Ketimpangan dan Kebijakan Daerah

Mahathir M IqbalOleh:
Mahathir M Iqbal
Staf Pengajar Pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Ketimpangan pendapatan antar warga terus meningkat hingga 14 tahun elaksanaan otonomi daerah. Bank Dunia dalam laporan bertajuk Indonesia’s Rising Divide mencatat, sepanjang 2003 hingga 2010 pertumbuhan konsumsi 10 persen penduduk terkaya meningkat 6 persen setiap tahun. Kondisi itu bertolak belakang dengan konsumsi 40 persen penduduk termiskin yang hanya mampu meningkatkan konsumsi sepertiganya (2 persen) per tahun. Situasi tersebut menghasilkan kesenjangan distribusi pendapatan antarwarga (koefisien Gini).
Bank Dunia menjelaskan empat penyebab semakin melebarnya perbedaan pendapatan antar penduduk. Pertama, perbedaan peluang di luar kendali individu, karena nasib dan pendidikan orang tua. Faktor lain secara berurutan adalah kesenjangan keterampilan antar tenaga kerja, ketimpangan kepemilikan aset keuangan (properti atau saham), serta kesenjangan kesiapan dalam menghadapi perubahan tiba-tiba (guncangan) yang berpengaruh pada kemampuan memperoleh pendapatan dan investasi (kemampuan investasi pendidikan dan kesehatan).
Guna mereduksi jurang perbedaan pendapatan antarwarga, daerah sejatinya bisa ikut andil menempuh langkah solutif. Salah satunya melalui kebijakan alokasi anggaran yang efektif atau berfokus pada penyebab munculnya jurang pendapatan. Jalan keluar itu memungkinkan untuk dilakukan, mengingat kecenderungan kebijakan dana transfer ke daerah yang meningkat tiap tahun. Dalam kurun lima tahun (2011-2015), kenaikan dana transfer mencapai rerata 15,28 persen per tahun. Pada 2011, dana transfer daerah baru mencapai Rp 412,51 triliun. Pada 2015, angka tersebut melonjak hingga Rp 664,6 triliun.
Dalam jangka panjang, daerah bisa berkontribusi dalam mendorong peningkatan angka partisipasi pendidikan, khususnya SD hingga SMA/sederajat.
Daerah mesti berkomitmen meningkatkan alokasi anggaran pendidikan untuk semakin meningkatkan keterjangkauan akses pendidikan bagi semua warga. Sayang, peningkatan alokasi anggaran pendidikan belum memadai. Dalam kurun yang sama (2011-2015), rerata kenaikan alokasi anggaran pendidikan kabupaten/kota dan provinsi hanya mencapai 0,51 persen. Rerata alokasi 2015 mencapai 35,55 persen dari total APBD.
Sementara itu, peningkatan alokasi anggaran kesehatan masih lebih baik, yakni mencapai rerata 0,91 persen per tahun. Pada 2015, alokasi anggaran kesehatan kabupaten/kota dan provinsi mencapai rerata 13,04 persen dari total APBD. Tidak demikian halnya dengan komitmen kebijakan keluarga berencana dan keluarga sejahtera yang sangat minim. Pada 2015, kabupaten/kota dan provinsi hanya mengalokasikan rerata 0,39 persen. Sementara itu, rerata kenaikan alokasi per tahun hanya 0,015 persen.
Meskipun demikian, peningkatan anggaran belum sepenuhnya meringankan biaya pendidikan dan kesehatan. Peningkatan belanja pendidikan dan kesehatan masih dibarengi fluktuasi pengeluaran per kapita per bulan untuk biaya kesehatan dan pendidikan (lihat tabel). Ironisnya, alokasi anggaran lain yang terkait langsung dengan upaya-upaya mengurangi kesenjangan pendapatan sangat kecil. Kecuali untuk bidang pertanian, alokasi APBD bidang sosial, ketenagakerjaan, koperasi, dan UMKM hanya kurang dari 1 persen.
Berkaca dari data-data tersebut, komitmen kebijakan anggaran untuk pelayanan publik yang relevan dengan pengurangan ketimpangan saja tak cukup. Perlu upaya keras untuk meminimalkan efek dominasi elite daerah dalam penganggaran.
Lembaga eksekutif, legislatif, dan birokrasi daerah perlu dimonitor saat menjalankan mandat perwakilan rakyat dalam penganggaran. Tujuannya, mereka mampu menjelaskan dan menjawab pertanyaan seputar pilihan-pilihan kebijakan alokasi anggaran. Untuk itu, praktik penganggaran partisipatif perlu dipertimbangkan agar anggaran semakin sesuai dengan kebutuhan dan permintaan publik.
Daya Ungkit Perubahan
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) pernah melakukan studi kasus membandingkan kinerja pembangunan manusia sembilan kota di Jawa Timur (Jatim) awal 2015. Hasilnya, APBD bukan faktor paling dominan berkontribusi kepada perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM). Sebaliknya, kemampuan masyarakatlah yang lebih berperan.
Kesimpulan tersebut tampak dari perbandingan capaian IPM Kota Blitar dengan delapan kota lainnya, khususnya Malang dan Surabaya. Berdasar analisis keuangan daerah, warga Kota Patria itu cukup dimanjakan melalui alokasi APBD yang besar. Sepanjang 2011 hingga 2014, APBD per kapita Kota Blitar lebih tinggi daripada rerata kota di Jatim.
APBD per kapita pendidikan Kota Blitar pada 2011 (Rp 1.252.950) lebih tinggi 50,64 persen ketimbang rerata kota di Jatim. Pada 2014, alokasi serupa tetap tinggi, mencapai Rp 1.792.510 atau lebih tinggi 43,75 persen daripada rerata kota di Jatim.
Di luar anggaran pendidikan dan kesehatan, alokasi APBD 2014 untuk bidang sosial, pemberdayaan masyarakat, dan perindustrian Kota Blitar lebih besar pula daripada rerata kota di Jatim. Namun, alokasi lebih kecil tampak untuk anggaran bidang koperasi, UMKM, dan perdagangan.
Input pembangunan yang menonjol lainnya terlihat dari rasio PNS dan penduduk yang lebih kecil. Pada 2013, rasio PNS Kota Blitar sebesar 32,9. Angka tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Surabaya (151,6) dan Kota Malang (87,3). Rasio tersebut hampir sepertiga dari rerata kabupatan (97) dan seperdua dari rerata kota (58,3) di Jatim.
Meskipun demikian, IPM Kota Blitar (78,31) tidak lagi menempati peringkat pertama di Jatim sejak 2012. Kota Malang (78,43) dan Kota Surabaya (78,33) menyalip posisi IPM tertinggi pertama dan kedua. Maknanya, alokasi lebih besar per kapita pendidikan dan kesehatan dan rasio kecil PNS berbanding penduduk di Kota Blitar tidak efektif mendorong perbaikan IPM lebih tinggi.
Faktor lain yang bisa menjelaskan ternyata terletak pada tingkat pendapatan warga. Di Surabaya dan Malang, penduduk dengan pengeluaran per kapita lebih dari Rp 750.000/mencapai masing-masing 52,62 dan 47,65 persen pada 2013. Golongan pendapatan yang sama di Kota Blitar hanya mencapai 31,13 persen. Asumsinya, warga Malang dan Surabaya relatif lebih independen terhadap APBD dan kemampuan mereka membiayai pengeluaran pendidikan dan kesehatan lebih baik.
Walhasil, bila diasumsikan kesadaran warga tinggi, pilihan kebijakan terbaik bagi daerah ialah meningkatkan alokasi APBD pada sektor-sektor di luar pendidikan dan kesehatan. Khususnya, bidang pembangunan yang berorientasi kepada peningkatan pendapatan dan distribusi pendapatan warga.

                                                                                                     —————- *** —————-

Rate this article!
Tags: