Ketupat ‘Perdamaian’ Satukan Umat Beragama

Mahasiswa lintas suku dan agama membuat ketupat bersama di Universitas Muhammadiyah Surabaya.[adit hananta utama/bhirawa]

Mahasiswa lintas suku dan agama membuat ketupat bersama di Universitas Muhammadiyah Surabaya.[adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Tragedi pembakaran masjid di Tolikara, Papua menjadi perhatian sekaligus keprihatinan mahasiswa lintas suku, agama dan ras dan bahkan negara di sejumlah kampus di Surabaya. Diantaranya di Universitas Muhammadiyah (UM) dan Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya.
Mahasiswa punya cara untuk mengingatkan kembali dan menjaga kerukunan antarumat beragama. Seperti di UM Surabaya, mahasiswa menggelar Aksi Ketupat Damai Tanpa Kekerasan dan Diskriminasi, di areal kampus di kawasan Sutorejo itu.
Mereka mengatasnamakan Mahasiswa Islam-Kristen UM Surabaya untuk Perdamaian. Selain diikuti mahasiswa UM dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa, juga ada mahasiswa asal Hochinmin, Vietnam.
“Merangkai selongsong ketupat, dan makan ketupat bersama ini menunjukkan meski beda suku, agama dan bahkan negara, kami yang di UM ini mampu menunjukkan kebersamaan, kerukunan Indonesia,” tutur Ilmin Nasifah, mahasiswi semester V, Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Prodi Pendidikan Biologi ini.
Edy Sahabudin, mahasiswa semester VIII, FKIP, Prodi Matematika berharap insiden Tolikara tidak terulang kembali. “Jangan ada lagi kejadian seperti Tolikara lagi,” harap mahasiswa asal Larangtuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Lain halnya dengan Minh  Thi asal Hochimin, Vietnam. Dia kuliah di FKIP, Prodi Sastra Indonesia UM Surabaya melalui program Dharmasiswa selama satu tahun. Minh Thi mengaku senang dan setuju dengan aksi bersama rekan-rekannya untuk menjaga kerukunan. Dia juga suka dengan ketupat yang dianggapnya sama dengan lontong.  “Di Vietnam ada makanan seperti lontong, namanya banh tet, dari beras juga. Di dalam banh tet ada isinya, bisa daging dan lainnya,” kata Minh.
Rektor UM Surabaya Dr Sukodiono mengungkapkan, ketupat sebagai lambang menghaturkan kalepatan (kesalahan) dalam masyarakat Jawa. “Melalui kegiatan ini diharapkan terbangun sikap tengang rasa pada semua tanpa melihat agama. Sikap tenggang rasa harus dikedepankan, dan keterbukaan juga dikedepankan dengan memaafkan. Kalau tenggang rasa bisa dipahami Insya Allah kehidupan rukun dan damai,” kata Suko, sapaannya.
Aksi damai mahasiswa di Unitomo juga digelar bersamaan halal bihalal. Rektor Unitomo Bachrul Amiq mengaku aksi ini dimotori mahasiswa lintas suku untuk kedamaian di Indonesia, utamanya di kampusnya.
“Ada perwakilan mahasiswa asal Papua di Unitomo hadir. Perwakilan mahasiswa asal Papua menyampaikan maaf atas terjadinya peristiwa Tolikara,” kata Amiq.[tam]

Tags: