Kilas Balik Perjuangan Kaum Sarungan

Judul    : Kisah Dari Bilik Pesantren
Penulis    : Fathurrahman, dkk
Penerbit  : emir
Cetakan  : 1. 2017
Tebal    : 168 Halaman
ISBN    : 978-602-0935-56-0
Peresensu  : Ahmad wiyono
Pegiat Literasi, peneliti di Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.

Salah satu model pendidikan klasik di tanah air yang bisa bertahan hingga kini adalah model pendidikan pesantren, beratus tahun silam model pendidikan ini sudah hadir di penjuru nusantara, dan hingga kini eksisitensinya sudah tidak diragukan lagi dalam memberikan kontribusi bagi perkembangan bangsa dan Negara.
Pesantren sendiri merupakan sebuah tempat yang dihuni oleh kelompok penimba ilmu yang lumrah disebut sebagai santri. Sistem pendidikan salafiyah dan modern yang dipadu dalam dinamika kehidupan pesantren inilah yang diyakini banyak orang menjadi alasan utama keberadaan pesantren mampu bertahan di tengah derasnya pergolakan zaman, bahkan hari ini sduah menjadi rujukan pendidikan nasional. Tak hanya itu, pesantren diyakini sebagai benteng moral bangsa yang akan terus berkiprah sepanjang masa. Noer Kholis Majid pernah mengungkapkan bahwa Pesantren adalah model pendidikan yang mampu bertahan dengan sistem klasik, namun juga bisa menerima perkembangan zaman.
Dinamika kehidupan pesanttren tentu tak lepas dari sepak terjang dan kiprah perjuangan para santrinya, selalu banyak romantika yang hadir dan menyelimuti kehidupan para santri dalam menimba ilmu di Pesantren, para santri seolah tak pernah sepi dengan ragam aktifitas dan perjungannya dalam menimba ilmu pengetahuan ditengah kesunyian bilik pesantren. Ini yang ditulis oleh 30 santri asal Pesantren Tebuireng dan Pesantren langitan dalam buku berjudul Kisah dari Bilik Pesantren ini.
Tulisan-tulisan kaum sarungan ini hendak menyampaikan kabar tentang kehidupan nyata yang penuh dinamika di balik tembok pesantren. Mereka ingin mempertegas bahwa ada setumpuk asa  tentang bangsa dan agama yang disulam dari kesunyian surau dan bilik pesantren. Mereka mengukir mimpi tentang masa depan mereka, keluarga termasuk masyarakat secara umum.
Ali Syifaudin Haris menggambarkan pesantren laksana sebuah toko yang serba ada, di tengah kehidupannya yang notabeni jauh dari keluarga dan orang-orang terdekatnya, dia justeru merasakan kedamaian dan keramaian bersama orang-orang yang seperjuangan dengannya. Dalam hiruk pikuk aktifitas kepesantrenan yang dia geluti, dia betul-betul merasakan bahwa Pesantren bisa menjawab segala kebutuhan hidup umat manusia.
Hari-hari di Pesantren semakin berwarna, rasanya semakin lengkap dan pas dengan sebutan toko serba ada, ada sahabat-sahabatku, sebagai pengganti keluarga, ditambah dengan Nas, yang selalu berulah membuaku terpingkal, tersbungut pokonya seru (Hal. 25).
Pesantren tak ubahnya mesin multi fungsi, bisa mencetak apa saja sesuai keinginan santri. Dari berbagai rutinitas kepesantrenan yang dilakoni oleh kaum sarungan tersebut, mereka bisa menjelma sesuai keinginan dan cita-cita mereka. Tak heran jika pesantren mampu melahirkan penulis hebat, pesantren juga mampu melahirkan sastrawan handal, pesantren juga juga mampu mengorbitkan para dai-dai kondang, serta banyak lagi produk pesantren yang kiprahnya sudah sangat luar biasa di kancah publik nasional.
Namun demikian, satu hal yang harus digaris bawahi dari kehidupan pesantren, bahwa lembaga pendidikan tertua di negeri ini, lebih menekankan pada kemuliaan tatakrama atau moralitas, hal utama yang diajarkn bagi santri adalah bagaimana mereka menjadi orang yang berakhlak, sehingga menjadi apa pun kelak di masyrakat akhlak harus dijadikan modal utama.
Hal tersebut diakui seorang Ikram Najibuddin dalam tulisannya di buku terbitan emir ini, pria asal Bojonegoro ini mempertegas bahwa ketika masuk Pesantren, dia betul-betul merasakan atmosfer penguatan Akhlak bagi kaum santri. Derasnya globalisasi dengan Beragam produknya ternyata mampu dibentengi oleh pesantren melalui pendidikan akhlak yang luar biasa.
Di tengah derasnya dekadensi moral, Pesantren datang dengan membawa secercah harapan. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pengajaran yang mengedepankan pendidikan moral. Para santri harus diberi menu wajib berupa pendidikan akhlaqul karimah yang diselipkan disela-sela pengajian. Kedisiplinan serta nilai sosial masyarakat pun menjadi materi yang tak boleh ketinggalan (Hal. 150-151).

                                                                                                               ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: