hari (asumsi satu jiwa setara dengan 20 liter per hari).
Selain itu secara teknis, dukungan kebijakan melalui serangkaian sosialisasi jadual pola tanam yang mengacu pada musim yang berlaku, konservasi lahan sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai), mengembangkan budidaya hemat air yang membangun sisi ekonomi masyarakat tanpa menyerap banyak cadangan air.
Di tahun 2010 tingkat pemenuhan air bersih yang berkualitas bagi penduduk baru mencapai 47,71 persen dari target 68,87 persen pada tahun 2015. Selain itu program pembuatan biopori yang murah dan ramah lingkungan di terus digalakkan untuk mempertahankan cadangan air tanah melalui proses pelubangan resapan air dalam tanah pekarangan. Dengan biopori diharapkan kemampuan tanah terhadap daya resapan air semakin meningkat serta memperkecil terjadinya aliran air di permukaan tanah.
Mutlak Bagi Kesehatan
Keberadaan air bagi tubuh ibarat udara untuk bernapas yang mutlak dibutuhkan oleh semua makhluk termasuk manusia. Secara fisiologis, proporsi air dalam tubuh mencapai 80 persen dari seluruh berat tubuh manusia yang terdeviasi dalam bentuk darah, enzim, kandungan sel-sel, mikronutrien hingga sistem urinoir (sistem saluran kencing).
Dalam tinjauan kesehatan, krisis air bersih tentu berpotensi menimbulkan berbagai serangan penyakit seperti diare, penyakit kulit, cacingan dan lain-lain yang acapkali terjadi secara komunal dan bersifat massal.
Dampak gangguan kesehatan lain adalah meningkatnya prevalensi penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) sebagai akibat sekunder dari kekeringan seperti debu maupun asap pembakaran yang terhirup ketika kita melewatinya.
Minimnya sumber-sumber air bersih menyebabkan masyarakat akan mencari air seadanya sehingga tak jarang sejumlah air yang diperoleh jauh dari kriteria air bersih terutama dimanfaatkan untuk dikonsumsi. Kondisi tersebut amat rentan terjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) di tengah-tengah masyarakat sehingga menambah probabilitas angka kesakitan dan pada gilirannya akan mengurangi produktivitas masyarakat itu sendiri.
Secara sederhana, keberadaan air juga sebagai media pemutus rantai penularan suatu penyakit terutama yang berhubungan dengan sistem pencernaan manusia (digestivus system) seperti proses mencuci tangan sebelum mengkonsumsi makanan.

                                                          —————————- *** —————————–

Rate this article!
Tags: