Kisah Inspiratif Purwanti, Janda Tua di Situbondo

Purwati (tengah) berada dirumah saudaranya saat hendak menjajakan kerupuk hasil buatan sendiri kemarin. [sawawi]

Lewat Jualan Krupuk, Ingin Meluluskan Pendidikan Anaknya hingga Sarjana
Kab Situbondo, Bhirawa
Purwati, 60 tahun, bisa dibilang sebagai sosok wanita kuat di Situbondo. Bagaimana tidak, meski sudah ditinggal oleh suaminya, Purwati tetap berusaha untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang kuliah. Tidak muluk-muluk, Purwati ingin sukses menyekolahkan anaknya demi masa depan buah hatinya itu kelak lebih sejahtera. Purwati mengaku selama ini hanya ditopang dari usaha kecil-kecilan rintisan suaminya yakni dengan berjualan kerupuk.
Untuk bisa bertemu Purwati, harus memasuki sebuah gang di Desa Wringin Anom, Kecamatan Asembagus, Situbondo. Disana akan menjumpai sebuah rumah besar bercat kuning pinang. Di depan rumah tersebut, terdapat sebuah rumah sederhana yang berjejer dengan musola kecil. Rumah sederhana itu adalah milik Sarkawi, salah seorang tokoh masyarakat berpengaruh dahulu di desa setempat. Sarkawi juga sosok guru ngaji dan kini telah meninggal dunia. Rumah Sarkawi inilah yang saat ini dihuni oleh Purwati beserta dua orang anaknya.
Purwati oleh saudara dan tetangga dekatnya setiap hari akrab disapa Pur. Wanita yang kini mulai jompo itu mengaku sudah 19 tahun menjanda. Suaminya meninggal sejak anak keduanya masih berusia 6 tahunan. Pur memiliki dua anak. Sayang, fisik Helmi, anak pertamanya tidak seperti pemuda pada umumnya. Perubahan fisik Helmi itu akibat kecelakaan, saat masih duduk di kelas sekolah dasar puluhan tahun silam. “Helmi ini mengalami cacat pada sebagian anggota tubuhnya. Jalannya seperti orang sempoyongan. Sementara tangannya gemetar setiap memegang benda,” kata Purwati.
Menghadapi kondisi kelainan yang dialami anak sulungnya, Purwati harus berjuang seorang diri. Dengan usahanya menjual kerupuk, wanita tersebut berupaya keras menyekolahkan anaknya. Meski hasil dari penjualan kerupuknya tidak seberapa, namun usaha Purwati mampu mengantarkan putra keduanya hingga bangku kuliah, tidak pupus harapan. “Saya harus bisa menyekolahkan anak yang kedua ini hingga lulus sarjana,” tekad Purwanti.
Saat itu Purwati sempat mengaku menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama bagi anak-anaknya. Satu-satunya anak yang bisa diandalkan Purwati, saat ini hanyalah anak yang kedua. “Karena itu saya berupaya keras menyekolahkan anak kedua itu. Kadang juga dibantu saudara-saudara saya. Alhamdulillah, sekarang sudah duduk di bangku kuliah semester akhir,” ungkapnya.
Purwati kembali menceritakan perjalanan hidupnya sejak ditinggal wafat suaminya puluhan tahun silam. Dia mengatakan, suaminya meninggal akibat serangan penyakit TBC. Padahal, aku Purwati, beberapa saat sebelum meninggal, sang suami hidup sangat berkecukupan. “Sebelum suami saya meninggal, banyak sekali musibah yang terjadi. Bermula dari suami yang menabrak orang hingga meninggal. Saya menghabiskan banyak dana akibat masalah itu,” ungkap Purwati.
Nafsiyah, salah satu tetangga dekatnya menimpali, beberapa hari setelah suami Purwati meninggal dunia, cobaan hidup kembali menimpanya. Helmi, anak pertama Purwati menjadi korban kecelakaan lalu lintas yakni ditabrak mobil. Helmi nyaris saja meninggal. Beruntung nasib Helmi, kata Nafsiyah, masih selamat dan diberi kesempatan hidup. “Terakhir, ketika keadaan ekonominya amburadul, Purwati bingung harus mencari nafkah kemana untuk kebutuhan hidup anak anaknya,” aku Nafsiyah.
Menurut Nafsiyah, sosok Purwati yang kerap dilanda musibah tak membuatnya putus asa. Sebaliknya, terangnya, Purwati kian semangat mencari jalan keluar dengan menekuni berjualan kerupuk hasil rintisian suaminya dahulu. Purwati sadar, aku Nafsiyah, semua kejadian sebelumnya yang dialami merupakan garis tangan dari Sang Ilahi. “Awalnya Purwati tinggal di Sukorejo, Banyuputih. Karena sudah tidak punya suami dan hartanya habis, dia akhirnya pindah ke rumah saudaranya untuk meneruskan usaha suaminya berjualan kerupuk,” ujar Nafsiyah.
Meskipun usaha bisnis yang ditekuni Purwati kini tidak selaris dahulu, sambung Nafsiyah, dimata perempuan sabar itu tidak menjadi persoalan. Setiap usaha yang sukses, menurut Nafsiyah, harus selalu diawali dari hal yang kecil hingga bisa berkembang dan tumbuh dengan pesat. “Yang terpenting dimata Purwati, semua penghasilan yang didapatkan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya,” pungkasnya. [sawawi]

Tags: