Kisah Enja, Nenek 77 Tahun menjadi Tukang Pijat di Situbondo

Enja (kanan) salah satu warga miskin di Kabupaten Situbondo menjadi tulang punggung keluarganya sebagai seorang tukang pijat. [sawawi]

Bangga Menikmati Hasil Keringat Sendiri dan menjadi Tulang Punggung Keluarga
Kab Situbondo, Bhirawa
Hingga saat ini, angka penduduk miskin yang ada di Kabupaten Situbondo masih cukup besar. Salah satu diantaranya, Enja, wanita berumur 77 tahun asal Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo. Enja dikenal masyarakat desa setempat sudah puluhan tahun menjadi tulang punggung keluarganya dari hasil memijat.
Sore itu sinar matahari sudah mulai meredup. Tampak di kanan kiri arah menuju Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo dipenuhi tanaman padi yang masih hijau. Sementara jalanan sedikit banyak yang rusak.
Tampak pula sejumlah petani hendak pulang dari sawah. Disisi lain, sejumlah sapi juga ikut berbaris di depan peternak. Saat ada seorang warga melintas di jalan, langsung menunjuk sebuah rumah sederhana milik Enja. “Itu mas, rumah Enja dipojok sendiri,” ujar Tohari, salah satu warga desa setempat.
Kata Tohari, sosok Enja, sudah puluhan tahun dikenal warga sebagai tukang pijat yang sederhana di kampungnya. Bahkan setiap hari dipastikan selalu ada orang yang hendak meminta jasa Enja untuk memijat. Bisa dari desa setempat dan bahkan ada dari desa tetangga di Kecamatan Panji. Dari profesi itulah, Enja mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. “Ada delapan orang yang ditanggung oleh Enja. Ada anak dan cucu serta keponakan,” jelasnya.
Sementara itu Enja saat ditemui di rumahnya tiba-tiba hujan turun cukup deras. Akibat hujan seisi rumah Enjak tampak kebingungan untuk mencari naungan. Maklum, rumah Enja hanya beratap seng dan berdinding gedek mulai bocor. Anggota keluarga terkecil Enja terpaksa mulai pindah ke rumah salah satu tetangga. “Ya seperti ini. Kalau lagi hujan pasti rumah saya bocor,” jelas Enja.
Rumah Enja sudah lama terletak di Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji. Dari saking lamanya, rumah yang ditinggali Enja, sangat dikenal warga yang hendak berpijat. Kata Enja, sejak dari muda hingga masa tua ia cukup dikenal sebagai seorang tukang pijat. “Saya tinggal disini tidak sendirian. Saya tinggal bersama tujuh anggota keluarga yang lain. Diantaranya ibu, seorang putera yang difabel, tiga cucu dan dua keponakan. Jumlah semua ada delapan penghuni di rumah ini,” tutur Enja.
Dari semua anggota keluarganya itu, Enja merupakan satu-satunya sebagai tulang punggung keluarga. Dia menerangkan, anak laki-lakinya terpaksa tidak bisa bekerja karena mengalami keterbatasan fisik. Sedangkan ibunya sudah lanjut usia. “Dari keponakan sama cucu masih belum bekerja karena masih kecil. Sedangkan suami sudah lama meninggal dunia,” kenang Enja.
Keponakan Enja, Ari mengakui jika bibinya sehari-hari dikenal sebagai tukang pijat. Dia menceritakan, masih ada anggota keluarganya yang lain. Akan tetapi kondisi ekonominya sama, bertaraf miskin. Sedangkan Enja sendiri yang harus bekerja, menanggung beban keluarga. Ari mengaku rumah bibinya sudah lama bocor. Dia berharap, ada pihak lain yang bisa membantu perbaikan tempat tinggalnya. “Harapan kami rumah ini bisa lebih layak untuk seluruh anggota keluarga. Yang terpenting saat hujan tidak sampai bocor,” katanya.
Dia mengatakan, penghasilan sebagai tukang pijat bibinya tidak seberapa. Baru mendapatkan uang jika ada yang meminta bantuan untuk memijat. Kalau tidak ada, aku Ari, tentu Enja tidak akan mendapatkan uang. Namun kadang beruntung, masih ada tetangganya yang memberi bantuan seperti memberikan beras maupun makanan lain. “Ya kadang ada tetangga yang berbelas kasihan. Kebutuhan sembako kadang terpenuhi dari hasil pemberian tetangga. Mungkin tetangga itu merasa kasihan sehingga menyalurkan bantuan,” imbuh Ari.
Sebenarnya, lanjut Ari, sosok Enja dikenal sebagai orang yang pantang menerima belas kasihan dari tetangga. Artinya, sebut dia, Enja selalu tidak mau menerima bantuan. Sebaliknya Enja dikenal sebagai pekerja keras dan tidak tergantung kepada pemberian orang lain. “Ya Enja sendiri tidak menginginkan ada pemberian dari orang lain secara cuma-cuma.Sebab dalam pandangan Enja, akan lebih mulia jika bisa menghasilkan uang dari pekerjaan keringat sendiri,” pungkasnya. [sawawi]

Tags: