Keuntungan Perajin Tahu Turun 20 Persen

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Seperti kejadian yang berulang-ulang, fluktuasi kenaikan harga kedelai impor dan kedelai lokal telah menggerus industri makanan berbahan baku kedelai, seperti tahu dan tempe yang merupakan industri berbasis rumah tangga.
Namun naiknya harga kebutuhan pangan masyarakat Indonesia ini, tak pernah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Tak jarang banyak pengusaha tahu dan tempe di Indonesia harus menutup usahanya, lantaran pemiliknya sudah tak mampu membeli bahan baku.
Hal ini diungkapkan Muhammad Arifin, pengrajin tahu di daerah Tenggilis Lama, setiap tahun pengrajin tahu selalu dihadapkan ketidakpastian harga kedelai. Penyebabnya, pemerintah tak menginisiastif masyarakat untuk melakukan penanaman kedelai lokal atau pemerintah dapat menyediakan bibit kedelai Amerika supaya bisa di kembangkan di Indonesia. Sehingga dapat mengurangi impor kedelai asal Amerika yang memang terkenal memiliki kualitas yang bagus.
‘’Rata-rata pengrajin tahu di Surabaya, memang memanfaatkan kedelai impor asal Amerika. Karena kualitasnya memang lebih baik dari kedelai lokal. Dengan kondisi uang kita yang kalah dengan dolar, dengan terpaksa harga impor kedelai menjadi mahal. Dahulu pas harga kedelai impor naik, paling ukuran yang diperkecil. Tetapi sekarang berbeda, kami mencampur dengan kedelai lokal dengan perbandingan 60% kedelai impor dan 40% kedelai local,’’ ujarnya, Minggu (20/9) kemarin.
Arifin melanjutkan, dengan menggabungkan antara kedelai impor dan lokal memang ada sedikit perubahan rasa. Karena kedelai lokal, memang memiliki rasa kecut-kecutnya. Mungkin bisa karena jenis tanah tempat menanam yang sangat mempengaruhi kualitasnya. Tetapi jika harus mengambil, langkah mengurangi ukuran dapat di pastikan produk tahu yang dijualnya tak bakal laku.
‘’Dengan menjual tahu sesuai ukuran sebelum kedelai naik, kini kami sudah mengalami pengurangan keuntungan sebesar 20%. Karena jika harus memaksakan dengan menaikkan harga, penjual tahu keliling pasti tak akan mengambil di tempat kami. Yang terpenting bagaimana produksi bisa berjalan terus, meskipun bayang-bayang berhenti beroperasi itu tetap ada seperti tahun 2013 lalu,’’ jelasnya.
Arifin juga menyebutkan, harga kedelai impor yang semula Rp6.700 per kilogram naik menjadi Rp8.100per kilogram, dan kedelai lokal yang semula Rp6.200 sekilogramnya naik menjadi Rp6.600 per kilogram. Meski demikian, katanya, tingkat penjualan produksi tahu dan tempe di daerahnya masih tetap stabil. Ia mencontohkan dirinya masih mampu menjual tahu dengan bahan kedelai 1,5 kuintal dan tempe 25 kilogram per hari.
‘’Kalau harga kedelai impor menyentuh harga Rp10 ribbu per kilogram, saya lebih baik untuk menghentikan produksi sementara waktu. Karena dengan harga kedelai impor semahal itu, bisa-bisa harga tahu bisa naik dan ukuran untuk diperkecil lagi sudah tidak layak. Dapat apa, kalau ukurannya diperkecil tentu pembeli akan mengalihkan ke bentuk lain seperti jagung,’’ tutupnya. [wil]

Tags: