Kisah di Tanah Seberang dan Nasionalisme

Judul : Tanah Seberang
Penulis : Kurnia Gusti Sawiji
Penerbit : Mojok
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Tebal : 270 halaman
ISBN : 978-602-1318-68-3
Peresensi : Ratnani Latifah
Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara 

“Hidup itu seperti sungai. Sungai itu berkelok-kelok dan cabangnya, membuat kita harus memilih jalan mana yang kita tempuh dengan harus tahu bahwa kita ingin menuju satu tempat yang sama.” (hal 116).
Adanya masalah dalam kehidupan ini memang sudah lumrah. Karena hidup tidak mungkin selalu berjalan mulus. Ada kalanya krikil atau bantu sandungan yang menghadang. Di mana kita disuruh memilih tentang bagaimana cara menyelesaikannya. Setidaknya itulah tema yang diangkat penulis, selain tema masalah dan konfilk keluarga yang begitu kental terasa di sini, serta tentang jati diri-masalah kebangsaan dan nasionalisme.
Dibagi dalam tiga bagian cerita, novel ini mengiring pembaca pada kisah yang seru dan menarik. Di mana kita akan dihadapkan pada cerita-cerita yang menggugah dan menginspirasi. Apalagi ketika melihat bagaimana cara mereka mencoba menyelesaikan setiap masalah yang tengah dihadapi.
Pada kisah pertama, ada Amran, Imran dan Umar yang memiliki tekad kuat untuk menyambangi Dunia Ufuk Barat yang konon menyajikan suasan yang lebih indah dari pada Dunia Ufuk Timur-tepatnya di Raja Alang-tempat tinggal mereka. Kisah-kisah yang didongengkan Tok Mus, telah membuat mereka begitu terpesona dengan tempat itu. Tapi masalanya, sang ibu-Nur Halimah-wanita asal tanah Jawa itu, selalu melarang keinginan mereka. Ibunya akan marah besar jika ketiga putranya membahas tentang Dunia Ufuk Barat. Tentu saja ada alasan di balik larangan itu.
Pada kisah kedua berhubungan dengan masalah yang harus dihadapi pemuda bangsa yang hidup di tanah rantau. Sejak kecil Nusa memang tinggal dan tumbuh di Malaysia. Akan tetapi sejak kecil dia tetap didik untuk mencintai tanah airnya Indonesia, oleh orangtuanya. Mengingat kedua orangtuanya memang berasal dari Indonesia dan memilih merantau di Malaysia. Dan Nusa memang tumbuh sebagai pribadi yang memiliki sikap nasionalisme.
Namun sebuah kenyataan tidak terduga yang disampaikan orangtuanya suatu hari, benar-benar mengoyak hatinya. Dia bingung dan bimbang. Orangtuanya mengabarkan bahwa mereka ingin merubah kewarganegaraan sebagai jalan keluar dari polemik kesehatan tengah dihadapi. Mengingat tunjangan yang diberikan pemerintah akan sangat membantu dalam upaya penyembuhan penyakit diabetes yang diderita ayahnya.
Sedang cerita yang ketiga adalah kisah Langgam yang harus menghadapi hidup dengan penuh tantangan. Di usianya yang masih muda, dia tidak bisa menjalaninya layaknya remaja lainnya. Karena dia harus merawat ayahnya yang mengalami stroke, yang harus selalu melakukan cuci darah. Tidak hanya masalah itu, dia juga harus mendengar kemarahan ibunya setiap hari. Bagaimana sang ibu selalu menyalahkan ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Puncaknya adalah ketika ayahnya tidak akan mendapat asuransi lagi dari perusahaan.
Di sini Langgam dihadapkan pada dua pilihan. Tetap memilih tinggal di Malaysia namun dengan keterbatasan setelah tidak ada topangan biaya dari ayahnya atau kembali ke Indonesia dan memulai semua dari awal. Bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi? lebih lengkapnya bisa kita baca dalam buku ini.
Benang merah yang disusun penulis dalam kisah ini, membuka mata kita bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa hidup sendirian. Sebagai makhluk sosial kita memerlukan bantuan orang lain. Oleh sebab itu kita harus saling tolong menolong di mana pun berada. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Tok Mus-tokoh penting yang menurut saya menjadi benang merah dari kisah ini.
Secara keseluruhan novel ini cukup menarik untuk dibaca. gambaran kehidupan orang-orang yang hidup di perantauan dengan berbagai polemik yang harus diselesaikan, dieksekusi dengan apik dan menarik oleh penulis. Hanya saja saya kurang sreg dengan adanya bahasa melayu yang tidak ada penjelasan dalam bahasa Indonesia. Sehingga saat membaca saya harus mengira-mengira artinya. Namun lepas dari kekurangannya saya menyukai pesan tersirat dari novel ini. bahwa dalam hidup kita harus saling tolong menolong, jangan menilai seseorang dari luarnya saja dan nasionalisme tidak akan terhapus meski hidup di tanah seberang.

Srobyong, 4 Januari 2019

———————- *** ——————–

Tags: