Kisah Kakek Ju’an, 32 Tahun Menabung untuk Berangkat Haji

Kakek Ju’an saat mempersiapkan diri untuk berangkat haji setelah dengan sabar menabung selama 32 tahun. [Wiwit Agus pribadi]

Rumah Reyot Tak Apa yang Penting Bisa Berangkat ke Tanah Suci
Kab Probolinggo, Bhirawa
Nasib baik berpihak pada Ju’an, seorang kakek berusia 76 tahun asal Kabupaten Probolinggo. Buruh tani itu akhirnya bisa menunaikan rukun Islam kelima, yakni haji di Tanah Suci Makah. Ini terwujud setelah warga Desa Opo-opo, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo ini menabung selama puluhan tahun. Berangkat bersama 820 jemaah calon haji lainnya, Rabu (25/7) lalu.
Kakek Ju’an, merupakan jemaah calon haji yang sudah lanjut usia ini berangkat di Kelompok Terbang (Kloter) 28, rombongan 05 regu 04, melalui KBIH Safara Qolbi. Keseharian kakek Ju’an, berkerja sebagai tukang mengairi sawah milik tetangganya. Berangkat haji tidak bersama istrinya Mustimah, karena menurutnya, hasil menabung hanya cukup berangkat haji sendiri.
Menurutnya, sebagai tukang mengairi sawah ini, tidak mendapatkan upah tiap hari. Tapi dia menerima upah dari pemilik sawah tiap musim panen tiba, yakni tiga bulan sekali. Meski demikian, ia bertekad berangkat ibadah haji. Karena itu, ia sejak puluhan tahun lalu menyisihkan uang untuk ongkos naik haji.
“Tiga bulan sekali dari luas sawah sekitar sembilan hektare milik orang, saya mendapat upah kadang Rp2,5 juta, kadang Rp3 juta. Saya mengedepankan ibadah dulu, yang penting mimpi saya untuk naik haji terkabul. Soal rumah saya reyot dan jelek tak jadi masalah, yang penting saya bisa naik haji,” ujarnya.
Kakek Ju’an, terus menabung secara intensif selama 9 tahun untuk pelunasan pemberangkatan sebagai jamaah calon haji. Namun, sebelumnya, ia sedikit demi sedikit menabung sendiri di rumahnya selama 32 tahun.
“Saya hanya tinggal bersama istri di rumah kecil berdinding gedek ini. Kami masih belum dikaruniai keturunan selama menikah 32 tahun lamanya. Mohon doanya atas keberangkatan saya ke Makah,” ucapnya.
Setiap hari aktifitasnya dihabiskan untuk mengatur irigasi sawah. Namun, sawah itu bukan miliknya melainkan milik tetangga di sekitar rumahnya. Aktifitas ini dilakukan sejak pagi hingga malam hari. Terutama di saat awal musim tanam untuk 15 lahan sawah.
Selama puluhan tahun, tugas utamanya mengatur distribusi air ke sawah-sawah yang hendak ditanami padi atau palawija. Dari pekerjaan ini, ia mendapat upah tak tentu dari pemilik sawah. Namun upah ini diterima setelah masa panen atau setiap empat bulan sekali. “Tidak mesti nak, dari semua pemberian itu kadang sampai Rp3 juta, kadang tidak,” tuturnya.
“Saya bilang ke istri, kita sudah tua. Karena itu, mari kita menabung untuk berhaji. Mudah-mudahan mendapat panggilan dari Allah. Biarlah rumah apa adanya yang penting tidak bocor saat hujan. Ternyata istri saya mengiyakan dan mengamininya,” jelasnya.
Hasil bekerja sebagai buruh tani inilah yang dikumpulkan sejak 2010 lalu, hingga mampu menunaikan ibadah haji. Sayang, cita-cita berhaji bersama istri tercinta, tak kesampaian. Karena tabungan yang dikumpulkan selama 9 tahun itu, hanya cukup untuk dirinya. Uang tabungan yang dikumpulkan, tak cukup untuk membiayai haji wanita yang dinikahi pada 33 tahun lalu ini.
“Untuk bekal di tanah suci saya hanya mampu membawa sedikit saja. Mudah-mudahan dengan ridho Allah, sepulang dari berhaji masih diberi kesehatan yang panjang dan bisa menabung lagi untuk membiayai istri berhaji atau umroh,” ungkap Ju’an sambil memohon doa agar diberi umur panjang.
Kegigihan Ju’an untuk berhaji ditengah kesederhanaan hidup, membuat warga sekitar bangga. Ju’an menurut warga bisa menjadi contoh bagi generasi muda, agar tidak hidup konsumtif dan hedonis. Namun juga menyeimbangkan dengan kewajiban agama.
“Sebagai tetangga, tentunya kami dengan dipanggilnya kakek Ju’an ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan tekad yang kuat, sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Salah satunya dengan hidup hemat dan menabung,” kata Mohamad Yunus, tetangga Ju’an yang ikut mengantarnya. [Wiwit Agus pribadi]

Tags: