Kisah Pilu Nenek Ateng, Pedagang di Ujung Jl Adityawarman Surabaya

Nenek Ateng setiap hari selalu menjual dagangannya di ujung Jalan Adityawarman dan Jl Ciliwung Surabaya.

Terpaksa Ngekos karena Diusir Cucunya, Jika Dapat Kiriman Uang Tak Pernah Terima
Kota Surabaya, Bhirawa
Bila melintas di Jl Adityawarman di ujung timur, atau dari Jl Ciliwung di ujung selatan, Kota Surabaya, akan menemukan banyak orang berjualan. Mulai dari kuliner berkelas sampai pedagang kaki lima. Bagi yang biasa membeli makan disana, juga akan menemukan seorang nenek menggelar dagangannya. Dialah nenek yang mengaku bernama Ateng yang menggelar dagangannya di atas trotoar. Tanpa meja, tanpa kursi, dan tanpa etalase.
Tidak banyak dagangan yang digelar di penghujung Jl Adityawarman dan Jl Ciliwung tersebut. Hanya ada kacang godok dengan harga Rp5.000 untuk dua bungkus, telur puyuh Rp5.000 per bungkus, telur asin Rp10.000 tiga butir, dan telur ayam kampung Rp15.000 per tiga butir. “Kadang kala ada pisang juga. Tapi hari ini pisangnya mahal-mahal,” kata Nenek Ateng, saat ditemui Bhirawa.
Nenek Ateng yang menggelar dagangannya mulai pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB itu, ternyata punya kisah cukup mengharukan. Dulunya dia hidup bersama anak dan cucunya di kawasan Waringin yang tidak seberapa jauh dari tempat dia berjualan. Tapi ia tidak kerasan karena sering diusir oleh cucu-cucunya, akhirnya ia memutuskan untuk cari kos-kosan sendiri. “Males aku sama embah. Cari kos-kosan sendiri sana lho,” kata Nenek Ateng, menirukan ucapan perkataan cucu kesayangannya.
Karena sering mendengar ucapan mengusir itu, akhirnya Nenek Ateng pun memilih pindah dan ngekos. Tapi saat sudah tinggal di kos-kosan, cucu-cucunya bilang kepada orang-orang jika ucapan mereka hanya guyon dan menyebut Neneng Ateng mudah tersinggungan.
“Eh, setelah saya cari kos-kosan, mereka bilang kalau embahnya orangnya tersinggungan. Katanya mereka cuma gurau. Namun toh, setelah saya ngekos juga tidak ada yang menghiraukan,” ungkapnya.
Cucunya tersebut terdiri dari lima bersaudara. Sementara ibu yang diikutinya menjanda karena ditinggal suaminya nikah lagi. Sehari-harinya, sang ibu alias anak dari Nenek Ateng tersebut menjadi tukang pijet. “Dia tuna netra,” jelas Nenek Ateng dengan logat Madura.
Nenek Ateng memiliki empat orang anak. Selain yang bertempat tinggal berdekatan dengannya itu, juga ada yang di Bangkalan, Madura dengan bertani. Ada yang di Samarinda, dan ada pula yang di Jakarta. Untuk dua anak yang disebut terakhir, keduanya berjualan soto.
Mengenai sumbangan dari anak-anaknya, Nenek Ateng tidak banyak berharap. Seperti diketahui, untuk anaknya yang berdekatan adalah seorang janda dengan lima orang anak dan tuna netra lagi. Sementara yang di Madura, sebagai petani hanya pas untuk menghidupi keluarganya.
“Malahan kalau ke Surabaya, anak saya yang dari Madura ini mintanya yang enak-enak saja. Misalnya, kalau minta tahu, harus tahu Kediri, dan sebagainya. Padahal ia cuma membawa uang sedikit,” jelas Nenek Ateng.
Lantas, bagaimana dengan kedua anaknya yang berdomisili di Jakarta dan Samarinda? Menurut Nenek Ateng, mereka kadang-kadang juga mengirim uang. Sayang, uang kiriman dari anaknya itu tidak pernah dinikmatinya karena selalu diambil oleh cucunya dengan berbagai alasan.
“Saya sering dapat kiriman dari anak saya di Jakarta. Tapi saya tidak pernah kebagian, karena sudah diambil oleh cucu-cucu saya. Alasannya karena menggunakan ATM-nya, menggunakan rekeningnya, dan sebagainya. Ya sudah, masak saya nggak boleh,” kata Nenek Ateng dengan ekspresi tetap ceria, meski dalam benaknya terdapat beban yang cukup berat. [Chairul Anam Abdul Jabar]

Tags: