Kisah Para Penggila Aksara

Judul Buku  : Aku & Buku #3 yang Menulis yang Mencintai Buku
Editor    : A.S. Rimbawan, dkk.
Penerbit    : Radio Buku, Jogjakarta
Cetakan    : I, Februari 2017
Tebal    : 174 halaman
ISBN    : 978-979-1436-42-7
Peresensi    : AHMAD FATONI
Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang.

Wahai huruf, bertahun kupelajari kau, kucari faedah dan artinya, kudekati kau saban hari. Demikian Pramoedya Ananta Toer mengawali puisinya berjudul “Huruf” dalam buku Menggelinding I (2004).
Betapa Pram tergila-gila dengan pesona aksara. Deretan huruf yang dirangkainya menjelma api hidup yang menghidupkan diri dan keluarganya. Tapi, huruf itu pula pernah menjelma api yang membakar kebebasannya berkarya. Akibat karya-karyanya Pram pernah menghikmati penjara selama 14 tahun. Dan, sebelum Soeharto tumbang, risiko yang sama juga ditanggung para pembaca karya pria kelahiran Blora itu.
Aku & Buku #3 bercerita 20 kisah dari 20 penulis yang berkeringat dan berdarah-darah memungut huruf demi huruf lalu merapikannya berupa susunan kata. Para penulis fiksi dan nonfiksi dalam tuturan buku ini begitu tabah menarasikan proses kreatif baca-tulis mereka dengan segenap konsekuensinya.
Membaca dan menulis bagi mereka tampaknya tak sekadar memburu eksistensi diri, namun juga merupakan gelegak jiwa yang mesti dituruti. Obsesi sebagian besar penulis itu seolah ingin memantik sebuah kredo: tanpa baca-tulis adalah kesepian yang menyakitkan.
Aneka cara pun dilakukan setiap penulis demi mengintimi dunia aksara. Harry van Yogya salah satu contoh. Dia adalah tukang becak yang ‘nekat’ menulis buku. Harry membuktikan bahwa menjadi tukang becak perlu juga mengandalkan otak, selain otot. Buku pertamanya bertajuk The Becak Way Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek, terinspirasi dari kondisi jalan yang sering dilaluinya.
Harry sebetulnya sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Sanata Dharma Jogjakarta, walau tak selesai karena terhalang beaya. Sebagai single parent yang serba terbatas, selain mengayuh becak Harry harus menyambung nafas dengan memutar otak. “Saya mencoba menulis untuk menambah penghasilan,” begitu tuturnya (hal.76). Aktivitas menulis digelutinya dengan penuh susah payah, sebab menjadi penulis bagi Harry memang tak segampang menarik becak.
Berbeda dengan Harry, Lisa Febryanti justru merasa terlahir sebagai penulis. Pengarang novel  asal Surabaya ini mampu menulis sepuluh halaman selama sepuluh jam dalam sehari. Komitmennya dalam menyusun kata per harinya sangat kuat. Draf buku setebal 400 halaman pun bisa dirampungkan dalam waktu sebulan dengan judul Iluminasi (hal.90).
Kepenulisan Lisa Febryanti mengingatkan laku literasi Profesor Imam Suprayogo.  Kendati kesehariannya super sibuk, namun rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 1997-2013 itu selalu sempat menuangkan pemikiran-pemikiran aktual lewat internet. Sungguh ini tidak banyak dilakukan orang lain, oleh yang bergelar Guru Besar sekalipun. Profesor Imam tidak menulis sebulan sekali atau seminggu sekali, melainkan setiap hari.
Kehadiran buku semacam ini merupakan tamparan keras bagi para pecandu media sosial yang cenderung malas berpikir. Mereka sering kali terjerat dalam jejaring budaya copas dari WhatsApp atau Facebook ketimbang menuliskan ide sendiri. Diam-diam, serbuan informasi secara online sedikit banyak menumpulkan daya pikir para komentator dan tukang nge-share pengetahuan yang bersumber dari “Grup Sebelah”. Tak dapat dimungkiri, gairah membaca buku kini justru kalah saing dengan nafsu berkomentar di dunia maya.
Sementara kisah 20 penulis yang dipaparkan buku ini memperteguh kegilaan mereka dalam mengonsumsi buku sebagai langkah awal menjadi penulis. Hampir semua penulis tersebut dipengaruhi oleh bacaan yang mereka lahap dari karya penulis-penulis ternama seperti Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, Buya Hamka, Seno Gumira Ajidarma, Fritjof Capra, Edward W. Said atau George Luis Borges. Mereka meyakini karya-karya yang dihasilkan merupakan akumulasi dari kegemaran membaca dan pengaruh ahli-ahli pemikir di bidangnya.
Dari nama-nama penulis yang diceritakan buku ini niscaya menginspirasi para (calon) penulis lainnya agar tidak mudah menyerah untuk menerbitkan karya tulis dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas. Aktivitas menulis semestinya memang identik dengan kegiatan berpikir. Kecuali tulisan yang hanya bermodalkan fitnah atau berita hoax yang seratus persen ngawur.
Dengan bahasa santai tapi menukik, subtema yang Menulis yang Mencintai Buku serasa pas dengan isi buku ini. A.S. Rimbawan, dkk. cukup berhasil menggali visi kepenulisan 20 penulis muda berbakat dalam menegakkan dunia literasi di bumi Indonesia. Melalui jalan berliku penuh duri, tanpa tersandra oleh informasi murahan di media sosial, mereka tetap semangat menimba makna kata melalui berbagai sumber buku, lalu menciptakan makna-makna baru yang memang pantas diwariskan dalam bentuk buku-buku bermutu.

                                                                                               ———————— ooo ————————

Rate this article!
Kisah Para Penggila Aksara,4.50 / 5 ( 2votes )
Tags: