Kezaliman (Pembuat) UU Pemilu 2019

(Kapasitasi TPS Menjadi Beban Kerja Overload)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Meninggalnya petugas pemilu disebabkan beban kerja terlalu berat, merupakan kezaliman. Dapat dianggap sebagai kelalaian pembuat undang-undang. Tidak memperhitungkan beban kerja pemungutan dan penghitungan suara terhadap lima surat suara sekaligus. Sebanyak 300 lebih petugas pemilu meninggal akibat kelelahan bekerja. Sebanyak 1.500 petugas lainnya dirawat, karena sakit ringan dan berat. Juga korban jiwa anggota Kepolisian yang mengawal distribusi dan pengamanan Pemilu.
Semuanya bermula dari “keserentakan” pemilu (pemilihan presiden, dan pemilihan legislatif), berdasar penetapan MK (Mahkamah Konstitusi). Dengan lima surat suara yang dicoblos, KPPS harus seksama memperhatikan titik coblos pada tiap lembar. Duka mendalam dalam tugas kenegaraan, tidak cukup hanya dengan pemberian santunan. Melainkan perlu pengakuan “tanda jasa,” serta tunjangan keluarga yang ditinggalkan.
Perihal KPPS diatur UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Tugas dan kewenangan diatur pada pasal 59 hingga 62. Ditambah KPPSLN (luar negeri) pasal 67 hingga pasal 70. Sedangkan kinerja KPPS (dan KPPSLN) dirinci dalam pasal 351 hingga 371. Juga masih terdapat pasal “kinerja khusus” perhitungan suara di TPS, mulai pasal 382 hingga pasal 390. Berisi 44 ayat, sangat rinci, dan detil.
Kinerja KPPS, khusus peghitungan suara hasil coblosan, diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pada pasal 382 hingga pasal 390. Pada pasal 389 ayat (1) dinyatakan, “Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertilikat hasil penghitungan suara pemilu dengan menggunakan format ….” Sertifikat hasil penghitungan suara, tak jarang dibuat setelah perdebatan sengit dengan saksi parpol.
Pada ayat (2) juga diwajibkan penerbitan berita acara pemungutan dan penghitungan suara, ditandatangani oleh saksi peserta pemilu (dari parpol). Pada pasal 390 ayat (2), dinyatakan, “KPPS wajib memberikan I (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas TPS, PPS, dan PPK melalui PPS pada hari yang sama.”
100 Pemilih Per-TPS
Sedangkan kotak suara, diatur pada pasal 390 ayat (5). Dinyatakan, “KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan perolehan suara kepada PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama.” Usai menyerahkan kotak suara, tugas KPPS belum selesai. Berdasar pasal 389 ayat (4), berita acara yang telah diserahkan wajib disimpan sebagai dokumen negara.
Permasalahan keserentakan pemilu berhulu pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Khususnya pasal 350 ayat (1), yang menyatakan, “Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus) orang.” Peraturan dalam undang-undang tidak selalu benar. Sudah banyak yang dibatalkan oleh MK melalui uji materi. Begitu pula pasal 350 ayat (1) UU Pemilu, berpotensi ke-tidak nyaman-an, sampai musibah yang sangat perih.
Pasal 350 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, sangat patut direvisi. Begitu pula “keserentakan” pemilu, yang tidak di-amanat-kan oleh konstitusi secara tekstual. Pilpres diatur dalam UUD pasal 6A ayat (3), dinyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Dalam UUD pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), tidak terdapat frasa kata serentak (dibarengkan) dengan pemilu legislatif. Namun boleh jadi, keserentakan ditafsirkan dari pasal 6A ayat (2). Yakni, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Terdapat frasa kata “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” yang bisa dianalogikan, berarti pilpres dilaksanakan pada saat pemilihan umum (pemilihan legislatif).
Penafsiran pasal dalam konstitusi bisa mengundang debat berkepanjangan. Namun yang memiliki “hak tafsir” konstitusi hanya pada forum sidang majelis hakim konstitusi. Walau sebenarnya, pemilu serentak tidak masalah. Asalkan teknis pelaksanaannya tidak menimbulkan pelik permasalahan. Termasuk kapasitasi TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang memungut sebanyak 500 pemilik suara. Pengalaman pertama pemilu serentak yang paling rumit di dunia, menunjukkan fakta potensi musibah kemanusiaan.
Setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) memiliki 7 petugas penyelenggaraan pemilu, tergabung dalam KPPS. Tugasnya memungut suara melalui coblosan pada lima surat suara sekaligus. Di dalam surat suara pilpres terdapat dua pasang Capres dan Cawapres. Sedangkan di dalam surat suara pilihan legislatif terdapat 16 parpol. Seluruhnya memiliki caleg (calon legislatif) DPR-RI, caleg DPRD propinsi, serta caleg Kabupaten dan Kota. Serta suara suara pilihan DPD dengan gambar 40 calon.
Tanda Jasa KPPS
Pada proses penghitungan suara, akan terdapat lebih dari 600 kemungkinan titik coblos per-kartu suara. Berdasar UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 350 ayat (1), setiap TPS paling banyak melayani 500 pemilih. Jika setiap TPS memiliki 300 pemilih, maka terdapat 180 ribu kali penglihatan! Termasuk pencermatan kemungkinan suara tidak sah (karena dicoblos lebih 1 titik). Sehingga mengisi form C1 plano, tidak mudah.
KPPS di seluruh Indonesia, sesuai Dapil (Daerah Pemilihan) telah menerima menerima surat suara pemilu legislatif. Isinya, sebanyak 7.796 nama caleg DPR-RI yang didaftarkan oleh 16 parpol. Termasuk 3.144 bakal caleg perempuan (40,32%). Walau kuota parlemen (DPR-RI periode 2019 – 2024) yang diperebutkan hanya sebanyak 575 kursi. Kemungkinan menjadi anggota parlemen hanya 7,37%. Nama caleg lebih banyak lagi pada surat suara untuk DPRD Propinsi, serta DPRD Kabupaten dan Kota.
Andai setiap kartu suara memerlukan pencermatan selama 3 menit, maka dibutuhkan waktu selama 900 menit (15 jam). Ditambah istirahat 1 jam (untuk ibadah dan makan) menjadi 16 jam. Maka wajar, kerja di TPS baru selesai pukul 06.00 pagi (hari Kamis, 18 April). Pasti terjadi kelelahan sangat berat. Terbukti sampai berujung meninggal dunia, akibat stres, dan kelelahan.
Tak terhindarkan, petugas KPPS bekerja selama 24 nons-top, banyak yang lupa mandi. Serta tidak boleh keliru (salah tulis, maupun salah penjumlahan). Juga harus dalam suasana tenang. Tak jarang, masyarakat sekitar TPS turut membantu menyediakan makanan kudapan dan minuman (berupa buah, jajan kuliner, dan aneka minuman penyegar).
Meninggalnya petugas pemilu disebabkan beban kerja terlalu berat, merupakan kezaliman. Dapat dianggap sebagai kelalaian pembuat undang-undang. Tidak memperhitungkan beban kerja pemungutan dan penghitungan suara terhadap lima surat suara sekaligus. Sangat wajar manakala presiden mengusulkan pemberian santuan pada petugas KPPS yang meninggal dunia. Bahkan tak cukup hanya dengan santunan sebesar Rp 36 juta.
Anggota KPPS merupakan “aparat negara” dalam penyelenggaraan pemilu. Hal itu terbersit dalam UU Pemilu pasal 389 ayat (4). Dinyatakan “Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertilikat hasil penghitungan suara yang telah ditandatangani … wajib disimpan sebagai dokumen negara.” Walau tugas kenegaraan cukup singkat, namun tupoksi (tugas pokok dan fungsi) KPPS sangat vital, sebagai ujung tombak pembentuk pejabat penyelenggara negara. KPPS yang meninggal, patut memperoleh pengakuan berupa sertifikat “tanda jasa,” beserta tunjangan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: