Ketok Palu, Tak Ada Peluang Nikah Beda Agama di Indonesia

Oleh :
Gandhung Fajar Panjalu
(Pengajar Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya)

.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya” demikian kata Anwar Usman, Hakim Ketua sekaligus anggota pada sidang pengucapan putusan perkara nomor 24/PUU-XX/2022 tentang Uji Materi (Judicial Review) terhadap Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974.
Materi yang diuji dalam perkara tersebut adalah terkait pernikahan beda agama. Putusan terhadap perkara dibacakan pada hari Selasa, 31/1 pukul 11.48 oleh delapan hakim konstitusi. Dalam konklusinya, majelis hakim berpandangan bahwa pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Uji materi tersebut diajukan oleh Ramos Petege, seorang pemeluk agama Katolik. Ia gagal menikahi seorang perempuan pujaan hatinya yang beragama Islam setelah menjalani hubungan selama 3 (tiga) tahun.

Pasang Surut Uji Materi UU Nomor 1 Tahun 1974
Sejak ditetapkan pada 2 Januari 1974, undang-undang perkawinan telah beberapa kali dilakukan uji materi. Namun tercatat, tidak banyak uji materi yang dikabulkan oleh Mahkamah Konsitusi.
Uji materi yang pertama kali dikabulkan adalah putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap pasal 43 ayat 1, berkaitan dengan kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Yang kedua terjadi pada putusan MK nomor 69/PUU/XIII/2015 terhadap pasal 29 ayat 1, berkaitan dengan perjanjian perkawinan. Yang terakhir adalah putusan MK nomor 22/PUU-XV/2017 terhadap pasal 7 ayat 1, berkaitan dengan usia perkawinan.
Sementara itu, uji materi yang berkaitan dengan nikah beda agama juga pernah dilakukan sebelumnya, melalui perkara nomor 68/PUU-XII/2014 dan tidak dikabulkan oleh MK.

Fenomena Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Meskipun tidak ada payung hukum yang memperbolehkannya, pada kenyataannya nikah beda agama cukup banyak terjadi di tanah air. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), terdapat 1.425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia dalam kurun waktu 17 tahun terakhir.
Di Surabaya, misalnya, Hakim Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan putusan nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby berisi mengabulkan permohonan RA yang beragama Islam dan EDS yang beragama Kristen untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kotamadya Surabaya. Padahal sebelumnya, keduanya telah mengajukan permohonan pencatatan perkawinan di Dispendukcapil Kota Surabaya dan kemudian ditolak dengan alasan berbeda agama.
Kembali pada putusan MK di atas, Hakim Suhartoyo dalam concurring opinion-nya mengungkap adanya praktik “penyelundupan hukum perkawinan”, yakni dengan melakukan perkawinan di luar negeri dan didaftarkan melalui dispendukcapil di wilayah tinggalnya, manipulasi agama dengan berpindah agama sementara agar perkawinannya mendapatkan akta nikah, serta mengajukan permohonan penetapan pengadilan untuk melangsungkan perkawinan beda agama sekaligus pencatatan perkawinan. Ini terlihat sebagaimana pada putusan hakim PN Surabaya tentang perkawinan RA dan EDS. Hakim Daniel juga menambahkan adanya fenomena menikah dua kali yakni perkawinan pertama mengikuti agama dari calon suami, lalu perkawinan kedua mengikuti agama calon istri.

Perkawinan Beda Agama dalam perspektif HAM dan Perundang-undangan
Salah satu pertimbangan yang mencolok dalam pembacaan putusan perkara di atas adalah perbedaan kedudukan nikah beda agama dalam dalam perspektif Hak Asazi Manusia dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Pada pasal 16 ayat 1 Universal Decalaration of Human Rights (UDHR), disebutkan bahwa “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”, atau diterjemahkan bahwa “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, tidak dibatasi dengan kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.
Hal tersebut tentu berbeda dengan rumusan pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Menurut majelis hakim, perkawinan yang sah menjadi prasyarat tercapainya hak untuk membentuk keluarga serta hak untuk melanjutkan keturunan.
Majelis hakim memandang wajibnya keabsahan perkawinan dengan mengutip kaidah fikih “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban, maka hukumnya wajib. Sementara itu, keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh masing-masing agama yang dianut seseorang. Lagi-lagi, hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama, namun demikian Indonesia merupakan negara yang berlandaskan agama sehingga peraturan administratif yang diberlakukan pada masyarakat harus tetap berlandaskan pada aturan agama.

Pencegahan Perkawinan beda agama
Perkawinan merupakan aktifitas multidimensi dan tidak hanya terikat dengan dimensi seksual semata. Ia juga memiliki dimensi sosial, di mana antar individu maupun keluarga yang terhubung melalui perkawinan memiliki peran sosial satu sama lain. Peran sosial ini dilindungi oleh hak asazi manusia dan dapat dilakukan oleh siapapun tanpa ada batasan suku, ras maupun agama.
Terkait hubungan sosial ini, tentu yang memiliki hubungan sosial lebih kuat adalah jika dilakukan oleh dua orang dengan agama yang sama. Dalam Islam, hal tersebut dikenal dengan konsep kafa’ah (se-kufu), yakni kesamaan sosio-kultural antara dua orang yang hendak melangsungkan perkawinan.
Hal yang tak kalah penting adalah bahwa perkawinan juga memiliki dimensi spiritual. Perkawinan menjadi sebuah jenis kegiatan yang memiliki nilai ibadah. Maka tentu saja keberlangsungan suatu perkawinan harus didasarkan pada persyaratan yang diatur oleh majelis keagamaan masing-masing.
Penting untuk memahami kesatuan relasi antara dimensi seksual, dimensi sosial dan dimensi spiritual tersebut. Apabila hanya mengedepankan dimensi seksual semata, maka tak ubahnya dengan perilaku hewani yang hanya mengejar kepuasan saja. Apabila hanya melihat dimensi seksual dan sosial semata tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual, niscaya perkawinan yang dilakukan tidak bernilai ibadah serta tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adanya putusan MK yang menolak permohonan uji materi sebagaimana di atas menjadi pendorong bagi seluruh pihak untuk terus melakukan tindakan promotif guna meningkatkan kualitas keluarga, salah satunya dengan membentuk ikatan perkawinan dengan pasangan yang seagama. Harapannya, tentu agar institusi keluarga yang disusun menjadi keluarga yang berkualitas, sejahtera dan bahagia tidak hanya pada kehidupan duniawi semata, namun juga pada kehidupan setelah manusia meninggalkan dunia ini atau kehidupan akhirat kelak.

———– *** ————

Tags: