Kisah Menggugah tentang Pencarian Makna Hidup

Kisah Menggugah tentang Pencarian Makna Hidup

Judul: Mans Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal: 234 Halaman
ISBN: 9786023854165
Peresensi: Untung Wahyudi, Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya

Manusia tak pernah lepas dari masalah hidup yang senantiasa selalu menyertai. Di rumah, kantor, atau dalam hidup bermasyarakat, kita tak akan bisa menghindar dari pelbagai masalah yang ada. Kuncinya adalah, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran atas masalah-masalah yang ada. Atau, bagaimana kita bebas atau mampu keluar dari cobaan dan penderitaan hidup yang kita alami.
Mans Search for Meaning adalah buku luar biasa tentang bagaimana cara mencari makna hidup karya Viktor E. Frankl. Frankl adalah seorang psikiater yang pernah menjalani hidup dalam kamp konsentrasi NAZI pada 1942-1945. Dalam kamp yang mampu menghancurkan semangat hidup orang-orang yang ada di dalamnya itu, Frankl mampu bertahan hidup, meskipun orangtuanya, saudara laki-laki, dan istrinya yang tengah hamil akhirnya tewas dalam kamp.
Lewat buku ini, Frankl berbagi kisah tentang pengalaman hidup di kamp konsentrasi. Bagaimana kemelut yang dialaminya selama ada di sana, dan bagaimana ia mampu bertahan di tengah berbagai tekanan yang dialaminya.
Frankl menjelaskan, gejala yang menandai fase pertama orang-orang yang menjalani hidup sebagai tawanan adalah syok (terguncang jiwanya). Pada kondisi-kondisi tertentu, syok bahkan terjadi sebelum tawanan secara formal masuk ke dalam kamp konsentrasi. Sebagai contoh, Frankl menceritakan apa yang dirasakannya pada saat itu.
Seribu lima ratus tawanan menempuh perjalanan dengan kereta api selama beberapa hari beberapa malam: setiap gerbong berisi 80 tawanan. Semua tawanan harus duduk di atas kopor berisi sisa-sisa harta benda mereka. Gerbong-gerbong tersebut begitu penuh sesak, sehingga hanya bagian atas jendela saja yang masih terbuka agar cahaya fajar yang kelabu dapat masuk.
Seribu lima ratusan tawanan itu akhirnya dikurung di dalam barak yang barangkali dibangun untuk menampung paling banyak dua ratusan tawanan. Mereka kedinginan dan kelaparan, dan tempat yang ada tidak memungkinkan setiap tawanan duduk di lantai yang terbuka, apalagi berbaring. Seperlima ons roti adalah jatah makanan yang mereka peroleh untuk empat hari (hlm. 13).
Hidup di dalam kamp konsentrasi tak hanya tersiksa secara fisik seperti rasa lapar berkepanjangan, tapi secara psikis mereka juga terganggu. Perselisihan dan keributan-keributan akan mereka rasakan antar para tawanan. Belum lagi saat petugas memerintah sambil memukul dan menyiksa mereka (hlm. 19).
Pengalaman bagaimana bertahan hidup di dalam kamp konsentrasi inilah yang akhirnya dibagi oleh Frankl pasca kebebasannya. Sebagai psikiater, ia tahu banyak masalah yang dihadapi orang-orang. Makanya, ia berusaha menjalankan terapi bagaimana mencari makna hidup yang selama ini banyak dicari orang.
Logoterapi adalah nama terapi yang diterapkan oleh Frankl. Logoterapi bertugas membantu pasien menemukan makna hidup. Artinya, logoterapi membuat si pasien sadar tentang adanya logos tersembunyi dalam hidupnya; ini adalah proses analitis. Menurut Frankl, sejauh ini logoterapi memang menyerupai psikoanalisis. Tetapi, upaya logoterapi untuk membuat sesuatu disadari kembali tidak terbatas pada fakta-fakta naluriah yang disadari oleh si pasien, tetapi juga menyangkut realitas eksistensional, seperti pemenuhan potensi makna hidup sekaligus keinginannya untuk mencari makna hidup (hlm. 149).
Ada banyak kasus yang dihadapi Frankl setelah membuka praktik logoterapi. Salah satunya adalah masalah “kehampaan eksistensial”. Sebuah survey statistik yang dilakukan baru-baru ini terhadap sejumlah mahasiswa di Eropa menunjukkan bahwa 25 persen mahasiswa sedikit-banyak merasakan kehampaan eksistensial. Di Amerika, kehampaan semacam ini tidak hanya dirasakan oleh 25 persen mahasiswa melainkan sampai 60 persen.
Kehampaaan eksistensial tersebut terutama tercermin dalam bentuk rasa bosan. Kenyataannya, sekarang ini masalah yang diakibatkan oleh kebosanan dan dibawa ke hadapan psikiater lebih banyak dibandingkan masalah yang diakibatkan oleh stres. Semua masalah ini akan terus bertambah dengan pesat mengingat cepatnya otomatisasi yang menyebabkan semakin meningkatnya waktu luang yang dimiliki para pekerja (hlm. 155).
Dalam pengantar buku ini, Frankl menjelaskan bahwa, ada tiga kemungkinan sumber makna hidup: dalam kerja (melakukan sesuatu yang penting), dalam cinta (kepedulian pada orang lain), dan dalam keberanian di saat-saat sulit. Apa yang dipraktikkan Frankl pada pasien-pasiennya juga bisa bermanfaat bagi pembaca buku ini, terutama bagaimana kita bisa lepas dari penderitaan hidup dan menemukan makna di balik berbagai peristiwa. ***

Tags: