Kisah Pilu Orangtua Aktivis Pro Demokrasi Petrus Bimo yang Hilang

Oetomo Raharjo (tengah) saat menjadi pembicara pada rencana pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata yang mengangkat sepenggal kisah hidup Wiji Thukul di Kantor Kontras Surabaya Jalan Lesti. [gegeh bagus setiadi]

Jika Sudah Mati Keluarga pun Ikhlas, tapi Hukum Harus Ditegakkan
Kota Surabaya, Bhirawa
Hanya ada satu kata, hilang. Mungkin kata-kata inilah yang masih terngiang di benak Oetomo Raharjo (71). Bapak dari aktivis pro demokrasi  Petrus Bimo Anugrah yang hilang sejak 19 tahun silam. Kasus penculikan aktivis reformasi 1998 hingga saat ini tak kunjung tuntas diungkap oleh pemerintah meski telah berganti Presiden RI.
Di Kantor Kontras Surabaya, Rabu (18/1) kemarin, Pak Tomo begitu sapaannya tampak bersemangat menyuarakan anaknya Petrus Bimo yang hilang. Petrus Bimo adalah anak kedua dari empat bersaudara dari Pak Tomo dan Genoneva Misiatini.
Mata Pak Tomo pun terlihat berair dan sesekali melihat ke atas seakan tak ingin terlihat sedih. Seolah merindukan anaknya yang hilang bersamaan dengan Wiji Thukul, teman anaknya yang kala itu sama-sama memperjuangkan kaum tertindas. Keduanya saat ini juga bernasib sama, tak diketahui keberadaannya.
Pensiunan karyawan Rumah Sakit Jiwa Lawang Malang ini pun sering melontarkan kata-kata ‘Bila masih hidup di mana mereka sekarang, kalau sudah mati di mana makamnya?’. Di usianya yang kian bertambah, Pak Tomo dan keluarganya tak pernah putus asa dalam mencari keberadaan anaknya.
Ia menceritakan bahwa yang menguatkan dirinya dan keluarga selama ini adalah tindakan yang dilakukan anaknya adalah mulia. Memperjuangkan kaum yang tertindas dan berbuat untuk kebaikan rakyat.
“Kalau memang tujuannya baik, berangkatlah nak,” kata Pak Tomo kepada Harian Bhirawa mengawali keputusannya saat mengizinkan anaknya Petrus untuk demo ke Jakarta pada 1998 lalu.
Pernyataan itu ia ungkapkan saat menghadiri rencana pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata yang mengangkat sepenggal kisah hidup Wiji Thukul di Kantor Kontras Surabaya di Jalan Lesti kemarin.
Bahkan, Pak Tomo sempat melontarkan pertanyaan pada Petrus Bimo ‘Tembok beton tulangnya baja, kamu mampu menabrak itu nak?’. Tembok yang dimaksud adalah mantan Presiden RI Soeharto. Nasihat Pak Tomo benar. Di Jakarta, aktivis 98 yang memperjuangan reformasi ditangkap dan ditahan selama 60 hari di Polda Metro Jaya dan dikenai wajib lapor.
Puncaknya, Petrus Bimo dilaporkan hilang pada pertengahan Maret 1998. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. Sejumlah informasi menyebutkan bahwa dia diculik bersama sejumlah aktivis yang lain.
Awalnya, keluarga Pak Tomo memang marah karena penghilangan paksa itu. Tetapi, lambat laun mereka bisa menerima apa yang telah terjadi dengan ikhlas. Namun, hukum tetap harus ditegakkan.
Selain itu, istri Pak Tomo (Genoneva Misiatini) hanya bisa menangis dan menyalahkan sikapnya karena tidak sedikitpun menangisi kepergian Petrus Bimo ke Jakarta. “Awalnya, istri saya menyalahkan saya karena merestui keberangkatan anak saya,” ujarnya sambil mengenang awal kepergian Petrus Bimo.
Ia membeberkan, Petrus Bimo terakhir kali menghubungi keluarga pada Maret 1998. Lewat pager, Petrus Bimo mengurungkan niat pulang untuk Paskah. Mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) pada 1990 ini sudah tidak diketahui rimbanya.
Tumpulnya hukum memunculkan penantian yang sangat panjang bagi keluarga Pak Tomo. Belasan tahun mencari, mereka masih dibekap kabut gelap dan selalu membentur tembok nan tebal. Demi anak, apapun telah dilakukan meski harta kekayaannya terkuras habis.
Suatu ketika, rasa putus asa Pak Tomo muncul di saat masa penantian. Banyak orang yang memanfaatkannya dengan berbagai cara tipuan muslihat. Salah satunya, meminta dikirimkan sejumlah uang untuk biaya pemulangan Petrus Bimo. Sebidang tanah miliknya pun raib terjual demi kepulangan sang buah hatinya itu.
“Dengan bahagianya waktu itu kami jual tanah seharga Rp 17 juta untuk biaya pemulangan. Namun, tidak ada jluntrungnya hingga saat ini,” kenangnya.
Pak Tomo mengenal Wiji Thukul adalah sosok penyair jenius. Pada masa Presiden Soeharto dianggap suatu ancaman yang membahayakan. Dia dikenal penyair cerdas yang kerap menyampaikan aspirasi kritis kepada pemerintah.
“Nah, pada waktu pencapresan Pak Jokowi kami bertemu beliau. Jawabannya, kalau hilang ya dicari. Jadi beliau memberikan jawaban yang sejuk waktu itu,” terangnya.
Dia berharap suara-suara dari keluarga korban penghilangan paksa akan didengarkan oleh kepemimpinan Presiden Jokowi. “Kami yakin suara kami akan sampai pada Pak Jokowi, bantulah kami sebagai keluarga korban yang sudah menanti penyelesaian masalah ini selama 17 tahun,” katanya.
Dirinya pun saat ini telah ikhlas atas hilangnya Petrus Bimo. Namun, soal kepastian soal di mana keberadaannya keluarga masih ingin ada pertanggungjawaban dari pemerintah. “Jika anak kami mati pun kami dan keluarga sudah siap menerima dengan lapang dada dan ikhlas. Tapi hukum negara harus ditegakkan,” imbuhnya.
Dengan adanya film Istirahatlah Kata-Kata, Pak Tomo menerangkan bahwa itulah yang terjadi pada Wiji Thukul, aktivis hak asasi manusia sekaligus penyair. Karena puisi-puisi Wiji Thukul menyinggung pemerintahan saat itu, ia dikejar-kejar. Ia lari dari satu persembunyian ke persembunyian lain.
Itulah mengapa film Istirahat Kata-kata ini harus ditonton generasi muda saat ini. Agar para generasi muda, tak lupa akan sejarah, merasakan perjuangan Wiji Thukul, sekaligus mendorong pihak berwajib untuk menyelesaikan kasus ini.
“Film ini supaya generasi muda tidak melupakan sejarah 19 tahun lalu pernah terjadi penghilangan secara paksa aktivis yang berjuang dengan kata-kata. Ada dua pilihan kalau mati di mana? kalau hidup di mana?,” katanya.
Film Istirahatlah Kata-Kata yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen tentang kehidupan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto), aktivis 1998 yang sampai saat ini belum ditemukan tayang serentak pada 19 Januari di delapan kota Indonesia, termasuk Surabaya.
Bersama momen penayangan film ini, Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya mengajak masyarakat Jawa Timur untuk menonton film itu. Film ini diputar di XXI Tunjungan Kamis kemarin.
Fatkhul Khoir Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya mengatakan, film ini untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa selain Wiji Tukhul ada 12 orang lain yang hilang dalam peristiwa 1998.
“Selama ini kan publik gampang lupa peristiwa. Saya kira generasi yang lahir pada 2000 mungkin belum tahu. Pesannya tidak hanya soal Wiji Tukhul-nya saja, tapi ada banyak orang yang sampai saat ini belum ditemukan,” ujarnya.
Selain mengingatkan masyarakat, menurutnya, film ini juga mengajak pemerintah untuk tidak melupakan penghilangan paksa aktivis dalam rangkaian peristiwa reformasi 1998.
“Film ini juga untuk mengingatkan pemerintah akan janji Presiden (Joko Widodo/Jokowi). Kenapa kalau suka puisinya, tidak segera melakukan pencarian atau membentuk tim untuk mencari 13 aktivis itu?” ujarnya.
Menurut Fatkhul Khoir Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa dirinya menggemari puisi-puisi Wiji Tukhul. Fatkhul berharap, presiden tidak hanya menggemari, tapi juga melakukan tindakan penyelesaian kasus ini, menemukan keberadaan atau kejelasan nasib Wiji Tukhul dan aktivis yang lain pada keluarganya. [Gegeh Bagus Setiadi]

Tags: