Ketika Penerima Nobel Perdamaian Berbicara Kuliner

Oleh:
Ozik Ole-olang
Mahasiswa rantau berdarah campuran Madura dan Jawa. Mukim di Malang dan kerap menulis di berbagai web.

Nama Rohingya lagi-lagi kembali banyak mampang di sejumlah media massa, baik cetak maupun non-cetak. Tak terlepas pula rakyat jagat maya sibuk memasang ungkapan, gambar, serta meme-meme yang merepresentasikan kepedulian mereka terhadap konflik yang terjadi negara tetangga itu.
Namun apalah daya, suara-suara yang melahirkan empatisme banyak orang hanya akan berakhir pada tatanan psikis semata. Semua akan kembali kepada keputusan pemerintah empunya konflik, yaitu pemerintah Myanmar. Berbagai intruksi dan arahan dari pahak-pihak tertentu sudah diutarakan perihal perdamaian. Namun lagi-lagi hanya sampai pada tataran intruksi tanpa sebuah tindak lanjut. Sekilas, suasana seperti ini adalah dilematis birokrasi. Tidak tahu-manahu akan dianggap kurang peduli, sedang ketika langsung ikut campur maka akan dituding mencampuri urusan orang lain dan kemudian akan melahirkan perseteruan baru.
Konflik Rohingya ini dapat dikatakan konflik yang “go internasional”. Sebab korban yang dihasilkan sudah banyak berceceran kabur untuk mengungsi ke berbagai negara termasuk Indonesia sendiri. Belum lagi pemberitaan sejumlah media yang semakin menyemarakkan fenomena tersebut ke dalam sejumlah benak orang. Masih lagi perihal embel-embel agama yang tersemat dalam konflik itu semakin memperparah keriuhan gunjang-ganjing.
Sudah sekitar lima tahun sejak 2013 sampai sekarang perseteruan kembali meledak dan belum kelar juga. Di tengah kemelut persoalan itu, penerima nobel perdamaian tahun 1991 asal Myanmar malah sibuk mempermasalahkan bantuan yang dikirim ke para korban penindasan di negaranya sendiri. Perempuan yang menjadi icon dan lambang perdamaian ini kemudian banyak menuai kecaman dan kritik.
Pemberian nobel kepada Aung San Suu Kyi mulai dipertanyakan. Pasalnya, negara dengan prestasi salah satu penduduknya yang membumi perihal perdamaian itu tidak mampu menyelesaikan ketidakadilan antar suku dan ras di negaranya sendiri. Lantas nobel penghargaan hanya sebagai buah pencapaian dan prestasi semata, sehabis penobatan disematkan lalu tidak memberi kontribusi apa-apa.
Belakangan ini, prestasi dan nama besar Suu Kyi mulai diuji dengan tindakannya yang kemudian bernuansa kulinaris. Sebagai seorang yang menduduki kursi tertinggi pada pemerintahan Myanmar bahkan dapat dikatakan berada di atas presiden, kebijakan Suu Kyi yang melarang pemasokan bantuan biskuit WFP (World Food Programme) ke wilayah Rihingya menuai pro dan kontra.
Biskuit yang dijadikan sebagai bantuan kemanusiaan untuk para penduduk Rohingya adalah pasokan bantuan logistik yang berasal dari INGO (International Non-Govermental Organization) atau semacam organisasi non-pemerintah internasional. Bantuan itu dinilai pemerintah Myanmar sebagai pasokan untuk para pemberontak dan teroris yang bersembunyi di daerah Rakhine sebagai daerah yang banyak dihuni oleh etnis muslim Rohingya.
Di tengah kemelut konflik internal negaranya sendiri ini, Sang peraih nobel perdamaian di tahun 1991 itu malah menyoroti kuliner alias makanan yang ditujukan ke pada korban-korban yang berjatuhan dengan landasan bahwa ada dugaan kuat atas bersembunyinya kelompok yang akan melawan pemerintah Myanmar di Daerah tersebut. Padahal belum tentu semua warga Rohingya kesemuanya adalah kaum fundamentalis atau pemberontak. Imbas yang terjadi adalah banyak dari sekian warga dan anak kecil yang terpaksa mengkonsumsi makanan seadanya.
Kondisi yang dilematis pada diri Suu Kyi kiranya semakin membingungkan. Di satu sisi, Suu Kyi sebagai aktivis politik salah satu partai yang sekarang masif dan memenangkan perpolitikan pada 2015 lalu seakan menjaga imej dari tekanan etnis mayoritasnya di tengah sikap pemerintah Myanmar yang tidak menghendaki eksistensi etnis minoritas Rohingya. Di sisi lain, beban pretasi yang tersemat pada dirinya beberapa tahun lalu juga pastilah menuntut dirinya untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan tanpa berpihak pada etnis mana pun. Namun sampai sekarang, setelah banyak pemberitaan yang mengabarkan banyaknya korban berjatuhan di wilayah Rakhine adalah bukti bahwa sikap dan keputusan Suu Kyi masih belum bisa dikatakan sukses dalam penyelesaian konflik. Lebih-lebih masih saja berkesan membela entis mayor dan mengkerdilkan etnis minor.
Bagaimana pun keadilan dan kemanusiaan haruslah melampaui ego sektarian dan kelompok. Suu Kyi lagi-lagi diuji tekanan internal identitas dirinya sebagai kelompok mayor dan tekanan eksternal berupa kecaman dan intruksi politik dari luar. Banyak pihak yang sensi dengan sikapnya itu. Beberapa tokoh dalam pemberitaan menyatakan dengan tegas bahwa penghargaan nobel perdamaian harus dicabut dari diri Suu Kyi. Tak terlepas juga di Indonesia.
Sebagai negara terluas se-ASEAN,  banyak warga internasional yang mengharapkan Indonesia bisa turut membantu menyelesaikan konflik Rohingya ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah harapan satu-satunya untuk masalah internasional di Myanmar. Sebab dari beberapa pemerintah negara yang menyuarakan kepedulian pada etnis Rohingya hanya kementrian Indonesia-lah sementara ini yang bisa melakukan diplomasi internal secara langsung dengan Aung San Suu Kyi.
Melihat dari akar sejarah konflik yang membuat sikap pemerintah Myanmar dituding anti-Rohingya, berdasarkan salah satu koran nasional sejatinya adalah masalah geopolitik. Sebelum menjadi Myanmar, negara tersebut bernama Burma. Ketika itu etnis Rohingya memang sudah mendiami kerajaan Arakan yang sekarang dikenal dengan Rakhine. Mereka mulai mengenal Islam sebab dalam kesehariannnya selalu berinteraksi dengan para pedagang Arab. Sampai suatu ketika raja Burma Bodawpaya menaklukkan Arakan (daerah Rakhine) banyak pengungsi yang melarikan diri ke Bengal (daerah Bangladesh). Kemudian Inggris menjajah Burma. Lambat laun usaha Inggris dicekal oleh Jepang dan wilayah kolonialnya diambil kuasa. Setelah itu Inggris lantas membebaskan Burma dari Jepang dan melakukan pemerdekaan bersama pejuang Burma dan Rohingya. Burma mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka dengan nama baru yaitu Myanmar.
Namun kemerdekaan Myanmar menyisakan sebuah kecemburuan pada pihak Rohingya yang dikarenakan mereka merasa kurang diberi otonomi atas daerahnya sendiri. Ketegangan pun muncul antara Rohingya dan pemerintah Myanmar. Organisasi-organisasi perlawanan mulai muncul. Sampai pada saat ketika pemerintah Myanmar mengesahkan sebuah UU imigrasi yang menyatakan bahwa semua yang bermigrasi di era kolonialisme Inggris diangggap imigran ilegal, utamnya etnis Rohingya. Banyak dari mereka yang mengungsi dan kabur menghindari penindasan itu. Namun pada tahun 1992 berdasarkan sebuah kesepakatan lantas banyak warga Rohingya kembali ke Myanmar. Ketegangan sektarian kembali tersulut di tahun 2012 yang menghasilkan ratusan korban, lagi-lagi mayoritas adalah warga Rohingya. Sampai sekarang pun nama Rohingya kembali mendapat sorotan internasional.
Dalam keadaan yang merusak kemanusiaan ini, akankah sikap yang diambil Suu Kyi dapat menyelesaikan konflik yang menyebabkan banyak warga Rohingya terlunta-lunta tanpa kewarganegaraan dan berceceran ke mana-mana? Atau kebijakan yang diputuskan hanya akan memihak pada etnis dan kelompok tertentu? Pada intinya, masalah kemanusiaan dan keadilan patutnya melampaui kepentingan dan ego kelompok juga sektarian.
Sebagai negara yang terbesar se-ASEAN, Indonesia patutnya menjadi penengah dan mediator terdepan ketika melihat negara-negara tetangganya sedang dilanda konflik internal yang kemudian “go internasional”. Pada akhirnya, berdiam diri dan bersikap netral di tengah permasalahan seperti ini muncul adalah sikap yang tidak bisa dibenarkan dan akan terus memperparah masalah.
Sejumlah dukungan dan suara sangatlah berarti bagi warga Rohingya. Berbagai upaya baik dalam bentuk formal literatif yang banyak dilakukan oleh para penulis ataupun simbolisme teatrikal yang juga banyak dilakukan oleh organisasi tertentu, tak luput usaha diplomatik politis yang dilakukan pemerintah, juga kepedulian-kepedulian lain yang lebih sederhana banyak diupayakan dan disuarakan. Namun seberapa lantang dan kritis teriakan kita sebagai warga biasa yang bukan pula warga negara Myanmar tetap akan kalah pada kebijakan dan putusan sang penerima nobel perdamaian itu walau yang dia suarakan hanya perihal makanan atau kuliner.
Pada akhirnya, sebagai orang biasa kita akan terpojok dan hanya bisa berharap serta mengandalkan tuhan.
Sekian, Wallahu a’lam.

                                                                                                      ———————— *** ———————–

Tags: