Kiai, Blater dan Dinamika Politik Kekuasaan di Madura

Judul buku : Menabur Karisma Menuai Kuasa
Penulis : Abdur Rozaki
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Juni, 2021
Teba : 200 halaman
ISBN : 978-623-6166-56-7

Seorang teman bertanya kepada saya: “Mengapa kamu selalu nyetatus politik?” Saya tersenyum saja. Lalu menjawab karena saya ‘menyenanginya’. Hop. Pembicaraan pun selesai. Nampaknya teman saya itu paham maksud terdalam dari jawaban saya, yakni ‘kesenangan’. Dan nampaknya ia juga sadar bahwa ‘kesenangan’ adalah hal yang paling prinsipiil dari setiap manusia yang tak boleh direnggut dan diintervensi.

Lalu, pertanyaannya kemudian adalah mengapa saya ‘menyenangi’ politik? Ada dua jawaban yang bisa saya ajukan: pertama, karena kita adalah “makhluk politik” yang tak bisa lepas sedikit pun dari politik, mulai dari makan, merokok, ngopi, semuanya berkaitan dengan aktivitas politik; kedua, karena bagi saya politik selalu saja “seksi” dan “menawan” untuk dibicarakan. Karena itu saya menyenanginya.

Ya, bagi saya politik memang selalu “menawan” dan “seksi”, pun tak semenawan dan seseksi gadis-gadis jalanan itu. Keseksian politik bagi saya, selain berkaitan erat dengan masyarakat dan publik, juga pada cara kerjanya yang dinamis, yang selalu memantik diri ini untuk berpikir, menganalisa dan menduga-duga hingga endingnya yang tak terduga. Ya, begitulah saya menyenanginya.

Apalagi kalau berdiskusi tematik (tentang) politik Madura, butuh bercangkir-cangkir kopi untuk menyelesaikannya. Meski tak sepenuhnya memahami dinamika politik yang terjadi di empat kabupaten yang ada di Madura, tetapi saya selalu menaruh perhatian terhadapnya. Ibaratnya, saya ini kepincut, tapi tak tahu punya modal apa untuk mengatakannya.

Ketidakpahaman saya akan dinamika politik Madura secara keseluruhan setidaknya disebabkan satu faktor, yakni soal sosio-kultural masyarakatnya yang setiap kabupaten memiliki kecondongan berbeda sehingga menciptakan perilaku politik yang juga berbeda. Ini sulit untuk dipahami dan digeneralisasi.

Karena, pun, misalkan, saya paham dinamika politik dan perilaku politik masyarakat Sumenep, tak serta merta saya bisa menjustifikasi bahwa dinamika dan perilaku politik masyarakat kabupaten yang lain semata sama. Sama sekali tidak. Itu adalah bentuk ketidakadilan akademik. Sebab, kondisi sosial dan kebudayaan yang berbeda akan selalu meniscayakan dinamika dan perilaku politik masyarakat yang berbeda. Hop. Ini adalah hal yang pasti.

Akan tetapi, dinding ketidakpahaman itu tiba-tiba bobol dan lalu terbuka. Menabur Karisma Menuai Kuasa—pun tidak secara spesifik—membuka pintu pemahaman saya akan dinamika dan perilaku politik masyarakat Madura, yang secara garis besar dipengaruhi-kuat dan di mainkan oleh unsur “politik kiai” dan “politik premanisme”. Yang oleh Abdur Rozaki disebut dengan “rezim kembar”.

Untuk unsur yang pertama, yakni “politik kiai”, sebenarnya ini bukanlah fakta yang cukup mengejutkan. Mengingat proses islamisasi yang terjadi memanglah kuat dengan didukung banyaknya pondok pesantren. Akan tetapi, fakta kedua inilah yang sebenarnya agak unik, pun juga tak mengejutkan, yakni keterlibatan gerombolan preman (blater) yang dalam setiap momentum politik cukup berpengaruh.

Ini aneh dan unik. Tak perlu diskusi panjang lagi, saya berani menjustifikasi bahwa “politik premanisme” adalah politik yang culas, logika politiknya adalah kalah-menang. Jatah makan. Kekerasan politik terkadang menjadi jalan yang “nyaman-nyaman” saja dilakukan seakan tanpa beban dan dosa politik. Di mana-mana, “politik premanisme” selalu demikian.

Karena itu, hal ini kemudian menjadi aneh jika berkembang di Madura. Pasalnya, jika kita merujuk pada sosio-kultural orang-orang Madura, masyarakatnya adalah masyarakat-masyarakat yang berpegang-teguh pada tradisi-tradisi Islam. Dan Islam, mengenai “politik premanisme”, kita paham, jangankan menghendaki, mengenalnya saja tidak. Lalu mengapa “politik premanisme” itu bisa berkembang dan bahkan sangat berpengaruh terhadap dinamika politik elektoral? Ini ganjil.

Guru besar ilmu sejarah UGM, Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A., pun terkejut akan hal ganjil itu. Sebagai peneliti tematik Madura, ia mengomentari buku yang ditulis putra Bangkalan ini sebagai “teror mental”. Karena, yang ada dalam pandangan penulis buku Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 itu, Madura adalah Syaikhona Kholil, para kiai, masjid juga pesantren. Tetapi, pada kenyataannya juga ada blater yang menurutnya tak ia ketahui. Lebih-lebih keterlibatannya dalam momentum politik semacam Pilkades dan Pilbup.

Sebagai sebuah hasil penelitian, temua “premanisme politik” dalam buku ini jelas adalah fakta. Tetapi, jujur saja, sejalan dengan perspektif saya terkait “premanisme politik”, saya sangat tidak menyepakati keterlibatan preman dalam momentum politik elektoral. Bahaya. Keras. Banyak tidak enaknya. Bukan hanya ngeri-negeri sedap, tetapi memang memuakkan.

Karena itu, hemat saya mengatakan bahwa buku Rozaqi ini, dengan temuannya terkait “premanisme politik” dan “politik kiai” di Madura sebenarnya berakhir dengan sebuah pertanyaan besar, yakni: siapa yang akan kita pelihara dalam dunia politik kita, “politik kiai” atau “premanisme politik” di sisi lain? Atau kedua-keduanya?

——— *** ———-

Tags: