Ketrampilan Nalar Lebih Dibutuhkan Pendidikan Abad 21 dan Industri Era 4.0

Foto: ilustrasi

Belum Terapkan 4C, Nilai Pendidikan Vokasi Tak Ubahnya BLK
Surabaya, Bhirawa
Pendidikan abad 21 menjadi tantangan serius bagi stakeholder pendidikan dan pemangku kepentingan terkait. Menurut pengamat kebijakan pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof Muchlas Samani, tantangan pendidikan abad 21 akan sangat dirasakan bagi pendidikan vokasi.
Pasalnya, kebutuhan di masa mendatang akan beralih pada keterampilan nalar. Karena pekerjaan – pekerjaan yang sifatnya replika akan diambil oleh kecanggihan teknologi. Bahkan, kemampuan yang memerlukan ketelitian pun, juga akan tergerus akan kecanggihan teknologi.
“Yang tidak bisa diambil adalah kemampuan menganalisis baik teknis atau problem yang dihadapi. Jadi vokasi kedepan bukan yang membutuhkan keterampilan tangan. Tapi hanya keterampilan nalar yang diimbangi dengan belajar dan bernalar,” ujar pria yang pernah menjabat Rektor Unesa Periode 2010-2014 ini.
Saat ini, kata Prov Muchlas, hal itu pun mulai nampak. Misalnya saja, seperti service motor atau service mobil. Di mana tidak ada lagi komponen yang direvisi. Yang ada hanya analisa kerusakan. Jika ada yang tidak bagus langsung ganti.
“Dulu saat era 90-an di sekolah pakai kabulator dan sekarang diganti sama injektor. Jadi kemampuan belajar spare part baru ini yang penting. Dalam referensi kapasitas belajar teknologi yang baru,” jelas dia.
Di Jawa Timur, sendiri jurusan – jurusan itu mulai terlihat. Seperti jurusan 3D printing yang mulai masuk di pendidikan vokasi. Karena ke depan data proses dan kemampuan membaca data menjadi penting.
“Di pendidikan abad 21 nanti, jurusan akan cepat berubah sesuai kebutuhan, tuntutan dan tantangan di eranya. Teknologi akan berubah dengan cepat sehingga bidang-bidang yang tidak selaras dengan kebutuhan di era tersebut juga akan menjadi cepat berubah,” pungkasnya.
Sementara itu, Pembina Dewan Pendidikan Jawa Timur, Prof Zainudin Maliki menegaskan, jika pendidikan vokasi saat ini tak ubahnya seperti Balai Latihan Kerja. Pasalnya, ia melihat memasuki pendidikan abad 21 dan era revolusi industri 4.0 pendidikan vokasi di Indonesia belum menerapkan atau mengajarkan berpikir kritis dan pemecah masalah.
“Jadi jangan hanya diajari vokasi saja tapi ajari berpikir kritis dan memcahkan masalah.” ujar pria yang juga pengamat pendidikan ini.
Kedua, lanjutnya pembekalan leadership (kepemimpinan). Hal itu, akan berpengaruh pada saat memasuki dunia industri. ”Di titik vokasi dia mampu bikin barang. Tapi kalau nggak ada pembekalan leadershipnya ini akan jadi tukang. Tapi kalau diberi jiwa leadership mereka akan menggunakan vokasinya untuk membawa kebaikan bersama,” jelas dia.
Lebih lanjut, ada kemampuan membangun jaringan, kolaborasi dan sinergi. Unsur – unsur itu menurut dia sangat penting sebagai modal kesuksesan pendidikan vokasional di era pendidikan abad 21 dan era revolusi industri 4.0.
“Belum (diterapkan 4C) ini. Vokasi kita masih membikin tak ubahnya BLK (Balai Latihan Kerja). Dan kalau kita hanya ingin mendidik anak-anak menguasai kemampuan 4.0 dan menghitung big data segala macam tidak usah membikin sekolahan. Bikin BLK saja,” tegas dia.
Sebab, sambungnya, sekolah mendidik manusia berkepribadian untuk mempunyai pribadi yang bisa dipercaya tinggi dan punya kemampuan vokasional yang baik baru akan sukses.
“Vokasi ini dibutuhkan. Tapi jangan lupa memberi mereka (siswa, red) modal sosial capital. Yang dibangun anak – anak didik kita menjadi anak dipercaya ini dulu. Vokasi direduksi hanya kemampuan membikin barang. Bisa membikin robot, menghitung data. Dikira kalau bisa menghitung data menguasai data statistic kemudian bisa sukses? Tidak. Salah (presepsi) itu. Dengan menguasai data tanpa modal sosial pendidikan vokasi tidak akan sukses,” tegasnya. [ina]

Tags: