Ketika Pendidikan Seperti Pasar

Pendidikan yang MemiskinkanJudul    : Pendidikan yang Memiskinkan
Penulis    : Darmaningnyas
Penerbit  : Intrans Publishing    
Cetakan  : I,  Agustus 2015
Tebal    : 312 halaman
ISBN    : 978-979-3580-80-7
Peresensi  : Muhammad Khambali
Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pegiat di Pustaka Kaji, Jakarta

Menulis buku antologi esai pendidikan Aku Untuk Indonesiaku (2013), buku Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran (2014). Beberapa tulisan dan resensinya pernah dimuat di Koran Tempo, Koran Sindo, Harian Nasional, Solopos, MalangPost, Pikiran Rakyat, Koran Jakarta, Suara karya Warta kota, majalah Diffa, Solider, Kampungnesia, Buletin Kaji dan media lain.
Sekolah terus menjadi pasar. Betapa sekolah, semenjak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi sekadar menjadi pasar untuk meraup keuntungan. Biaya pendidikan yang terus semakin mahal membikin pendidikan mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Darmaningtyas dalam buku Pendidikan yang Memiskinkan menguraikan praktek pendidikan yang melenceng tersebut sudah terjadi semenjak Orde Baru.
Judul buku ini kiranya menggambarkan realitas yang sebenarnya terjadi dalam dunia pendidikan nasional. Kegagalan negara ini dalam memaknai pendidikan menjadikannya justru sebagai proses penyengsaraan masyarakat.
Masuknya produk-produk industri ke dalam institusi pendidikan telah berdampak pada suasana pendidikan nasional menjadi sangat buruk penuh dengan kegiatan bisnis, bukan lagi suasana yang mencerdaskan.
Setiap tutup tahun dan menjelang tahun ajaran baru masyarakat selalu disibukkan untuk mencari uang dan membereskan urusan biaya sekolah anak. Biaya untuk ujian, untuk ulangan umum, uang study tour, uang perpisahan dan seterusnya. Dan sekolah meminta segera melunasi dengan ancaman-ancaman kalau tidak segera membayar (hlm 24).
Lantas Darmaningtyas juga mengkritisi fenomena kehadiran buku-buku di sekolah yang justru memperbodoh dan memiskinkan masyarakat dengan praktek bisnis buku pelajaran. Munculnya bisnis buku pelajaran sekolah dengan menjadikan murid sebagai objek atau pangsa pasarnya.
Siasat bisnis buku ini dilakukan dengan mengharuskan para siswa mengganti buku setiap tahun atau semester. Akibatnya menyebabkan biaya pendidikan Indonesia amat mahal, bukan untuk membayar SPP saja, tetapi untuk membeli buku setiap semester atau tahun. Penerbit buku seolah tidak pernah berpikir tentang beban masyarakat yang amat berat akibat harus membeli buku. Bagi Darmaningtyas, ini terjadi karena orientasi mereka bukan untuk pencerdasan masyarakat, melainkan hanya keuntungan rupiah (hlm 170-174).
Tidak hanya itu saja, mencermati praksis pendidikan nasional selama Orde Baru menyadarkan kepada kita semua betapa suasana sekolah beralih fungsi menjadi seperti pasar. Dimulai dari pengadaan pakaian olahraga, baju sekolah, dan sepatu yang harus seragam (hlm 226).
Suasana sekolah tidak kondusif lagi sebagai proses pembelajaran. Pemberlakuan kurikulum juga mendatangkan bisnis baru yaitu LKS (lembar kerja siswa). LKS menjadi ladang bisnis yang subur karena dipasarkan langsung oleh pihak sekolah-sekolah melalui para guru atau kepala sekolah (hlm 232). Selain itu berbagai lembaga kursus bimbingan belajar, tes IQ, tes minat bakat, dan kursus komputer masuk ke sekolah-sekolah menambah beban berat biaya pendidikan.
Buku ini memiliki pengertian bahwa pendidikan tidak hanya telah memiskinkan secara ekonomis, tetap juga memiskinkan jiwa merdeka kita, apresiasi kita terhadap kehidupan, rasa seni kita, budaya masyarakat maupun bangsa. Memiskinkan pikiran kita, bahkan memiskinkan wacana kita tentang pendidikan itu sendiri.

                                                                                                    ——————– *** ———————

Rate this article!
Tags: