Khawatir Kehilangan Bahasa Ibu

Agusniar Dian Safitri

Agusniar Dian Safitri

Bahasa menjadi alat, tidak hanya untuk menyampaikan pesan tapi juga simbol budaya. Itu sebabnya, ada istilah bahasa ibu yang tentu saja bukan berarti dibuat oleh ibu-biu atau hanya dipakai para ibu. Bahasa ibu yang dimaksud ialah bahasa asli yang ada pada suatu wilayah.
Sayang, bahasa ibu mulai tergeser dan nyaris hilang. Bukan karena diganti bahasa ayah, tapi lebih karena pengaruh zaman dan perkembangan teknologi. Rasa kehilangan terhadap bahasa ibu itu dirasakan Agusniar Dian Safitri.
Pakar sekaligus dosen bahasa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mengaku, seoalh lebih kekinian, masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Asing dari pada menggunakan bahasa Ibu.
Niar, sapaan akrab Agusniar Dian Safitri menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Seperti, anggapan masyarakat yang menilai bahwa bahasa Indonesia memiliki tingkat sosial yang tinggi dibanding bahasa daerah. Begitu pula bahasa asing, juga mempunyai tingkatan sosial yang lebih tinggi dari pada bahasa Indonesia. “Maka tidak heran bagi saya, jika mereka menggunakan komunikasi berdasar pada tingkat identitas sosial bahasa” sambungnya.
Menurutnya, selain karena faktor tingkatan sosial, alasan mempermudah komunikasi antar keluarga dengan menggunakan bahasa Indonesia juga menjadi pendukung utama bergesernya bahasa daerah di Indonesia. “Saat ini, ada banyak bahasa yang dikategorikan punah, kritis, terancam punah, mengalami kemunduran, stabil, tapi terancam punah dan aman” jelas anggota Masyarakat Linguistik Indonesia angkatan 2004 ini.
Niar mengungkapkan jika bahasa daerah di kawasan Indonesia Timur, akan punah seiring berjalananya waktu. Ia menggambarkan, di salah satu daerah, mislanya di desa Manduro, kecamatan Kabuh kabupaten Jombang, yang mayoritas penduduknya adalah garis keturunan orang Madura dan menggunakan bahasa Ibu yaitu bahasa madura pada tempo dulu, saat ini memprihatinkan. Bagaimana tidak, saat ini di desa tersebut, lebih menekankan penggunaan bahasa Jawa dibandingkan bahasa Ibu nya. Terlebih lagi, muatan lokal (Mulok) pendidikan SD menggunakan bahasa Jawa. Kenapa begitu? Karena, jelasnya, hal ini terkait jumlah penutur bahasa Madura di tempat tersebut yang tinggal hitungan jari. Begitupun di kawasan Indonesia Timur, bahkan disana hanya tersisa satu penutur bahasa Ibu, hal tersebut yang membuat bahas Ibu diberbegai daerah di Kawasan Timur Punah dan Mengalami Kemunduran.
Pecinta literasi ini berharap jika keluarga yang menjadi porors utama komunikasi bisa mempertahankan bahasa ibu untuk komunikasi dengan anak-anaknya. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat bisa bersikap positif dalam menyikapi bahasa ibu. “Mereka harus menganggap bahasa Ibu (daerah) setara dengan bahasa Indonesia” katanya.
Ia menilai, jika bahasa ibu (bahasa daerah) menjadi penentu dan pembentukan karakter anak. Niar mencotohkan, seperti dalam bahasa Jawa ada bahasa ngoko, bahasa madya, kromo inggil, dan kromo alus, di mana dalam penggunaan ejaan bahasa tersebut menempatkan kepada siapa kita berkomunikasi. “Jika dengan orang tua bisa menggunakan kromo alus” imbuhnya. Dengan begitu, nilai-nilai kesopanan terhadap orang yang lebih tua akan terbentuk dan terwujud di dalam diri anak-anak kita, tuturnya. [ina]

Rate this article!
Tags: